11. Penelusuran Kastel

2112 Words
Hugen itu unik. Putih dan bersurai lebat hanya satu dari sekian banyak keunikan peliharaan Raja Aeradale tersebut, berikut nama jantannya di saat ia sendiri merupakan seekor betina. Hugen punya banyak cara untuk menarik atensi para kesatria. Cara ia berjalan elegan, namun tetap terbilang masif. Ekornya kadang menyapu udara, kadang juga menepuk bokongnya sendiri. Dan terakhir tetapi bukan akhir, Hugen cerdas. Ia tahu Arcaviel kesulitan naik dan tidak bisa menunggangnya. Hugen akan merunduk cukup rendah supaya majikannya dapat menaiki tubuh berisi si kuda. Atas bantuan kecil dari Sahara, Arcaviel bisa kembali merasakan bagaimana ia duduk di atas hewan dan mengamati sekeliling tanpa berbuat apa-apa. Hugen berlenggok-lenggok setiap kali keempat kakinya berderap, begitu juga tubuh Arcaviel mengikuti ritmenya. Sahara bersisian dengan kuda betina bernama jantan itu. Tadinya, Arcaviel menawarkan Sahara untuk turut menunggang Hugen bersama-sama. Namun, Sahara menolak halus tawaran itu. Ia sadar tempat dan posisinya sebagai pelayan Aeradale, kasta yang jauh dari kata ‘layak’ untuk menunggang seekor kuda, apalagi hewan itu merupakan milik Raja dan Putri Aeradale. Jadi, sepanjang perjalanan, Sahara hanya akan bertugas memandu Arcaviel dan mengarahkan Hugen agar tidak salah arah. Dekat dari istal, Arcaviel bisa mendengar suara-suara tumbukan kayu, entakan kaki, dan kadang ada desing udara. Itu bersumber dari para kesatria di pelataran barak. Mereka mungkin sedang latihan, sebagian berduel dengan tongkat, sebagian lagi bermanuver, dan sisanya membidik concentric point di papan dengan anak panah. Barak mereka terlihat sangat hidup. “Putri?” Suara maskulin Kesatria Deulake—yang telah ia hafal mati, merebak cepat ke indra pendengar Arcaviel. “Senang melihat Anda di sini.” “Halo, Marc.” Arcaviel melongok ke balik kepala Hugen. Leher kukuh si kuda putih membuat perawakan Marcus tak terjangkau oleh manik birunya. Putri Aeradale mengulaskan senyum manis begitu ia melihat Marcus bergeser sekitar tiga langkah ke samping, sepertinya kesatria itu cukup peka bila dirinya kesulitan melihat sosoknya. Arcaviel tanpa sadar menginspeksi cara berpakaian kesatria pirang itu sekarang. Atribut zirah membebat tubuh gagah Marcus. Dua kaki masifnya berbalut lapisan baja. Hari ini, kesatria itu tidak mengenakan helm—penutup kepala baja itu hanya akan dikenakan dalam keadaan genting. Arcaviel jadi bertanya-tanya, apakah ‘penyusupan’ kala itu dianggap penting sampai kesatria inti Aeradale harus turun tangan? Atau apakah ada alasan lain? Arcaviel bahkan tidak terpikir untuk menanyakan hal ini kepada kakaknya. Merasa diinspeksi, Marcus meringis dalam hati. Ingatannya jadi terlempar lagi menuju pertama kali ia dan kesatria inti lain meringkus Putri Aeradale, yang sebelumnya mereka anggap sebagai penyusup. Marcus juga sempat menginspeksi Arcaviel habis-habisan, bahkan mengitari tubuh adik rajanya yang jatuh bersimpuh—perlakuan mereka saat itu benar-benar nista. Marcus berdeham kasar, memecah atensi Arcaviel darinya. “Putri sedang ingin mengitari kastel?” tanya kesatria itu. “Apakah Anda memerlukan peman—” “Aku terlalu transparan, ya?” Sahara merutuk di antara kalimat Marcus. “Atau kau buta?” “Kau terlalu mungil, Yvette.” Entah itu pujian atau hinaan yang terlontar dari bibir Marcus. Kesatria itu menyeringai puas. “Setidaknya terlalu mungil jika bersisian dengan kuda raja.” Sahara mendelik tidak senang. “Terserah, minggir sana.” “Jangan mengusirku, dong.” Marcus menunjukkan deretan gigi putihnya. “Yang pantas mengusirku hanya Yang Mulia dan Putri.” Interaksi kedua bawahannya cukup menerbitkan seulas senyum dari bibir ranum Arcaviel. Putri Aeradale sama sekali tidak mengira bila mereka punya interaksi kompleks namun menggemaskan seperti sekarang ini. Padahal, ketika bertemu di depan pintu ruang makan, baik Sahara maupun Marcus bertingkah seakan-akan tidak saling mengenal. Lucu juga mereka, batin Arcaviel, mengulum tawa. “Dan Lobelia Anh.” Suara feminin dari arah berlainan terdengar. Serentak dengan kedua bawahannya, Arcaviel melongok ke balik pundak. Sekarang ketiga orang itu bisa melihat seorang wanita berbusana lumayan terbuka—belahan dadanya sedikit terekspos, dan bibir ranum yang mencolok. Pinggulnya meliuk tiap ia melangkah, sedangkan kedua tangan ditautkan di depan perutnya. Wanita itu terlihat elegan dan mungkin sedikit arogan. “Jangan lupa, aku juga pantas mengusirmu, Deulake.” Marcus meludahi tanah. “Itu karena tenagamu lebih seperti tenaga badak, Anh. Apalagi saat kau tidur,” jawab Marcus, mengundang suara kesiap dari Arcaviel dan Sahara detik itu juga. Lobelia menggulirkan netra hijaunya ke atas, kentara ia muak dengan tanggapan dua arti Marcus. “Kau selalu payah dalam mengolah kata-kata. Itu ambigu, jangan sampai Putri beranggapan kau bukan lagi seorang perjaka.” Kesatria Deulake tergagap-gagap mendengar ucapan wanita itu. Lobelia secepat kilat mengubah sarat arogansinya dengan sarat sopan begitu ia menjatuhkan pandangan kepada Arcaviel di atas Hugen. Seperti seseorang dari kasta di bawahnya yang lain, Lobelia mengedepankan salah satu kakinya dan sedikit menekuk, memberikan penghormatan pada Putri Aeradale. “Senang bertemu Anda, Putri.” Lobelia belum juga beringsut dari posisinya. “Maafkan saya karena baru berkesempatan menemui Anda sekarang.” Arcaviel mengangguk kikuk. “Senang bertemu denganmu, Lobelia. Berdirilah, jangan seformal itu,” pinta si Putri Aeradale. “Hm, apakah kau si pemedis Aeradale yang sempat dimaksudkan oleh Raja?” Lobelia Anh. Arcaviel mengingat nama itu saat kakinya terkilir dan Reeval menitahkan Marcus untuk memanggil seorang pemedis andalan Aeradale. Bukan wanita itu, alih-alih pemedis lain yang datang. Tetapi, Arcaviel sedikit terkejut melihat pemedis andalan ini. Ketimbang seorang pemedis, Lobelia lebih mirip seperti seorang bangsawan. Ia menguarkan aura semacam itu. “Benar, Putri.” Lobelia mengulaskan senyum sopan, berbanding terbalik ketika ia berinteraksi dengan Kesatria Deulake. “Saya mewakili Marcus Deulake ingin mengucapkan permohonan maaf karena tidak berhasil membangunkan saya.” Unik, satu kata yang tepat untuk Lobelia. Arcaviel tanpa sadar tertawa, apalagi setelah ia bisa mendengar gerutuan dari arah Marcus dan tawa tersekat dari Sahara. “Sudah, tidak apa. Lagi pula, kakiku sudah pulih seutuhnya,” balas Arcaviel saat ia telah mendapatkan kembali kendalinya. “Oh ya, Marcus. Kembalilah dengan tugasmu, aku akan baik-baik saja bersama Sahara.” “Baik, Putri.” Marcus menunduk, kemudian pamit undur diri setelah memelototi Lobelia dan Sahara dengan sewot. Berbicara dengan para bocah betina tidak akan ada habis-habisnya, batin kesatria itu sembari menujukan pandangan nyalangnya kepada kesatria-kesatria lain. “Sekarang, tukar posisi! Pemanah melakukan transisi menuju manuver, yang bermanuver beralih kepada duel, dan duel berpindah menuju panah.” “Sistem pelatihannya berganti-ganti seperti ini, ya?” Arcaviel bertanya. “Iya, Putri. Agar kemampuan para kesatria muda bisa lebih setara.” Lobelia tidak cukup dekat dengan Arcaviel, namun wanita itu bisa mendengar pertanyaannya dengan sangat baik. “Kemudian, untuk menuju tingkat selanjutnya, mereka akan disortir ke bidang penguasaan masing-masing. Yang setidak-tidaknya, paling bisa mereka lakukan dengan baik—apakah bermanuver dengan tangan kosong, memanah, atau berpedang.” Arcaviel mengerutkan kening. “Berpedang dengan kayu?” Pemedis andalan Aeradale menahan tawa. “Yang namanya berpedang, itu artinya menggunakan pedang, Putri. Hanya saja, karena ini berupa latihan, berat kayu sudah dimanifestasikan sedemikian rupa seperti berat pedang. Anda tahu, agar tidak ada kesatria yang mengalami cedera serius,” urai Lobelia, menerbitkan rona merah di pipi Arcaviel. Bodoh sekali, otaknya bahkan tidak sampai ke sana. Lobelia sadar Putri Aeradale sedang menahan malu. Wanita itu hanya mengulaskan senyum, kemudian berkata, “Teramat wajar Anda tidak tahu, Putri. Empat tahun bukan waktu yang singkat.” Ucapan itu justru membuat Arcaviel semakin menekukkan leher, ingin menyembunyikan rasa malunya di dalam sana. “Terima kasih, Lobelia,” gumamnya. “Kalau begitu, saya undur diri, Putri.” Lobelia menatap Sahara di samping Hugen. “Jaga Putri, Sahara. Jika ada yang mencurigakan, langsung antar Putri kembali ke kamar.” “Baik, Kak Lobe.” Sahara mengangguk tiga kali. “Sampai jumpa.” Sepeninggal Lobelia, Arcaviel melongok ke samping dan menunduk, semata-mata menjumpai netra bulat Sahara. Pelayan Aeradale itu meminta persetujuan kepada Arcaviel untuk meneruskan pengeksploran mereka, yang mana lekas direspons dengan anggukan oleh Arcaviel. Tidak lama, helaan napas terlontar dari bibir Arcaviel begitu Hugen kembali berlenggok-lenggok. Ia melupakan terlalu banyak hal di sini. Arcaviel benar-benar asing. “Sebenarnya, Putri,” suara Sahara merebak di antara kesenyapan, sukses memusatkan atensi Arcaviel padanya saat itu juga, “saya lebih senang melihat Kak Lobe bersama Yang Mulia daripada calon tunangannya.” Arcaviel mengulumkan bibir, sebelum akhirnya bertanya, “Kenapa?” “Lady Hala terlampau … entahlah, saya rasa terlalu memalsukan dan melebih-lebihkan tabiatnya.” Lagi, Arcaviel bisa melihat nyala api di sepasang netra pelayannya. Mau tidak mau, Arcaviel tertawa. Ia tiba-tiba merasa beruntung telah memiliki Sahara sebagai teman bicaranya. Pelayan manisnya itu tidak lagi sungkan dan Arcaviel menyukai itu. Arcaviel lelah melihat orang-orang sekitarnya terlalu segan untuk bercerita dengannya. Ia sudah bertemu tiga atau empat pelayan, tetapi tidak ada yang seperti Sahara. “Lalu, bagaimana dengan Lobelia?” Arcaviel menyuarakan rasa penasarannya. “Apakah ia lebih baik daripada Tahala? Dan, hm … mempunyai hubungan khusus dengan Raja?” “Sebenarnya tidak juga,” Sahara mengetukkan telunjuknya di dagu, “tetapi, pada setiap perjamuan keluarga bangsawan lain, Kak Lobe selalu menjadi pendamping wanita Yang Mulia.” Oh ya? Apakah mereka lebih dari sekadar raja dan pemedisnya? batin Arcaviel, merasa sedikit penasaran—dan aneh. Untuk apa juga aku memikirkan mereka? “Dan jelas saja, Kak Lobe jauh lebih baik daripada Lady Hala!” pekik Sahara, menggebu-gebu. “Kau sepertinya sangat tidak suka dengan wanita itu,” Arcaviel terkekeh-kekeh, sebelum akhirnya ia berniat mengalihkan pembicaraan. Entahlah, ia hanya tidak sedang dalam fase ingin mendengar tentang hubungan Raja Aeradale bersama pemedis ataupun calon tunangannya itu. “Omong-omong, kita akan ke mana sekarang?” “Ke menara itu, Putri.” Sahara menunjuk menara yang berjarak tidak jauh dan tidak dekat dari barak. Arcaviel tentu saja langsung mengenal bangunan menjulang itu. Ia pernah satu kali memijak di bawah sana, berstatus seorang penyusup—dan sekarang ia akan berpijak kembali, berstatus seorang bangsawan, Putri Aeradale Yang Hilang. Astaga, terkadang takdir memang selucu itu. Hugen beserta Sahara lekas menuntun Arcaviel di atas tunggangan ke dekat menara. Ketika Arcaviel mengira ia akan diberi tur ke dalam sana, Sahara menolak secara halus. Katanya, menara ini hanya dapat dimasuki oleh Raja Aeradale, para kesatria, dan para tawanan atau penyusup. Namun, menurut pemaparan Sahara, tidak ada lagi yang menghuni menara, mengingat tingkat kriminalitas Aeradale saat ini sudah minim terjadi. Mungkin hanya satu banding belas sekian yang mengusik kesejahteraan kontinen. “Pertama-tama, nasib para tahanan akan ditentukan pada ruang penghakiman. Lokasinya ada di bawah tanah menara.” Tempatku ditangkap malam itu, batin Arcaviel, meringis pelan. “Lalu, bagaimana dengan lantai atas menara?” “Dengar-dengar, setiap lantai terdapat satu bilik kedap suara.” Roma halus Sahara berdiri. Ia merinding sendiri saat meneruskan, “Jika nasib para tahanan beruntung, mereka akan tinggal di bilik sana—seumur hidup.” “Itu sama sekali tidak ada untung-untungnya,” timpal Arcaviel. Ia mulai tidak menyukai perbincangan ini. “Lalu, bila tidak beruntung?” “Yang Mulia memenggal kepala mereka.” Pegangan Arcaviel dari tali kekang Hugen mengendur. Ia lemas bukan main kala mendengar ucapan pelayannya. “Kau bercanda, Sahara. Reeve tidak mungkin sekejam itu.” Sahara membasahi bibir bawahnya dengan gugup. “Saya sejujurnya tidak begitu percaya dengan kabar burung itu, Putri. Rahasia menara ada di tangan para kesatria dan Yang Mulia. Namun, sejauh yang saya tahu, kakak Anda memang tidak pernah menoleransi aksi kriminal secuil pun,” akunya, meringis pelan. “T-Tetapi, Putri jangan khawatir. Itu mungkin hanya omong kosong. M-Maafkan saya!” Pelayan berparas manis itu menunduk dalam-dalam. Kucir dua surai mengembangnya bergerak kanan dan kiri, menandakan dirinya tengah panik bukan main. Sepertinya aku sudah salah bicara. Bagaimana bila Putri mengadu rumor gunjingan ini kepada Yang Mulia? Apakah aku akan menjadi bagian dari tahanan di menara ini juga? batinnya bergolak ketakutan. A-Aku tidak mau! Jangan sampai! “S-Saya mohon ampun, Putri. Jangan katakan ini kepada Yang Mulia Lanford. Tolong sekali, Putri!” Permohonan itu menyentak kesadaran Arcaviel dari keterkejutannya. Bisa ia lihat sekujur tubuh Sahara kini gemetar. Ada suara isak tertahan, membuat Arcaviel seketika kalang kabut. “E-Eh, tidak apa-apa. Jangan menangis, Sahara. Aku tidak mungkin melaporkan hal ini kepada kakakku,” Arcaviel mencoba menenangkan, namun tidak memberikan dampak apa-apa untuk mereduksi ketakutan pelayannya. Arcaviel menarik napas, mencoba mengatur nada bicaranya selembut mungkin, “Sahara, percaya denganku, oke?” Riak danau di desanya menenangkan, mirip dengan suara lembut Arcaviel saat ini. Arcaviel merasa beruntung karena ia menghabiskan waktunya di Desa Silkvale sebagai sosok yang hangat dan disukai banyak orang. Bukan hal sulit bagi Arcaviel untuk menenangkan bocah yang menangis karena jatuh atau berselisih dengan teman mereka. Ada secuil penenang dari kehalusan cara bicara Arcaviel, dan itu berlaku juga untuk Sahara detik ini. Pelayan manisnya mendongak terpatah-patah. Ada banyak keraguan melintas dari kilat berkaca-kacanya. Arcaviel sempat dibuat ternyuh tatkala ia mendapati hidung dan netra gadis itu memerah menahan tangis, sebelum akhirnya senyum menenangkan terulas di bibir ranum Putri Aeradale. Manik biru Arcaviel memamerkan kilat kesungguhan. Sahara menangkap semua itu—kesungguhan atasannya yang terlampau nyata. Sahara tidak bisa untuk tidak menunjukkan gurat berseri-serinya pada detik itu juga. “Tentu saya selalu memercayai Anda, Putri!”[]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD