23. Kebangkitan Mana

2684 Words
Brigid Valkyrie, si penyihir renta itu menginspeksi perawakan Putri Aeradale dalam diam. Tidak, ia sama sekali tidak berniat diam. Brigid terpaksa bungkam akibat dampak dari mana hitam Reeval sempat memuntir indra pengecapnya. Sampai waktu yang telah ditetapkan oleh pria itu, ia akan menjadi seorang penyihir bisu, sama seperti sang pengabdi. Hanya saja, kebisuan Ebony Hunt berlaku sampai selamanya. Selain garis kerutan di wajah, mendapati Putri Aeradale sudah sebesar ini cukup menandakan betapa telah menuanya penyihir itu. Ini sudah berapa tahun semenjak ia terakhir kali melihat Putri Aeradale? Brigid kehilangan minat untuk menghitung saat ia mulai berdekam dan terisolasi dalam ruangan ini. Ia hanya tahu Putri Aeradale sudah beranjak dewasa, semakin elok rupanya, dan kesatria itu semakin berambisi untuk memilikinya. Paham ia tidak dapat melontarkan suara apa-apa, Brigid menginstruksikan Arcaviel untuk datang mendekat melalui isyarat tangan. Dilihatnya Putri Aeradale menoleh ke arah Reeval, meminta persetujuan untuk mendekatkan diri pada sang penyihir. Sebagai respons, Reeval menganggukkan kepala satu kali, kemudian melemparkan sorot penuh intimidasi ke arah Brigid setelah lepas dari atensi sang Putri. “N-Nenek,” bisik Arcaviel, takut-takut. “Mohon bantu aku membangkitkan manaku.” Brigid terenyuh. Otaknya terlempar lagi menuju malam itu, ketika Pangeran Aeradale mendesak sang adik untuk pergi menuju Bumi dan mengunci mana milik gadis itu. Putri Aeradale menolak mentah-mentah, tetapi ia tidak memiliki pilihan ketika Brigid terdesak untuk mengunci mananya sepihak. Binar netra Putri Aeradale sama persis dengan saat ini. Ada sorot ketakutan di sana, tetapi memudar saat Reeval datang bersisian dan mengusap kepalanya subtil. Brigid dapat melihat bagaimana mereka saling menatap, terlampau tulus, persis seperti dulu. Sang penyihir menghela napas dalam batinnya. Sebuah nujum yang pernah ia ramalkan, tentangan pihak kerajaan, serta keputusan nekat Pangeran Aeradale, bukan menjadi penghalang untuk afeksi kedua sosok itu. Khawatir? Jelas iya. Tetapi, melihat perlakuan kesatria itu kepada sang Putri membuatnya berpikir ulang. Reeval memang manipulatif dan Brigid mengakui itu—mau bagaimana pun, Brigid sudah mengenal pria itu semenjak ia berkawan baik dengan Pangeran Aeradale. Namun, entah mengapa, instingnya skeptis. Pancaran ketulusan itu tidak dibuat-buat. Ketulusan tidak akan berbuah keburukan. Apakah selama ini nujumnya keliru? “Nek?” panggil Arcaviel, sekali lagi. Brigid mengejap sekali. Entah sejak kapan, Arcaviel sudah duduk di atas dipan yang sama dengan penyihir itu, sedangkan Reeval tetap berdiri dan mengarahkan tatapan dingin menuju si burung hantu putih. Reeval sempat mengubah Ebony menjadi seekor burung hantu. Mana hitam Reeval tidak biasa, sama halnya dengan mana putih—dan hitam—milik Putri Aeradale kala itu. Diulurkannya tangan renta Brigid ke hadapan Putri Aeradale. Manik biru Arcaviel mengilat ragu. Keraguan itu berhasil menarik atensi Reeval dari Ebony, menujukan pandangan kepada Putri Aeradale. Jemari lentik Arcaviel sedikit gemetaran ketika ia meraih uluran Brigid. Bisa ia rasakan kulit tangan sang penyihir cukup mengerut dan tidak lagi kencang begitu mereka telah bersentuhan. “Rileks, ini tidak akan lama,” Reeval meremas lembut pundak Arcaviel dan secepat itu juga ketegangannya memudar, “dan tidak akan sakit.” Arcaviel mengiakan. “Kuharap benar,” balasnya, direspons tawa kecil pria itu. “Jangan tertawa!” “Aku tidak,” jawab Reeval, mengulum senyum sejenak sebelum mengubah guratnya menjadi lebih serius. Interaksi itu tentu diamati oleh Brigid. Tidak salah lagi, hanya ada ketulusan di antara kedua orang itu—dan nujum itu merusaknya. Brigid merapatkan netra sekilas, baru memulai pembuka dengan mengabsen seluruh mana putih dalam tubuhnya. Sudah lama sekali ia tidak menggunakan mana. Berdekam di ruangan tersembunyi kastel membuatnya harus hidup seperti manusia biasa. Pupil Arcaviel membesar begitu melihat sebuah cakra merah muda lambat laun terukir di punggung tangan Brigid. Sulur-sulur merah muda itu merambat menuju milik Arcaviel. Kehangatan mulai mendominasi raga Putri Aeradale bagaikan arus pemandian panas. Alih-alih merasa sakit, Arcaviel tidak merasakan apa pun selain hangat dan tenang. Reeval tidak berbohong tentang itu. Sementara itu, Brigid masih bergumul dengan mana miliknya. Ia mencoba untuk menggapai mana Arcaviel di titik terdalam tubuh Putri Aeradale. Mana itu tertidur cukup lama, sehingga untuk menjaganya kembali bangun, juga memerlukan tenaga ekstra dari sang penyihir. Brigid kembali membuka netranya, seketika pandangan mereka berserobok. Arcaviel terpaku pada netra sayu Brigid. Ada suatu hal yang tak terkatakan di sana, seperti sebuah asa. Terlarut dalam sepasang netra itu, Arcaviel sama sekali tidak sadar saat cairan merah menguar dari rongga hidung Brigid. Justru yang membuatnya mulai sadar tetapi tubuhnya tidak mampu berkutik adalah ketika Reeval memelesat ke samping posisi duduknya dan memegang wajah renta Brigid. “Brigid?” bisik Reeval, parau. Telapak tangan pria itu mengangkat dagu sang penyihir untuk tetap mendongak, kemudian ia mengumpat singkat, “Sial.” Yang dipanggil tertegun. Penyihir tua itu mengamati raut cemas Reeval, sementara ia masih terus menjamah mana Arcaviel. Brigid seketika tersedak muntahan darahnya sendiri. Ia berjuang melawan mana milik Putri Aeradale yang tampaknya merasakan jangkauan mana putih Brigid sebagai ancaman. Didengarnya Ebony, dalam wujud burung hantu, mengepakkan sayap dan mengeluarkan pekikan. “Tidak, tidak. Brigid,” Reeval menggeleng kalap, “lepaskan.” Brigid tidak mengindahkan. Mananya bertarung dengan milik Putri Aeradale, polanya cukup rumit. Ia kini hanya dihadapkan dengan dua pilihan yang tetap berakhir sama. Arcaviel akan mendapatkan kembali mananya atau tidak sama sekali. Dan pada akhirnya, Brigid akan tetap mati. Untuk pertama kalinya, Brigid melemparkan senyum kepada Reeval. Nak, aku tahu nuranimu belum mati, batin Brigid, ada perasaan lega menyelimuti, terlepas dari kondisi buruknya saat ini. Manik hitam Reeval bergetar gentar ketika ia menerima sorot teduh dari Brigid. Sudah lama sekali semenjak ia mendapatkan kilat yang sama dari penyihir itu. Benak Reeval kusut, terutama begitu Brigid pelan-pelan melepaskan tangan Arcaviel dan justru beralih menyentuh pipi pria itu. Seketika, Reeval lupa cara untuk berbicara. Ia hanya dapat mengap-mengap dan berkata ‘tidak’ tanpa suara. “Nenek!” Arcaviel tersadar dari syoknya. Beberapa detik kemudian, bagian terburuk pun tiba. Lengan renta Brigid jatuh meluruh dan darah segar keluar dari mulutnya. Keseimbangan Brigid mulai oleng dan pada akhirnya, sebelum kepala sang penyihir membentur dinding, Arcaviel menahan tubuh renta itu dengan gemetaran. Reeval bergegas membantu Arcaviel untuk membaringkan tubuh Brigid kembali ke atas dipan. “Reeve, apa yang terjadi?!” tanya Arcaviel, panik. Yang ditanya tidak merespons, lebih tepatnya tidak tahu ingin merespons apa. Dengan cekatan, ia meraih pergelangan tangan Brigid. Menekan dengan ibu jarinya, pria itu lantas memeriksa denyut nadi sang penyihir. Sangat pelan, pikir Reeval. Secara tidak terduga, visualnya mengabur dengan bibir melengkung kecut. “Kita harus memanggil Anh,” tuturnya singkat, tanpa ada minat untuk menjawab sang Putri. “Terlalu lama, Reeve!” Arcaviel tanpa sadar meninggikan oktaf bicaranya. Manik biru itu berlinang saat memandang tubuh terkapar Brigid, bangkar seperti mayat. Usai berjuang menelan liurnya, bibir ranum Putri Aeradale tahu-tahu saja sudah berkata, “A-Aku akan coba.” Dilakukannya hal ternekat gadis itu, ialah mencoba untuk mengerahkan mana yang sudah sempat dibangkitkan oleh Brigid. Dan entah bagaimana, sulur-sulur keemasan berhasil menguar dari sana, merangkak di antara ruas-ruas jemarinya, tetapi tidak berlangsung lama karena— “Kau gila!” Reeval membentaknya, menampik kasar tangan Arcaviel untuk menjauh dari tubuh bangkar itu. Bukan kepalang tanggung, pria itu memaksa Arcaviel beranjak dari dipan, hampir menyeret tubuh mungilnya. “Kita pergi dari sini!” Arcaviel merintih. Lidahnya langsung saja memprotes, “Tetapi, Reeve—” Bagaikan tentangan itu tidak dapat terdengar, Reeval secuil pun tidak menghiraukan Putri Aeradale meronta dalam cengkeraman. Pria itu seakan-akan menulikan indra pendengar, tidak sanggup berpikir jernih. Hanya ada amarah, serta perasaan bersalah yang sudah lama ini dirinya yakin tidak akan berlabuh lagi dalam lubuk hatinya. Berengsek! Bisa-bisanya kau tersenyum sebelum kematianmu, Brigid! umpat Reeval dalam batin. Dengan satu kakinya, ia membanting pintu ruang kamar Brigid dan cepat-cepat menuruni undakan. Pria itu tidak sadar meremas pergelangan tangan Arcaviel terlalu kuat. Arcaviel menggigit bibir bawahnya, menahan rintihan terlontar dari sana. Ia merasa tubuhnya hampir tremor akibat perlakuan dari Reeval. Rasa takut menelusuk di antara adrenalinnya. Mengapa Reeval dapat semarah ini dengannya? Padahal, ia mencoba untuk membantu sang penyihir. Sementara itu, selain karena Brigid, pria itu juga dibuat kesal dengan perilaku sembarang Putri Aeradale. Arcaviel begitu mudahnya mengerahkan mana kepada orang lain tanpa tahu imbasnya. Reeval niscaya akan memberikan semacam pelajaran untuk sang Putri nanti. Kebaikan Arcaviel tidak akan selamanya berbuah baik—untuk dirinya sendiri. Di akhir undakan, mereka keluar dari pintu dan netra hitam Reeval lekas menjumpai sosok Marcus. Kesatria Deulake membungkuk singkat sembari menenteng busur di tangan. Dari pancaran netranya, kesatria itu tampak ingin melaporkan hal penting, tetapi dirinya urung melihat gurat keras rajanya sekarang ini. Belum lagi, secara mengejutkan, sang Raja mengusung adiknya dengan agak kasar. “Panggil Anh, antarkan dia menuju ruangan Brigid.” Titahan itu lekas ia patuhi. Marcus bergegas menuruni undakan pertengahan lorong, menyisakan kembali Reeval dan Arcaviel hanya berdua. Lagi, pria itu kembali menarik Putri Aeradale menuju ruang kamar sang Putri, bahkan menutupnya dengan satu kali bantingan. Arcaviel mematung, perlahan beringsut mundur untuk menciptakan jarak di antara keduanya. Melihat raut itu membuat Reeval menghela napas kasar. Punggungnya bersandar sejenak di permukaan pintu, mengatur deru napasnya yang begitu memburu. Baru setelah pria itu berhasil menguasai penuh kontrol amarahnya, Reeval menjatuhkan tatapan kepada tangan Arcaviel. Jemari lentiknya memerah bekas hasil pukulannya, begitu pun pergelangan tangan Putri Aeradale hasil cengkeramannya. “Cav—” dengan gurat frustrasi, ia datang mendekat, tetapi selanjutnya Arcaviel justru beringsut mundur, “—maafkan aku ….” Putri Aeradale enggan merespons. Ia tetap mundur sampai kakinya tersandung dipan sendiri. Secepat kilat, Arcaviel jatuh terduduk di atas dipan. Manik biru jernih Arcaviel semakin jernih saja akibat berkaca-kaca. Selain kondisi Brigid menjadi buruk mendadak, Arcaviel juga merasa syok ketika ia mendengar bentakan Reeval untuk kali pertamanya. Bahkan, pria itu memperlakukannya secara kasar. “Setiap pemilik mana mempunyai kapasitas mereka sendiri, Cav.” Reeval bertelut tepat di hadapan Putri Aeradale usai memastikan gadis bernetra biru itu tidak lagi menghindar darinya. “Aku tidak ingin kemungkinan terburuk menghampirimu, terlebih kau baru saja mendapatkan mana itu kembali.” “Seperti Brigid?” bisik Arcaviel, lirih. Reeval dibuat bungkam sebentar, tetapi ia menyeka lembut air mata Putri Aeradale yang berhasil lolos dari pelupuknya. Arcaviel menarik napas sejenak dan kembali bertanya, “Apakah aku membunuh Brigid?” “Tidak.” Reeval menggeleng secepat kilat. “Brigid akan selamat. Lobelia akan berhasil menanganinya.” Pria itu mungkin sangat meragukan keselamatan Brigid, namun bagaikan menutup lembaran buku, ia berhasil menyembunyikan keraguan itu rapat-rapat. Tidak lama, kembali dijatuhkannya pandangan kepada ruas-ruas jemari Putri Aeradale. Reeval tanpa sadar mengepal erat. “Maafkan aku,” imbuhnya, menggapai jemari itu dan mendaratkan kecupan berkali-kali di sana. “Maaf, maaf, maaf.” Napas Arcaviel tersekat. Netra mereka kemudian berserobok. Raut dingin Raja Aeradale raib tak bersisa, tergantikan oleh gurat memelas, meminta untuk dimaafkan lantaran sudah berlaku tidak baik kepadanya. Belum sempat ia merespons, kedua orang itu serentak dikejutkan oleh secercah keemasan dari arah tangan mereka—tidak, lebih tepatnya bersumber dari dalam jemari kukuh Raja Aeradale. Manik sehitam jelaga milik Raja Aeradale mengejap sekali. Bagaimana … bisa? * Angin berdesing seiring burung hantu itu memecut kecepatan terbangnya. Kain putih penutup paruhnya sudah jatuh entah ke mana, mungkin di antara pepohonan, tetapi ia tidak peduli. Destinasinya sekarang ini hanya kepada sebuah tempat. Manik merah darah itu tampak nyalang, tetapi juga menyedihkan pada waktu bersamaan. Ia baru saja kehilangan sang tuan. Semestinya, Ebony larut dalam duka. Brigid, si penyihir renta itu, telah mati—belum, namun pasti akan. Kendati demikian, ia tidak diizinkan untuk berkabung. Janjinya dengan sang tuan harus ia tepati, maka dari itulah, ada untungnya juga sewaktu kesatria penuh ambisi akan cinta itu mengubahnya menjadi seekor burung hantu. Itu akan berlaku sementara saja dan selama itu juga, ia harus mengisi durasi yang tersisa untuk menuju tempat tujuan. Pasca berlama-lama Ebony terbang dan menentang arus angin, tibalah sosok itu di area penuh pepohonan. Tanpa berpikir panjang, ia menukik turun dan menyisiri celah-celah pepohonan itu—mengandalkan indra penglihatnya yang tajam untuk menemukan selubung. Jika bukan karena ia mengerahkan mana pada pusat manik merahnya, Ebony mungkin tidak akan sadar ada bantalan selubung di sana, beserta bias spektrum yang hampir tak kasatmata. Ia semakin memecutkan kepakan sayap putihnya, berusaha menjamah selubung itu. Akan tetapi, pertahanan mana hitam milik kesatria itu di dalam tubuh Ebony melemah, begitu pun kepak sayapnya. Jangan sekarang! Ebony meneriakkan itu dalam batin, tidak seperti mana itu akan mendengarnya saja. Dengan cekatan, diarahkannya seluruh tenaga untuk berpusat pada sepasang sayap putih itu. Saking fokusnya, Ebony menjadi tidak awas. Ia nyaris menubruk pohon. Pupil merahnya lekas membesar dalam keterkejutan, tetapi untungnya, sebelum ia benar-benar mendarat secara memprihatinkan di sana, Ebony berhasil memiringkan tubuh dan menyelat di antara celah kecil pohon itu. Dapat ia rasakan sayap kanannya sedikit tersayat oleh salah satu batang. Benak Ebony lantas mengaduh, sedikit pekikan lolos dari paruh burungnya. Ia meninggalkan rasa sakit itu di belakang sekali ketika menyadari jarak selubung dengan posisi terbangnya kian dekat. Ebony akhirnya kembali memecut sayap ringkihnya, bersiap menembus selubung. Sedikit la—berhasil! Ebony sanggup menerobos lapisan itu, tetapi ia lagi-lagi mengaduh. Wujud burungnya melemah, lambat laun sulur-sulur hitam dari tubuhnya menguar ke udara. Ebony merasa sesak teramat sangat. Ia tidak dapat menahan wujud burungnya lagi. Dua sayap burung hantu itu melemah, mengibas-ngibas secara sia-sia karena selanjutnya, ia terjatuh. Manik merah itu tertutup rapat untuk menanti pendaratan kasar sosoknya. Akan tetapi, alih-alih mendarat di tanah, Ebony mendarat di dalam sesuatu yang empuk dan hangat. Ebony belum bisa membuka netranya kembali, mengingat saat ini ia akan kembali ke raga aslinya. Dirasakan tubuh burung itu mulai menjulang seukuran tinggi tubuhnya. Bulu dan sayap itu kembali masuk ke pori-pori permukaan kulitnya dan menghilang tanpa sisa. Ketika alas kaki telanjangnya sudah menapak tanah, Ebony membuka netra merahnya, semata-mata mendapati pinggangnya dilingkari oleh dua buah lengan dan tubuh mungilnya bersandar pada sebuah d**a bidang. Seakan-akan ia lupa cara untuk bernapas, Ebony hampir tersedak liurnya sendiri. Secara terpatah-patah, lehernya mendongak ke atas untuk mengetahui pemilik lengan dan d**a bidang itu. Yang Mulia …. Cairan bening seketika lolos dari pelupuk netra Ebony. Ia dapat merasakan bagaimana satu lengan itu naik ke arah dagunya, menahan manik mereka cukup lama. “Ini benar-benar kau?” tanya si pemilik lengan, suara maskulin yang sudah lama ini tidak pernah lagi ia dengar. Sungguh, ia benar-benar merindukan suara itu. Ebony ingin menjawab, tetapi seluruh kata-katanya tertelan begitu saja. Pada akhirnya, ia hanya mengulaskan senyum kecil. “Ebony, apa yang ia lakukan padamu?” Merasa ada kejanggalan, pria itu lantas meraup pipi si pengabdi bisu dengan kerutan dalam. Ebony hanya diam, sedangkan si pemilik lengan mulai memantik api kecil. “Jawablah.” Tidak ingin membuat marah lawan bicaranya, Ebony segera membuka sedikit mulutnya. Seolah-olah mengerti, pria itu menekan kedua pipinya bersamaan. Dan tidak lama kemudian, satu tangannya yang menjuntai bebas terkepal erat. “Berengsek! b*****h itu ….” Menangkap amarah teramat sangat dari sepasang netra biru kehijauan di depannya, Ebony menggeleng dengan sorot teduh. Ia harus kelihatan baik-baik saja atau pria itu akan hilang kendali. Bisa Ebony lihat bagaimana mana putih milik sang Yang Mulia mulai menguar dari kepalan tangannya. Ebony bergegas mengarahkan jemari mungilnya untuk mengusap lembut tangan terkepal itu. Lambat laun, Yang Mulia mulai mendapatkan kembali kuasa penuh atas dirinya. Ia pandang sekali lagi si pengabdi Brigid yang bisu dan tanpa diduga oleh Ebony, bibir pria itu sudah memagut lapar bibirnya. “Maafkan aku, Ebony. Kita akan mencari cara untuk mendapatkan suaramu kembali,” kata Yang Mulia, di sela-sela afeksi mereka. Jangan lupakan adikmu, batin Ebony, tetapi ia tidak sanggup menyuarakan imbuhannya dalam kondisi seperti ini. Mendapatkan kembali Putri Viel lebih penting daripada mendapatkan suaraku, Viar. Ebony bisa merasakan tubuhnya terangkat di udara. Lengan kukuh itu terasa solid menahan pinggangnya untuk tidak terjatuh. Yang Mulia melakukannya tanpa kesulitan. Bibir mereka masih saling mencumbu, tidak ada niat untuk melepaskan. Mereka merindukan itu—perasaan afeksi yang meledak-ledak. Lantas diusungnya Ebony menuju sebuah rumah kayu milik si Yang Mulia. Pria itu ingin berbagi kerinduan teramat sangat kepada si gadis yang dahulu memutuskan untuk tetap mengabdi kepada sang penyihir. Ada begitu banyak pertanyaan berkelibang dalam benak Yang Mulia, tentang mengapa gadis itu bisa kemari, tentang Brigid, tentang kerajaan, tentang Putri Aeradale, dan tentang perkara lainnya. Namun, ia simpan pertanyaan itu untuk nanti. Karena pria itu akan meneruskan lebih dulu apa yang telah ia mulai di dalam rumah kayu, melepas segenap afeksinya kepada Ebony—si gadis dengan loyalitas tak terkira, satu-satunya tambatan hati seorang Arcaviar.[]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD