34. Sekarat

2354 Words
Disusul harum vanila dari arah kamar kecil, Arcaviel menapakkan tapak kaki tanpa alasnya ke luar. Surai cokelat pirangnya masih basah oleh bulir air sebesar biji jagung, menetes di permukaan lantai tanpa henti. Ia lalu menjatuhkan tatapan ke atas nakasnya dengan sorot bingung. Menggeser pandangan menuju kiri, pintu juga masih menutup rapat. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Sahara dengan hidangan baru yang akan ia bawa. Di luar kendalinya, ia mengerutkan kening karena merasa janggal. Lama telak ia mengenal Sahara, membuatnya paham karakteristik pelayan manisnya itu. Ia tipikal seorang gadis cekatan, tidak pernah mau membuat Arcaviel menunggu lama, apalagi ia tahu nonanya sedang lapar, mengingat saat ini hampir menjelang siang. Apa mungkin para pemasak kehabisan bahan? Atau sesuatu terjadi di dapur—seperti penemuan kunarpa si kesatria itu? Arcaviel lekas menggeleng. Ia tampik jauh-jauh apa yang baru saja ia alami tempo lalu, menolak untuk ingat kembali. Menghela napas, ia lantas beringsut menuju teras, memutuskan menjernihkan otak selagi menunggu ketibaan Sahara di kamar. Begitu ia menyelatkan ruas-ruas jemarinya pada sela pintu transparan, segera Arcaviel menggesernya hingga semilir angin datang berembus untuk menyambut paras eloknya. Udara menjelang siang ini begitu segar. Ia mendekatkan diri pada pembatas teras, bertopang dagu di sana sementara netranya jelalatan menyisiri pelataran taman di bawah. Hingga sorotnya terhenti pada satu titik, tepat di bawah terasnya, dua kesatria terbujur di atas permukaan tanah dan seorang pemuda pirang dengan mantel hitam berdiri di tengah keduanya. Dalam kecepatan kilat, manik biru Arcaviel membeliak. Ia mematung ketika pemuda pirang itu mendongak. Aku tahu dia, pikir Arcaviel. Bukan takut, ia justru menahan tatapannya lurus ke bawah. Sampai tanpa sadar, Arcaviel mulai terlarut dalam sepasang manik hijaunya. Ia tidak memasang sikap defensif, memudahkan pria pirang itu menjeratnya ke dalam ilusi, karena tahu-tahu saja, Ignacio Barro sudah berdiri tepat di depan Arcaviel—menapakkan kaki pada teras yang sama dengan sang Putri. “Putri, Yang Mulia mengamanatkan saya untuk mendampingi Anda turun.” Ignacio meletakkan tangan kirinya ke pundak kanan sembari membungkuk hormat kepada Putri Aeradale. “Kita harus bergerak cepat. Jangan khawatir untuk jatuh, karena saya akan menangkap Putri detik itu juga.” “Di mana kakakku?” tanya sang Putri, beringsut mundur satu langkah dengan kening berkerut. “Kenapa bukan Kak Viar yang kemari?” “Yang Mulia ada di sini, Putri. Kami diundang kemari oleh siluet milik si pengkhianat kerajaan itu,” Ignacio menatap heran Arcaviel setelah mendapati perubahan rautnya yang terlihat kesal, “dan di sini, saya ditugaskan untuk mengusung Putri pergi dari kerajaan menuju markas aliansi.” “Maaf, aku tidak akan ke mana-mana.” Arcaviel kini meratakan ilusi tersebut dengan mananya semudah membalikkan telapak tangan, kemudian terburu-buru keluar dari kamar. Ia sedikit terganggu dengan penuturan Ignacio tadi. Reeval mengundang Orbit Desertir—aliansi kakaknya—datang? Itu mustahil. Arcaviel cukup tahu Reeval tidak mungkin mengundang mereka secara terbuka. Kalaupun iya, aliansi kakaknya tidak mungkin bisa masuk begitu saja. Jadi, ia terburu-buru menjangkau ruang kerja pria itu—dan tanpa mengetuk pintu, Arcaviel memelesat masuk. Namun, siapa sangka, pemandangan mengerikan di depan sana berhasil membuatnya sama sekali jatuh tidak berkutik? * Pertikaian sengit kedua pria itu sudah berlangsung sampai bermenit-menit. Baik Arcaviar maupun Reeval, belum juga menunjukkan tanda-tanda salah satu kemenangan. Dalam segi kemampuan, sejak dulu keduanya sama-sama sepadan. Jadi, ketika mereka berhadapan kembali saat ini, keduanya mampu berkelit dari satu sama lain dan akan menerjang tubuh lawan bila mendapat kesempatan untuk melakukan demikian. Sedangkan Rodeus, ia tidak bisa bertindak apa-apa kecuali mengamati kedua pria yang dulunya berkawan baik. Tidak ada lagi sepasang kawan itu, hanya dua orang musuh yang ingin saling menjatuhkan. Arcaviar dan Reeval telah menanggalkan persahabatan mereka jauh di belakang, terkubur dalam apa yang disebut sebagai kenangan. Meski ia diam saja, Rodeus tetap memastikan ajang saling serang itu tidak akan berakhir dengan kematian. Bogem mentah Arcaviar mendarat keras di rahang Reeval. Yang ditonjok sedikit terhuyung sebelum kembali berdiri tegak. Ia melirik sebilah pedang yang terkapar tidak jauh dari mereka. Itu milik Arcaviar, ia sempat melakukan serangan sampai pedang itu berhasil terpental. Reeval dengan cekatan merunduk bertepatan bogem mentah Arcaviar mendarat ke dinding ruang kerjanya. Jika ia telat sedikit saja, entah jadi apa bentukan rupanya. Memapasi bogem mentah sang lawan, Reeval berlari ke arah di mana pedang milik Arcaviar itu tergeletak. Bagaikan tempat landasan, alas sepatunya mendecit seiring tubuhnya memelesat tepat di atas lantai. Tanpa banyak berkata-kata, lengan kukuhnya lekas menjangkau pedang tersebut dan menghunuskannya tepat satu senti di depan leher Arcaviar. Keduanya kini sama-sama tidak bergerak di tempat. Tidak ada suara sama sekali di dalam ruangan itu selain deru napas memburu dari arah keduanya. “Sebelum aku membunuhmu, katakan bagaimana kalian bisa masuk tanpa sepengetahuanku?” Reeval menatap sengit Arcaviar tanpa melucutkan secuil pun kewaspadaan. Ia bersumpah bila Arcaviar bergerak sedikit saja, pria itu akan langsung menusuk lehernya sampai tembus. “Apa kau sedang berusaha membuatku terkecoh dengan berpura-pura tidak tahu, Lanford?” Tanpa sadar, pertanyaan itu berhasil menurunkan sikap defensif Reeval. Pria bermanik hitam itu kemudian membeliak saat situasi berputar balik. Arcaviar berhasil merampas pedangnya kembali dan menyikut keras-keras d**a bidang Reeval. Ia juga tidak lupa untuk mengerahkan mana agar kekuatannya meningkat. Dengan itu, Arcaviar sudah berhasil membuat punggung Reeval membentur dinding untuk kali sekian. Tetapi, di luar dugaan, Arcaviar tidak memiliki keraguan dalam menembusi kulit abdomen musuhnya dengan pedang. Organ tubuh Reeval otomatis seperti dipelintir habis-habisan. Cairan merah pekat seketika mengalir dari mulut pria itu, sedangkan Arcaviar tetap mempertahankan pedangnya di sana. Reeval terbatuk-batuk tanpa henti, mulutnya komat-kamit tetapi tidak ada satu kata pun yang terucap. Ia mencoba memanggil siluet hitamnya, tetapi gagal. Dicobanya sekali lagi meski saat ini kesadaran pria itu mengambang. Tidak berhasil. Bagaimana bisa? Apa karena tubuhnya sudah lemah sekali? “Viar.” Rodeus bersiap mendatangi mereka, tetapi tangan Arcaviar terangkat di udara sukses menahannya. Tidak bisa berbuat apa-apa karena ia memang mengabdi sang Raja asli, akhirnya Rodeus berhenti dan berkata lirih, “Reeval sekarat, Viar.” “Ini tidak sebanding dengan apa yang sudah ia lakukan kepada kita, kerajaan, adikku, Brigid, dan Ebony.” Arcaviar menahan tatapan mereka, meski tidak bisa ia mungkir, satu tangan yang menggenggam pedang itu gemetaran. “Kau pikir aku sebaik itu untuk melepas kesempatanku membunuh si berengsek ini, Primus?” “Kalau begitu, bunuh saja.” Di tengah sadar dan tidak sadar, Reeval terpatah-patah mengulurkan tangan kanan menuju gagang pedang. Sekali lagi, ia melengos ke arah lain untuk memuntahkan darah—sebelum akhirnya pria itu membenturkan kepala belakangnya ke dinding, membawa gagang pedang itu semakin menelusuk abdomennya. “Bunuh aku, Yang Mulia.” Arcaviar mematung. Ia mengeratkan genggaman pada gagang pedang begitu tahu mantan kawannya itu berniat untuk membantunya mengakhiri semua. Tidak jauh dari mereka, samar-samar Arcaviar bisa mendengar Rodeus memanggil namanya. Pria itu tidak akan mencoba untuk mendekat meski Arcaviar tahu, Rodeus sangat ingin menengahi pertikaian dua orang itu. Kendati demikian, Arcaviar tidak mengindahkan panggilan kesatrianya. Ia tetap menatap lurus Reeval yang sudah benar-benar sekarat. “Kenapa tidak mengerahkan mana sialanmu itu?” Arcaviar bisa merasakan napasnya ikut terputus-putus, mengikuti deru napas pria sekarat di hadapannya. Bedanya, jika Reeval kesulitan bernapas karena situasi saat ini, Arcaviar justru tidak memiliki alasan yang tepat. Semestinya ia bisa bernapas lega, mengingat takhta akan kembali kepadanya, begitu pula sang adik. Namun, perasaan ini tidak berjalan sesuai dengan kehendaknya. “Kenapa kau tidak melawanku?” Uhuk! Reeval melengos ke arah samping. Di tengah visual mengabur pria itu, dapat ia lihat kubangan cairan merah kental tersebut semakin besar saja. Ia telah muntah darah berkali-kali dan ironisnya masih sadar, bagaikan Tuan-Tuan Penguasa juga tidak sudi memberikan kematian yang damai untuk dirinya. Lalu, apa lagi ini? Reeval rasanya ingin tertawa pahit begitu sadar Arcaviar tidak akan mau membunuhnya begitu saja. Ia niscaya menikmati detik-detik terakhir si pengkhianat kerajaan satu ini. “Jawab aku, berengsek!” Puncak kemarahan Arcaviar direspons hanya dengan seulas senyum tipis oleh Reeval. Putri butuh Anda, katanya tanpa suara. Benar, selain karena ia terlalu lemah untuk mengerahkan mana hitamnya, Reeval juga teringat dengan nasib Arcaviel bila kakaknya—atau kedua dari mereka sama-sama mati. Harus ada salah satu yang hidup dan Reeval yakin, orang itu adalah Arcaviar. Semakin dekat ia dengan kematian, kilasan memori lama mereka terus mengerubungi otak Reeval. Ia jadi teringat dengan sumpah kesetiaan sebagai kesatria kepada si raja masa depan Aeradale. Bagaimana bisa ia mematahkan sumpah itu? Pantas saja Tuan-Tuan Penguasa tidak pernah memihaknya. Begitu banyak hal yang telah ia langgar atas keserakahannya. “Putri butuh Anda …,” bisik Reeval lagi, ketika ia sudah menemukan suaranya kembali. Jawaban itu berhasil membuat pertahanan Arcaviar runtuh. Tanpa sadar cengkeraman jemarinya telah mengendur, sampai-sampai Reeval berniat mengambil momentum untuk menelusuk pedang semakin dalam demi mempercepat kematiannya. Tetapi, belum sempat itu terjadi, suara pintu terbuka dan seluruh atensi tertuju kepada sosok yang sempat mereka bicarakan. Arcaviel tidak berkutik selama beberapa waktu sampai— “Reeve!” Arcaviel tidak bisa menahan tangisnya saat ia memelesat menuju sisi Reeval. Ia bahkan tidak menaruh sedikit pun atensi pada Arcaviar—yang sebenarnya tidak berhasil menyembunyikan rasa sakit karena diabaikan. Arcaviar melirik Rodeus, sepintas mendapati kesatrianya itu juga menatapnya prihatin. Mengabaikan tatapan tersebut, Arcaviar kembali menggeserkan atensi menuju Arcaviel yang telah mengisi posisinya. “C-Cav ….” “Sstt … bertahanlah, aku di sini.” Arcaviel meraup pipi Reeval dengan tangan kirinya, sementara satu tangan yang lain mulai memegang gagang pedang dengan penuh kehati-hatian. Ia sebisa mungkin memusatkan mananya kepada pedang tersebut untuk dikeluarkannya kembali. Putri Aeradale menggigit bibir ranumnya keras-keras selama ia mengabsen seluruh mananya tanpa melepaskan usapannya pada pipi Reeval. Cairan bening lolos dari pelupuk netra biru Arcaviel. Ia memohon sebesar-besarnya kepada Tuan-Tuan Penguasa dan Dewa-Dewi untuk memberikan kesempatan kepada pria sekarat di depannya. Dan ketika ia telah berhasil memusatkan seluruh mana pada pedang itu, ditariknya perlahan-lahan keluar. Selama penarikan tersebut, dapat ia rasakan tubuh Reeval gemetaran dan permukaan kulitnya dingin bukan main. Pria itu terus-menerus memuntahkan darah. Tanpa rasa jijik, Arcaviel tidak perlu berpikir lama untuk membiarkan dagu Reeval bertopang di atas pundaknya. Dengan tangan kanan masih mencoba mengeluarkan pedang dari abdomen kekasihnya, jemari sang Putri terus mengusap lembut tengkuk Reeval. Bibirnya sesekali melontarkan kalimat penenang kepada pria itu atau kecupan ringan di pelipis. Dan sikap lembut penuh afeksi dari Arcaviel untuk pria itu tidak luput dari indra penglihat Arcaviar dan Rodeus. “J-Jangan … kapasitas manamu.” “Aku baik-baik saja.” Arcaviel mendaratkan kecupan sekali lagi di pelipis pria itu. Air matanya menetes lagi di sana. “Kau harus bertahan.” Reeval bergeming. Ia menatap kosong Arcaviar dan Rodeus di tengah ambang kesadarannya. Pantaskah aku untuk bertahan? pikir pria itu, masih sempatnya tertawa pahit. Seluruh tubuh Reeval menegang dan hampir mati rasa selama ia merasakan pedang itu mulai keluar dari abdomennya. Reeval betul-betul hilang keseimbangan, bertepatan Arcaviel menariknya keluar dan melempar pedang itu menuju sembarang arah. Dengan sepasang tangan mungilnya, ia merengkuh leher Reeval dan menahan bobot mereka. Isak tangis kembali lolos dari bibir Arcaviel begitu netra mereka berserobok. Menyentuh lembut abdomen Reeval, jemari Arcaviel mulai menguarkan sulur-sulur keemasan di sana. Ia menutup netranya, menarik napas dalam-dalam demi mengerahkan mananya kembali. Tetapi, ia tidak bisa memulihkan luka pria itu dengan semudah membalikkan telapak tangan. Arcaviel hanya dapat memberikannya sedikit bius untuk menawar rasa sakit kekasihnya. Sementara itu, Reeval mulai menggerakkan tangannya ke atas punggung tangan sang Putri. “Sudah cukup,” bisiknya, menahan gadis bersurai cokelat pirang itu agar tidak menggunakan mananya secara besar-besaran. Apa yang sudah Arcaviel lakukan berhasil membuatnya mendapatkan kesadaran kembali. Akan berbahaya bagi Arcaviel bila pria itu berhasil pulih total karenanya. “Terima kasih, Cavi.” Arcaviel kemudian menangis sejadi-jadinya. Ia memeluk Reeval lama sekali, enggan melepaskan pria di hadapannya lagi. Arcaviel betul-betul tidak bisa membayangkan jika kehidupan Reeval sampai di sini. Kehilangan pria itu merupakan momok terbesar bagi Arcaviel. Cukup lama ia mengekspresikan kesedihannya, Arcaviel menoleh ke belakang, tepat kepada sang kakak dan kesatrianya. Tidak mau kemungkinan buruk terjadi, Reeval menyeka lembut air mata gadis itu dari samping. Ia juga melemparkan senyum lemah yang menenangkan. Itu berhasil membuat emosi panas di kepala Arcaviel kembali tenang. Karena awalnya ia hanya berniat untuk memarahi Arcaviar dan Rodeus, seketika ia bingung ingin berkata apa kepada mereka. Tidak mungkin sebuah kata sapaan 'selamat datang', bukan? “Kak Viar, Kak Ode ….” Rodeus membungkuk penuh formalitas, sedangkan Arcaviar terpaku di tempat. Baru saja Arcaviel ingin menghampiri mereka, tiba-tiba perubahan atmosfer terasa begitu nyata. Arcaviar dan Rodeus meneguk liur mereka selagi menggeser atensi menuju Reeval. Yang ditatap menegang dan melemparkan pandangan sarat akan ketidaktahuan. Memasang kembali sikap defensifnya, Reeval menangkap lengan Arcaviel, memeluk tubuh mungilnya dari belakang. “Ada apa?” tanya Arcaviel, entah mengapa ia merasakan situasi terasa lebih intens—bagaikan ada ancaman lebih besar di luar pintu sana. “Tetap bersamaku,” bisik Reeval, menghunjam tatapan lurus ke arah pintu. Arcaviar dan Rodeus beringsut mundur, sedikit lebih jauh dari pintu begitu netra mereka mendapati sesuatu yang likuid merangkak dari celah bawah akses keluar masuk ruangan. Rodeus berancang-ancang dengan pedang, sementara Arcaviar mulai mengerahkan mananya. Merasa ada keganjilan, Arcaviel lantas melongok ke balik pundak. Ia perlu mendongak semata-mata mendapati binar kewaspadaan dari manik hitam pria di belakangnya. “Lanford, apa kau memanggil siluetmu kemari?” Rodeus bergumam rendah. “Tidak.” Meski tahu Rodeus tidak akan melihat, Reeval tetap menggeleng mantap. “Sama sekali tidak.” “Jadi, bukan kau juga yang mengundang kami datang kemari melalui siluetmu itu?” Reeval mengerutkan kening. “Mengundang? Apa maksudmu?” Jawaban dari Reeval sukses membuat kedua pria yang saat ini cukup dekat dengan pintu menegang. Dengan air muka sedikit lebih pucat, Rodeus lantas melirik Arcaviar. “Mundur, Viar. Biar aku yang menangani ini,” bisiknya. Sebagai seorang kesatria, keselamatan sang Raja merupakan hal utama. Insting Rodeus cukup tahu bila likuid-likuid yang perlahan membentuk siluet ini jauh lebih berbahaya daripada yang sudah-sudah. Akan tetapi, Arcaviar menolak patuh. Ia tidak akan mengorbankan nyawa kesatrianya begitu saja. Jangankan nyawa Rodeus, sosok Reeval—yang notabene musuh pria itu saja enggan ia korbankan. Arcaviar berjanji akan berdiri di garis terdepan bersama Rodeus. Tetapi, sebagai gantinya, Arcaviar menoleh kepada sepasang kekasih di belakang sana. “Jika kau masih ingin hidup,” Arcaviar memusatkan atensinya kembali lurus ke depan, “maka lindungi adikku dengan nyawamu.” “Bawa dia pergi dari sini—dan temui para aliansiku.”[]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD