35. Topaz Lanford

2575 Words
“Tidak semudah itu, Yang Mulia Oakley.” Suara asing namun familier itu membahana sepanjang isi ruangan. Arcaviar dan Rodeus spontan memasang tubuh menghadap pintu. Lambat laun, perawakan siluet hasil bentukan likuid hitam tadi mulai beringsut mundur. Ia berdiri tepat di samping akses keluar masuk. Tanpa mereka tahu, Reeval mengetatkan rahang. Lingkaran lengan di sekitar tubuh mungil Arcaviel mengerat. Ia mengenal suara ini. “Kau kembali ke peradabanmu,” gumam Reeval, menghunjam sengit figur hitam siluetnya. Akan tetapi, ia secuil pun tidak menurut. Air muka Reeval berganti tegang, selama ini siluetnya tidak pernah tidak mendengar titahan pria itu. “Kubilang, kembali ke wujud aslimu!” Tidak ada reaksi. Siluet itu justru bungkam seribu basa. Reeval mengumpat kasar, mencoba untuk mengerahkan mana hitamnya, tetapi tidak menuai hasil. Begitu mendapati Reeval betul-betul tidak memegang kendali atas siluet tersebut, Rodeus langsung bisa menarik kesimpulan. Ia memasang tubuh di depan Arcaviar, bertepatan pintu ruang kerja terbuka dengan sendirinya—dan keempat orang itu tertegun sempurna. “Dad …?” bisik Reeval, dugaannya benar. Ia menutup jarak bersama Arcaviel dengan protektif kala tatapan Topaz jatuh kepada kekasihnya. “Kau ….” “Ya, ini benar aku, putraku.” Topaz memamerkan seringai kecil. Ia kemudian membungkukkan tubuh di hadapan Arcaviar dan Rodeus. “Salam, Yang Mulia.” “Paman.” Arcaviar memicing tajam. Ia tentu mengenal pria paruh baya beratribut mewah itu. Dulu, Topaz dikenal sebagai kesatria pribadi ayahnya, sang Raja terdahulu. Topaz juga kerap mengajarkan mereka cara berpedang, gerakan manuver, dan lain sebagainya. Tetapi, sekarang? Arcaviar bisa merasakan pancaran aura, jauh lebih pekat daripada milik putra pria paruh baya itu sendiri. Ia segera melirik Rodeus, semata-mata mendapati guratnya mendingin. Pemikiran mereka saat ini kemungkinan besar sama. Topaz tertawa pelan begitu menyadari ketegangan dari tiga pria itu. Lalu, dijatuhkan lagi pandangan kepada Arcaviel. Merasa ditatap, Putri Aeradale spontan menatap balik pria paruh baya itu dengan sedikit kegentaran dalam binar manik birunya. Terkekeh geli, akhirnya Topaz berkata, “Terima kasih sudah membiarkan saya tinggal di kastel ini, Putri. Terima kasih juga kepada Yang Mulia dan para aliansinya yang telah menerima undangan ini.” Pria paruh baya itu menggeser tatapan menuju putranya dengan seringai. “Juga, terima kasih untuk putraku, Reeval, yang sudah mau membantuku mendapatkan takhta ini.” Reeval menggeram. “Kau!” “Aku berbohong ketika mengatakan kau mengecewakanku, putraku.” Topaz berpura-pura mengubah air mukanya menjadi sedih. “Justru aku bangga denganmu. Kau bukan sampah bagiku, kau adalah berlian. Kemarilah.” Arcaviel meremas lengan Reeval. Ia tidak mau pria itu mendatangi Topaz. Mendapati gelengan kecil dari sang Putri, Reeval kembali menatap lurus sang ayah. “Apa yang kau rencanakan?” tanyanya, geram. “Membiarkan kita menduduki takhta resmi kerajaan ini, putraku.” Topaz mengulaskan senyum tipis begitu menjatuhkan tatapan kepada Arcaviel. “Kau menginginkan Putri Aeradale, bukan? Maka, aku bisa bantu merealisasikan itu.” Pria paruh baya tersebut berniat untuk beranjak menghampiri Arcaviar, akan tetapi Rodeus tanggap menghunuskannya tidak jauh dari tubuh pria itu. Topaz menaikkan satu alisnya, kemudian menyorotinya penuh remeh. “Keterampilan spontanitasmu kulihat meningkat, Nak.” Rodeus tersekat begitu telapak tangan besar Topaz mencengkeram bilah pedang tajamnya dan meremasnya hingga darah hitam mengalir dari sana. “Paman, berhenti sekarang atau—” Bruk! Tanpa diduga-duga, tubuhnya secepat kilat terlempar jauh ke arah meja kerja. Arcaviel memekik tertahan dan membuat kewaspadaan Reeval meningkat. Topaz kini berdiri menghadap Arcaviar. Ia menunduk semata-mata mendapati pria itu sedang menyiapkan cambuk dari mana putihnya. Belum kunjung terbentuk secara utuh, Topaz mencengkeram erat pergelangan tangan Arcaviar, menekan keras-keras dengan kukunya sampai menembus permukaan kulit pria itu. Arcaviar meringis di antara gemeretak giginya. Ia belum siap meloloskan diri ketika raganya terangkat ke udara, dan tahu-tahu saja ia terpelanting jauh membentur meja dengan Rodeus di belakangnya. Alhasil, meja kerja jatuh terbalik. Berkasan laporan tersebar ke seisi ruangan. Debu-debu membuat Arcaviar dan Rodeus terbatuk-batuk selagi menggosok netra mereka untuk beradaptasi dengan debu. Jemari Arcaviel sedikit tremor ketika ia spontan mengulurkan tangan, bagaikan bisa menjamah kedua pria itu. Tercekal oleh cengkeraman tangan Reeval ketika sedang mencoba untuk melepaskan diri, akhirnya Arcaviel memberontak dan berkata, “Reeve, lepas!” Yang dipanggil tidak menanggapi. Reeval hanya mendesis selagi menangkap lagi tubuh sang Putri ke sisinya. Begitu Arcaviel sudah mulai tenang, Reeval menggeser atensi menuju Arcaviar dan Rodeus. Netra hitamnya berserobok sesaat dengan sepasang manik biru kehijauan milik Arcaviar. Hanya melalui kontak mata, Reeval lekas mengerti isi pemikiran mantan kawannya itu. “Kita pergi dari sini,” bisiknya, sehalus mungkin agar tidak terdengar oleh Topaz. “Bagaimana?” Arcaviel menggigit bibir ranumnya, kalut. “Lalu, Kak Viar dan Kak Ode?” “Mereka akan menyusul.” Ibu jari Reeval mengusap lembut bibir Arcaviel, tidak ingin kekalutan membuat sang Putri berakhir melukai diri. Sekali lagi, Reeval memakukan sorot menuju Arcaviar dan Rodeus. Keduanya mulai sibuk menarik atensi Topaz selagi Reeval akan mengusung Putri Aeradale melarikan diri. Beranjak dari posisi duduknya, lengan kukuh Reeval mulai memikul tubuh mungil Arcaviel seperti karung beras. Arcaviar melucutkan cambuk mana putihnya tepat ke arah Topaz. Belum sempat mendarat, siluet itu menghadang dan balik menerjang. Tidak mau berlama-lama, Rodeus lekas memapasi siluet ketika ada celah. Dengan bilah pedang di tangan, ia siap menghunuskan pedang ke sisi Topaz. Pria paruh baya itu mengarahkan telapak tangan menuju Rodeus. Secepat kilat, sulur-sulur hitam merangkak keluar dari sana, menghunjamkan entakan kuat sampai tubuh Rodeus menembus siluet dan membentur Arcaviar hingga ke dinding. Arcaviel refleks membenamkan kepalanya dan memekik tertahan. Terisak-isak, ia menatap bergantian telapak tangannya dan ke luar jendela. Lapangan di bawah sana kosong-melompong. Tidak ada siapa-siapa. Memusatkan mananya kembali, Arcaviel lantas mengarahkan telapak tangan pada jendela. Tak lama kemudian, sulur-sulur keemasan merangkak dari sela ruas-ruas jemarinya dan jendela yang tertutup rapat mulai terekspos. Sentuhan Reeval menegang. Topaz mulai mendatangi keduanya dengan langkah ringan. Ia menyelipkan jemari ke dalam saku, menaikkan dagu untuk menahan tatapan dengan putranya. Lalu, Topaz berkata, “Jika Anda menginginkan keselamatan Yang Mulia dan kesatrianya, maka datang kepada saya, Putri.” Itu memang ditujukan untuk Arcaviel. Namun, lebih seperti ancaman bagi Reeval. Sang ayah sedang mengancamnya untuk memberikan Arcaviel untuknya. Tidak akan terjadi! geram Reeval dalam batin. “Jangan coba-coba menyentuh Putri.” Topaz menaikkan satu alisnya, kemudian tertawa remeh. “Putraku, aku sama sekali tidak berminat menaruh hati pada gadismu. Kau kira aku apa? Mencintai calon menantuku sendiri? Oh, tentu tidak,” kata pria itu. “Sebagai ayah yang mengasihi putranya, aku ingin kita bertiga memegang kuasa atas Aeradale. Ini demi kau dan Dad, putraku.” “Aku tidak akan bergabung denganmu,” sanggah Reeval, mantap. “Kau akan.” Topaz menurunkan atensi menuju abdomen putranya. “Lihat lukamu—luka yang sengaja ditorehkan oleh musuhmu. Tidakkah kau ingin bergabung untuk menuntaskan dendammu kepada raja kecil itu? Terlebih, jika lukamu dibiarkan lebih lama, kau akan mati, putraku.” Mendengar penuturan itu, Arcaviel mengeratkan satu lengan pada leher Reeval. “Jangan dengar dia, Reeve …,” bisik Putri Aeradale. Dengan tangan lain, ia memberikan sentuhan lembut pada luka abdomen di permukaan perut Reeval, mengerahkan sedikit mananya di sana. Perlahan, Reeval mulai mengendurkan ketegangannya dan melirik jendela yang sudah tersingkap. Ia memutar balik tubuhnya menghadap jendela. Sepintas, ditemukannya Arcaviar dan Rodeus mulai mendapat kekuatan mereka kembali setelah pendaratan hebat tadi. Arcaviar mengangguk kala ia menjumpai sorot Reeval. “Lindungi dia,” katanya, tanpa suara. Aku akan, batin Reeval, hingga ia menapakkan kaki pada kusen dan menjatuhkan diri sebelum Topaz siap berbuat apa-apa. Tubuh mereka meluncur bebas di udara. Kendati ketakutan, Arcaviel tetap mengerahkan mana di sekujur tubuh mereka. Kecepatan turun perlahan-lahan melambat hingga mereka berhasil mendarat halus. Akan tetapi, bertepatan Reeval menapakkan kakinya di atas lantai, ia merintih dan bertelut dengan napas terputus-putus. Penawar rasa sakitnya mulai kembali menipis. “Reeve,” Arcaviel menahan pundak Reeval demi mengimbangi bobot tubuh pria itu, “aku akan mengerahkan manaku lagi.” Gadis bersurai cokelat pirang itu siap dengan telapak tangannya, tetapi Reeval segera mencekalnya dan menatap intens dirinya. “Pergi, temui aliansi kakakmu,” pintanya, memaksakan senyum di tengah rasa sakit. Arcaviel menggeleng kuat. “Kau harus ikut!” “Cav, aku tidak akan mati.” Pria itu menatap teduh Arcaviel, kemudian menyeka air mata sang Putri dari pipinya, “Pergilah, cari bantuan dari para aliansi kakakmu. Ia dan Rodeus kesulitan.” “Janji padaku, tetap di sini sampai bantuan datang.” “Janji.” Arcaviel mengecup singkat pelipis Reeval, kemudian berlari keluar dari lapangan kosong. Sementara itu, Reeval mengisi waktunya dengan kepala mendongak, di mana ia langsung menemukan sorot tajam dari netra sang ayah. Topaz tidak bertindak apa-apa, justru berbalik menjauh dari jendela untuk berhadapan kembali kedua penghambat pria itu dalam merampas takhta kerajaan. Reeval merapatkan netra dan tertawa pahit sebelum setetes cairan bening lolos dari mata. Apa lagi ini, Tuan-Tuan Penguasa? Aku sama sekali tidak tahu-menahu soal Dad …. Di sisi lain, Arcaviar dan Rodeus sama-sama dibuat membentur dinding. Siluet hitam milik Topaz tidak mengizinkan mereka untuk menyentuh kulit tuannya sedikit pun. Mengamati penderitaan si raja muda dan kesatrianya, Topaz gagal menahan seringai. “Menyerah saja, Nak. Ini tidak akan berakhir sampai kalian mati.” Rodeus mendongak ke balik pundak siluet hitam di depan. Tulang punggung dan lehernya terasa remuk ketika ia mencoba untuk merenggangkan tubuh. Tetapi, seakan-akan tidak ada takutnya, Rodeus justru bertanya, “Jadi, kaukah selama ini yang mempermainkan putramu sendiri, Paman?” “Mempermainkan? Aku hanya membantunya melalui siluet-siluetku, Nak.” Topaz menginstruksikan siluetnya untuk berdiri di samping pria paruh baya itu. “Putraku menginginkan Putri Aeradale, sedangkan aku menginginkan takhta. Bukankah itu saling menguntungkan untuk kami?” “Reeval tidak tahu apa-apa tentang rencanamu ini," Rodeus menatap lurus netra Topaz, “kau hanya memanfaatkan putramu untuk mendapatkan kekuasaan. Itu tidak menguntungkan baginya, tetapi bagimu, Paman.” “Ya, memang benar.” Topaz mengangguk enteng, memantik api kecil dalam benak Arcaviar. “Tetapi, tidak juga. Aku berencana untuk tinggal di sini bersamanya dan calon menantuku. Namun, kelihatannya putraku satu itu tidak bisa diajak bekerja sama.” Topaz terkekeh menjumpai kemarahan yang tersirat jelas di rupa sang Raja asli. “Jangan murka begitu, Yang Mulia. Harusnya kau senang karena aku mempertemukan kalian kembali. Sayangnya, kau tidak memanfaatkan waktumu dengan baik untuk menghabisi nyawa putraku.” “Kenapa kau mengkhianati ayahku, Paman?” “Bukankah sama saja dengan putraku mengkhianatimu? Mengapa masih bertanya?” Topaz mendengkus. “Mari kuselesaikan kalian sampai di sini. Dengan begitu, takhta resmi jatuh ke tanganku seutuhnya.” * Deru napas Arcaviel memburu sepanjang ia berlari. Situasi begitu ganjil, tidak ada seorang pun di sekitar sini—setidaknya sampai Arcaviel akan menyisiri pelataran taman untuk mencari bantuan dari para aliansi. Bukannya menemukan mereka, ia justru mendapati beberapa orang menggelepar di sana. Samar-samar, ia bisa melihat siluet teramat besar di penghujung sana tengah memunggunginya. Arcaviel refleks berselindung ke balik pilar serambi. Mengatur napas yang terengah-engah bukan main, Arcaviel beringsut mundur dan menjengit di tempatnya. Ia menginjak sebuah tangan. Kala Arcaviel menunduk, napasnya spontan tertahan. Dua penjaga pintu kastel juga terbujur di lantai serambi. Arcaviel tanpa sadar meloloskan isak. Ia kemudian menggeser atensi lagi ke balik pilar untuk menatap siluet besar yang kini mendekat ke arahnya dan— “Hmph …!” Arcaviel memukul berkali-kali tangan yang membekapnya, tetapi tangan itu terus membungkam bibirnya erat bukan main. Ekor netra Arcaviel kembali basah ketika ia mulai ditarik masuk ke dalam kastel dan dilepaskan begitu saja. Ia spontan memutar balik tubuhnya semata-mata bersemuka dengan pemuda bersurai pirang tadi—Ignacio, pengikut aliansi kakaknya. Bukan hanya Ignacio, ada juga seorang gadis bermanik merah. “Maaf atas ketidaksopanan saya, Putri.” Ignacio terlihat merasa bersalah. “Kita harus pergi sebelum tertangkap basah oleh si pengkhianat—” “Ia bukan pengkhianat!” Arcaviel tidak peduli bila air muka Ignacio saat ini berubah masam. “Ada ancaman lain dan itu bukan dari Reeval. Selamatkan mereka, kumohon. Ia, kakakku, dan Kak Ode dalam bahaya.” Ignacio tersekat. “Di mana mereka?” “Tingkat dua. Pintu kedua dari ujung kiri.” Sebelum Ignacio sempat pergi, Arcaviel mencekal sejenak pergelangan tangan pemuda pirang itu. “Jangan mati. Kau harus selamatkan ketiganya.” “Baik, Putri.” Ignacio menggeser atensi kepada si gadis bermanik merah—Ebony. “Bawa Putri keluar dari sini melalui pintu pembuangan dapur. Langsung temui portal Battasti.” Ebony mengangguk paham. Tanpa berkata apa-apa, ia mengusung Arcaviel pergi. Ignacio berpisah dengan mereka sambil menaiki undakan. Sepanjang lorong, ia sudah siap untuk mengerahkan mana ilusi terbesarnya. Pintu kedua dari lorong paling ujung—ketika netranya menemukan pintu tersebut, Ignacio lekas merangsek masuk dan menghantarkan ilusinya ke mana pun. Kali ini, ia menciptakan ilusi paling terang, cukup membutakan di netra lawan. “Yang Mulia, Rodeus.” Satu tangan Ignacio membantu Arcaviar lekas bangkit, sedangkan tangannya yang lain melakukan hal yang sama dengan Rodeus. “Kita pergi sekarang.” Membiarkan kedua pria itu melompat lebih dulu dari jendela, Ignacio meluangkan waktu untuk semakin menerangi ruangan. Topaz menjerit kesakitan sembari memegang kedua netranya. Karena tidak bisa berkonsentrasi, siluet hitamnya sudah tertarik kembali ke dalam tubuh pria paruh baya itu dalam wujud mana. Ignacio mencapai kusen pintu dan terjun bebas ke bawah. Ia langsung menatap bingung Arcaviar ketika mendapati pemandangan mengherankan di dekatnya. Bagaimana tidak, rajanya dan Rodeus kini bahu-membahu merangkul musuh mereka yang hampir sekarat. Reeval terus memuntahkan darah selagi berusaha menggerakkan kakinya untuk ikut berjalan dengan mereka. Kendati heran, Ignacio tetap menuntun mereka keluar dari lapangan dan kembali menciptakan mana ilusinya agar tidak sampai terlihat oleh siluet besar yang tengah mondar-mandir itu. Ketika mereka berhasil memasuki pintu kastel kembali dengan selamat, keempatnya segera memasuki dapur—hingga Reeval jatuh karena tidak berhasil menggunakan kakinya lagi. Rodeus dan Arcaviar membantu pria itu bersandar di pintu dapur yang telah menutup. Arcaviar sedikit mengetatkan rahang ketika tahu bekas tusukan pedangnya pada abdomen Reeval semakin parah. “P-Pergi,” lirihnya, terpatah-patah. Arcaviar memicing tajam. “Angkat kakimu sekarang, Lanford,” titah pria bermanik biru kehijauan itu. “Kau tidak selemah ini.” Reeval masih sempat-sempatnya meloloskan kekeh kecil. “P-Pergilah. Putri menunggu Anda.” Tawanya berganti menjadi seulas senyum tipis. Lambat laun, itu memudar seiring menutupnya manik hitam Reeval dan lirihan terakhir terdengar, “Yang Mulia.” “Berengsek!” Arcaviar mengumpat kasar kepada dirinya sendiri. “Barro, panggil Putri—dan kau, Lanford, ia juga menunggumu, k*****t!” “Portal akan menutup sebentar lagi, Yang Mulia. Kita tidak punya cukup waktu.” Ignacio akhirnya memutuskan untuk mengutarakan perkataan yang sedikit menjanggal dalam benaknya. “Mengapa tidak kita tinggalkan saja pengkhianat itu di si—” “Berhenti berbicara! Lakukan perintahku, sekarang!” Arcaviar memandang kosong pintu di depannya dengan sarat kewalahan. “Primus, kau ikut bersama Barro.” “Bagaimana denganmu?” Rodeus tidak berusaha menyamarkan kekhawatirannya kepada sang penerus takhta asli kerajaan. “Aku akan baik-baik saja.” Sedikit memahami perasaan Arcaviar saat ini—betapa besar rasa bersalah pria itu kepada mantan kawannya, Rodeus segera menggiring Ignacio sebelum pemuda pirang itu kembali berkomentar. Kepergian mereka untuk mendapatkan sang Putri lagi memang berisiko. Tetapi, Rodeus cukup tahu Arcaviar tidak akan membiarkan Reeval mati. Adiknya masih membutuhkan pria itu—begitu pun Arcaviar dan Rodeus. Selagi menunggu, Arcaviar rutin memeriksa napas mantan kawannya itu. Sangat lambat. Jika Arcaviel tidak segera datang untuk memberinya penawar—entah bagaimana adiknya satu itu bisa melakukannya kepada Reeval—maka pria berpenampilan kacau tersebut tidak akan bisa selamat. Di antara kesenyapan, Arcaviar mulai meloloskan tawa pahit. Sepertinya ia bisa menggila sebentar lagi. Kau menarik keibaan keluarga kami dengan apa, berengsek? Karena terlepas dari perbuatan buruk pria itu dengan melengserkan anggota keluarga kerajaan, tidak ada satu pun dari mereka yang benar-benar menaruh dendam pada Reeval.[]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD