33. Undangan & Pertikaian

2122 Words
“Kau akan semakin tua jika berkerut seperti itu, Yang Mulia.” Olok-olok dari kesatrianya tidak membuat Arcaviar marah. Ia cukup melemparkan sorot sengit untuk menakuti kesatria pria itu, namun seribu sayang, itu tidak akan pernah mempan bila diarahkan kepada Rodeus. Seperti sekarang, kesatria masa depan Aeradale itu justru cengar-cengir mendapati pandangan yang sama sekali tidak tumpul terpancang lurus kepadanya. Arcaviar menggulirkan netra biru kehijauannya, menolak acuh. Ia menggeser pandangan ke arah lain, tanpa sadar sudut bibirnya tertarik naik melihat Ebony menjadi pendengar keluh kesah seorang lansia. Semenjak ia kehilangan kemampuan bicaranya, pengabdi Brigid itu lebih banyak mendengar dan merangkul sesama, semata-mata memberikan kekuatan bagi si pembicara. Ia tidak banyak berubah, sebetulnya. Ebony dulu bisa menjadi pendengar dan penasihat yang baik. Namun, akibat mana si berengsek, kemampuan bicaranya direnggut sebelum ia berhasil membacakan selarik mantra. Berbeda dengan Brigid, Ebony jauh lebih menguasai mantra. Ia bisa memusatkan mana putihnya di seluruh anggota tubuhnya, kecuali area lidah. Tanpa sadar, Arcaviar meremas kepalannya sendiri. “Tunggu aku, Ebony,” bisiknya, cukup halus tetapi terdengar oleh Rodeus. “Cih, kau sama saja seperti Lanford,” ejek kesatria itu. “Sama-sama b***k cin—woah!” Rodeus terpelanting ke samping di saat Arcaviar mengarahkan cambuk mana putih menuju tubuh kesatria itu. Ia berkelit menjauh ketika lagi-lagi Arcaviar hampir mencambuknya bertubi-tubi. Netra cokelat Rodeus membeliak saat cambukan mendarat terpeleset di sisi pelipis kirinya, kemudian kanan, kiri, dan begitu seterusnya sampai Rodeus mengangkat kedua tangan. “Yang Mulia! Kau ingin membunuhku?!” Rodeus berusaha untuk duduk setelah berkali-kali perlu berguling demi menghindar dari mana putih Arcaviar. Mengusap kepalanya yang sempat membentur tanah, ia mengumpat pelan, “Raja sinting!” “Jangan samakan aku dengan k*****t itu,” tegur Arcaviar, memasukkan kembali cambuk mana putihnya ke telapak tangan. Ia kemudian beringsut memunggungi kesatrianya dengan tangan diselipkan ke dalam saku celana. Rodeus hanya mengulaskan senyum miring, membuat Arcaviar kesal merupakan satu dari sekian hobinya. Bagaimana tidak, kekesalan itu sangat terbaca di mata Rodeus. Tetapi bukan kekesalan saja yang selalu ia temukan, melainkan ada binar lain—keinginan untuk memperbaiki yang tidak pernah ingin rajanya akui secara pribadi. Sepeninggal sang raja muda, air muka pria bernetra cokelat itu berganti datar. Ia memancang lurus kepada selubung tak kasatmata, separasi antara Hutan Ash dengan markas aliansi pengikut Arcaviar. Hah … sampai kapan kau akan seperti ini, Lanford? pikir Rodeus, lalu paras elok Putri Aeradale terlintas di dalam benaknya. Dan lagi, ia mengembuskan napas. Tolong dia, Putri, agar nujum itu benar-benar tidak terjadi. Rasa bersalah tidak lama membersit dalam diri Rodeus. Ingatan pria itu terlempar kembali menuju saat-saat di mana ia dan Amorette—Arcaviel—mengikuti tradisi desa mereka di Perbukitan Spirithorn. Ia betul-betul tidak mengingat apa pun. Helga Crane, penyihir muda didikan Brigid, merancang sekaligus memanipulasi pengalamannya dan Amorette dari kecil hingga dewasa, sampai-sampai ia mengira memori tersebut adalah realitas. Sampai tibanya ketika mereka perlu dihadapkan oleh siluet hitam milik Reeval. Ia sebagai Pierce, tentu merasa ketakutan. Tetapi, ketakutan tersebut berhasil ia lawan demi Amorette. Sebagai sepupunya di alam fana, ia berjanji untuk melindungi Amorette dari segala ancaman. Hingga ketika mereka tersudut, kunang-kunang itu memperlihatkan jati diri Rodeus, mengembalikan seluruh ingatan lama pria itu. Kala itu juga, Rodeus memasang tubuh untuk sang Putri. Siapa sangka, niat untuk melindunginya justru berakhir dengan Putri Aeradale kembali kepada Reeval, sedangkan Rodeus kembali kepada rajanya? Ketika ia diculik oleh siluet hitam dan hampir diusung menuju kastel, Ignacio dan sejumlah aliansi lain membantunya lolos, sampai salah satu dari mereka menyebutkan ‘Yang Mulia’. Dari sana, Rodeus tahu ia sudah kembali. Namun, belum sempat para aliansi berhasil menyelamatkan sosok Arcaviel, mereka sudah mendapat kabar dari salah seorang intel dalam kastel bila Putri Aeradale telah kembali ke dalam kungkungan Reeval, sebagai adik dari pria itu. Reaksi Arcaviar? Jelas Rodeus tahu Arcaviar marah besar. Bukan suatu kabar baik bila adiknya jatuh ke tangan sang musuh. Akan tetapi, semakin hari, Rodeus merasa rajanya sedikit lebih tenang karena Reeval tidak pernah sekali pun berbuat buruk kepada sang adik. Tak dapat Rodeus mungkir, kesatria pria itu sedikit lega meski perbuatan Reeval kepada kerajaan jelas tidak bisa mereka toleransi. Setidaknya, mantan kawan baik mereka tidak berbuat macam-macam kepada sang Putri. Terlarut sejenak dalam lamunan, perlahan-lahan kerutan pada permukaan kening Rodeus muncul. Ia menginspeksi Hutan Ash di luar selubung yang mulai menguarkan aura ganjil. Dedaunan merontok ketika semilir angin menyapu mereka. Sejauh ini, tidak ada tanda kemunculan makhluk-makhluk yang mungkin mengintimidasi mereka, tetapi dari auranya, Rodeus tahu ia tidak bisa melecutkan kewaspadaan. Mentari menggantung tepat di atas hutan. Arus angin membuat permukaan tanah di depan sana penuh oleh bayang-bayang pepohonan rimbun. Ayunan dedaunan tidak henti-henti, sampai sepasang netra cokelat Rodeus jatuh ke salah satu bayang. Membiarkan tangan kanan tetap menggantung bebas di sisi tubuhnya, ia bersiap dengan memusatkan mana putih di telapak tangan. Bayangan itu membesar, bahkan menyatu sampai refleksi pepohonan di tanah raib tak bersisa. Atmosfer saat ini jelas berbeda dengan biasanya. Markas aliansi sudah terbiasa dengan kedatangan siluet milik Reeval, tetapi tidak pernah sekuat ini sampai roma halusnya cukup meremang. Rodeus mulai melangkahkan kakinya mundur ketika bayangan itu membentuk sebuah siluet berperawakan tinggi besar. “Lagi?” Suara jengkel Ignacio merangsek ke indra pendengar Rodeus. Ia tiba tepat di sisi pria itu, sebelum menoleh dan bertanya, “Apa aku harus mengalihkannya dengan ilusiku?” “Tidak.” Rodeus memiliki firasat kuat. Sesuatu tidak beres. “Cukup panggilkan Yang Muli—” “Aku di sini,” selat Arcaviar, melirik sepintas Ignacio yang langsung membungkuk hormat melihat kedatangannya. Tidak berniat ia pedulikan, raja itu kembali berkata kepada Rodeus, “Ini berbeda dari biasanya.” Rodeus mengangguk setuju. “Sedari tadi, ia pun sekadar melihat kita saja.” “Apa lagi yang si berengsek itu rencanakan?” Arcaviar hampir mengeluhkan perlakuan sang musuh. Selanjutnya, ada keheningan cukup lama di antara ketiga pria dan siluet besar itu. Sampai sang siluet mulai melangkah perlahan setelah ia mencuri habis para bayangan di permukaan tanah. Siluet itu kemudian mengulurkan tangan menuju selubung tak kasatmata. Arcaviar, Rodeus, dan Ignacio masih menanti kelanjutan apa yang akan dilakukan oleh siluet tersebut. Ketika mereka pikir sang siluet akan menghancurkan selubung markas, siluet tersebut menarik kembali uluran tangannya dan bertelut di hadapan mereka. Salam bayang. Yang Mulia Lanford secara resmi mengundang Anda sekalian menuju kastel. * Manik biru itu terus menjelajahi fitur serius dari paras tampan Reeval selagi pria itu sibuk mengurus berkas-berkas laporan. Mau tidak mau, Reeval mendongak dan menahan tatapan mereka saat itu juga. Cukup lama kedua orang itu beradu tatap sampai akhirnya Arcaviel gagal menahan senyum, sedangkan Reeval menghela napas ketika mengingat kembali perbincangan terakhir tadi. “Kau tidak membenciku?” tanyanya, menegakkan punggung di sandaran kursi sembari menekan ruas-ruas jemarinya yang terasa pegal. Begitu Arcaviel menggeleng, Reeval bertanya kembali, “Tidak marah denganku?” Sekali lagi, Arcaviel menggeleng mantap. “Aku mengenalmu baik, Reeve,” ia meletakkan tangan di atas meja yang kini membatasi jarak mereka, kemudian berbisik lirih, “aku bahkan lebih mengenalmu ketimbang kakakku sendiri ….” Persetan bila orang lain menganggapnya dungu—mengingat Arcaviel jelas-jelas terperangkap dalam kungkungan raja palsu, bahkan dengan berani melengserkan keluarga kerajaan. Akan tetapi, sedikit yang tahu keberadaan Reeval sungguh berarti untuk Putri Aeradale semenjak dulu. Pria itu tidak memanipulasi Arcaviel, sedikit pun tidak. Ia masih sadar betul tentang keberpihakannya detik ini. Menerima respons dari Arcaviel, entah mengapa nurani pria itu tersentil. Sampai-sampai, jemari kukuhnya terulur untuk mengusap lembut pipi sang Putri. Arcaviel menikmati usapan tersebut hingga netranya menutup rapat. Reeval mengulaskan senyum tipis. Jemarinya beralih untuk menyugar poni Arcaviel untuk melihat paras elok itu lebih jelas. “Aku—” “Sst, kemari.” Reeval menarik kepala Arcaviel mendekat. Ia perlu berdiri untuk membungkuk dan mendaratkan kecupan kecil di permukaan kening kekasihnya. “Aku mencintaimu. Itukah yang ingin kau katakan?” Arcaviel tertawa halus. “Sok tahu,” balasnya, setengah mencibir. “Aku bilang, aku ingin makan.” Cuping telinga Reeval sedikit memerah. Ia dengan percaya dirinya salah mengatribusikan ucapan Arcaviel. Berniat menarik diri saking jengahnya, Arcaviel sudah lebih dulu menggesekkan lembut batang hidung mereka. “Aku mencintaimu dan aku tidak akan pernah lelah mengucapkan itu padamu, Reeve,” bisik Arcaviel, mulai memunggungi Reeval untuk menjamah pintu. Reeval dibuat terkekeh bertepatan pintu ruangan menutup. Apa-apaan dia? Kenapa selalu lemah sekali bila berhadapan dengan gadis itu? Memalukan. Tetapi, dadanya terasa menghangat. Ia melemparkan punggung ke sandaran kursi, tertawa sebentar, sebelum tiga tetes cairan bening mencuat dari pelupuk netra hitamnya. Apa keputusannya selama ini sudah benar? Di saat Putri Aeradale telah berada tepat di depan matanya, mengapa … ia justru merasa kosong—dan menginginkan permusuhan ini berakhir? Sementara itu, Arcaviel merasa bersalah ketika tahu Sahara masih menantinya di depan pintu. Troli berisikan hidangan pagi yang sudah mendingin membuat Sahara tidak enak hati membiarkan nonanya untuk mengonsumsi. Meski Arcaviel mengatakan ia akan baik-baik saja, toh hidangan dingin tidak akan membuatnya mati, akhirnya menuruti pelayan manisnya satu itu. “Daripada dibuang, sebaiknya kau memberikan makanan ini untuk Paman Topaz,” ucap Arcaviel. “Paman Topaz?” Sahara mengulangi nama asing itu dengan kelu. “Siapa dia, Putri?” “Ah,” Arcaviel baru ingat mereka tidak akan mengenali kesatria pribadi ayahnya itu, “gelandangan tadi bernama Topaz. Kau melihatnya dibawa oleh Lobelia menuju kamar atas, bukan?” Sahara membulatkan bibir ranumnya, kemudian mengiakan. “Baiklah, Putri. Saya akan mengantar makanan ini untuk gelandangan tadi. Tunggu saya kemari untuk memberikan Anda hidangan hangat, ya, Putri,” ucap Sahara, kemudian mendorong troli ke arah pintu di penghujung lorong. Sementara Sahara akan mendatangi Topaz, Arcaviel memutuskan untuk memasuki ruang kamar pribadinya dan membersihkan diri. Kembali kepada Sahara, pelayan dengan kucir dua itu meninggalkan trolinya di depan pintu. Ia mengandalkan kedua tangan untuk mengusung hidangan beserta alat makan tersebut. Langkahnya begitu stabil ketika menaiki undakan meski tangannya penuh. Sahara dan pelayan lain sudah terlatih untuk itu. Mereka memiliki keseimbangan kuat, karena sebelum bekerja sebagai pelayan Aeradale, mereka perlu melalui banyak pelatihan dan pengujian. Selain itu, ia juga tampak tidak kesulitan meski daerah undakan sangat gelap. Sahara tidak merasakan keanehan, mengingat ia tidak pernah datang kemari sehingga tidak tahu bila lorong ini biasanya masih memiliki lampu. “Kak Lobe?” Sahara mencicitkan nama Lobelia, mengingat wanita itu kemungkinan besar masih ada di sekitar lorong. Ketika ia menanti Putri Aeradale keluar dari ruang kerja raja, Sahara belum mendapati pemedis itu kembali dari lorong kecil di atas sini. “Aku membawa makanan untuk gelandangan tadi, Kak Lobe.” Tidak ada respons. Kerutan mulai terukir di permukaan kening Sahara. “Kak Lobe?” panggilnya sekali lagi, kemudian lampu lorong tiba-tiba menyala. Sesosok pria tampak memunggungi Sahara. Dari perawakannya, Sahara cukup yakin pria itu merupakan si gelandangan lancang yang mengaku sebagai ayah dari kedua atasannya—dalam artian, merupakan Raja Aeradale terdahulu sebelum Reeval memimpin. Pria itu menghadap dinding penghujung lorong kecil, diam mematung tanpa bergerak sedikit pun. Mulai merasakan perasaan tidak mengenakkan, Sahara menggeser tatapan kepada pintu sisi kanan lorong yang terbuka. Ada sepasang kaki muncul dari ambang pintu. Netra bulat Sahara membeliak, keringat dingin mulai mencuat dari puncak kepala sang pelayan. Jemari yang mengusung hidangan mengalami tremor. Lidahnya terasa kelu bukan main. Sahara tidak sempat bersuara ataupun melarikan diri sewaktu pria itu memutar balik untuk menghadap pelayan berparas manis itu. Bayangan raksasa memantul tepat di dinding belakang si gelandangan. Tetapi, tidak seperti tadi, perawakan pria itu saat ini jauh dari kata kumal. Ia mengenakan baju koko hitam berlengan panjang, beberapa kemilinnya terbuat dari benang sutra emas yang harganya tidak main-main. “A-Anda—” Ting! Bising kelontang alat makan dan piring pecah memenuhi situasi dalam lorong. Bertepatan dengan itu, tubuh Sahara telanjur tumbang ke permukaan lantai, disusul oleh suara gedebuk akibat pendaratan kasar sang pelayan. Ketika dirasakan bayangan pada dinding sudah merangsek dan menyatu dengan punggung tegap pria bernama Topaz itu, ia lantas menghampiri tubuh terbujur Sahara dengan tenang. Diarahkannya telapak tangan menuju tengkuk si pelayan yang sudah tidak tersadarkan diri. Kerutan muncul di permukaan kening Sahara, tetapi tidak berlangsung lama karena selanjutnya ia sudah kembali tertidur dengan pulas. Topaz lalu menegakkan kembali punggungnya, menatap pintu akses keluar masuk lorong dengan kilat kebengisan di sana. “Kini tiba sudah bagianku untuk menjadi bagian dari penumpasan ‘dunia’ busuk ini.” Topaz mengukir seringai lebar saat pintu itu mulai terbuka secara perlahan-lahan. “Terima kasih karena sudah berjuang sejauh ini dan mempermudahku, Reeval—putraku.” Sementara di tempat lain, tepatnya ruang kerja sang raja palsu, tiga pria itu akhirnya bisa berhadapan secara tatap muka setelah sekian lama. “Lama tidak berjumpa, Lanford.” Berdiri di depan kursi kebesarannya, Reeval mengetatkan rahang dan menyoroti Arcaviar tajam. “Bagaimana kau bisa memasuki area ini tanpa sepengetahuanku, berengsek?” Rodeus tahu ini tidak beres. Belum sempat ia membicarakan kejanggalan, Arcaviar sudah memutuskan menutup mata dan telinga. Seketika, tubuh Reeval tercambuk membentur dinding di belakang—dan pertikaian antardua pria itu tidak dapat lagi terelakkan.[]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD