24. Kematian Brigid

2026 Words
Roda troli berhenti berotasi tepat di depan pintu. Sahara sibuk memungut alat-alat makan dalam laci troli untuk ditaruh ke atas baki. Karena itu, ia tidak sempat mengetukkan pintu ketika tahu-tahu saja akses keluar masuk itu sudah terekspos lebar, menampakkan perawakan semampai Putri Aeradale. Nonanya itu mengulaskan senyum sebentar kepada Sahara, baru menujukan pandangan heran kepada troli. Hari ini sarapan di dalam kamar? Ke mana dia? batin Arcaviel, bingung tatkala hidangan lauk-pauk ada di sana. “Aku mendengar suara gelegak roda. Kupikir aku kedatangan pandai besi atau apa, rupanya kau.” Arcaviel berbasa-basi lebih dulu selagi jemari lentiknya menyeka bulir air yang menetes dari poni dan mengalir dengan mulus di pipi. “Apakah aku tidak ada jadwal sarapan bersama kakakku?” “Hm, itu putri …,” sarat keraguan membersit dalam manik bulat sang pelayan, “Yang Mulia mengamanatkan saya agar Putri satu harian ini berkegiatan di kamar saja.” “Eh, kenapa?” Arcaviel terkesiap tanpa sadar. “Apa terjadi sesuatu pada kerajaan?” tanyanya, tetapi Sahara menggeleng, lalu mengangguk. Jawaban berbeda arti itu kontan membuat Arcaviel mengejap kebingungan. “Jelaskan padaku, Sahara. Aku tidak mengerti.” Entah mengapa, Arcaviel penasaran bukan main. Instingnya tidak enak. Akhirnya, Sahara segera membuka suara, “Bila Putri tahu soal Brigid Valkyrie, penyihir kepercayaan keluarga Anda, pagi ini beliau sudah tiada.” Kabar itu terlalu mendadak. Arcaviel nyaris beringsut mundur, untungnya ia sanggup mengimbangi bobot tubuhnya lagi. Entah dari kapan, visualnya terasa mengabur, namun Arcaviel sadar pelayannya tengah melemparkan sorot cemas. Sahara mencoba berkali-kali memanggil sang Putri, akan tetapi bagi indra pendengarnya, suara Sahara terdengar jauh. Arcaviel bisa merasakan mana itu memuntir organ tubuhnya dan mendesak kudapan malam kemarin naik untuk segera ia keluarkan dari dalam mulut. Mana itu … mana yang berhasil dibangkitkan kembali oleh Brigid Valkyrie, penyihir renta yang bahkan baru ia lihat satu kali kemarin. Kepala Arcaviel menggeleng kuat. Ia yakin kabar itu keliru. Tidak mungkin! “Reeve … di mana Reeve?” Saking paraunya, Putri Aeradale bahkan tidak lagi mengenal suaranya sendiri. Menggeser cepat troli yang tidak jauh darinya, tujuan Arcaviel sekarang ialah menuju seberang ruang kamarnya. Kelontang baki merangsek ke indra pendengarnya tatkala hasil penggeserannya sukses menyentak kereta dorong itu kepada dinding. Peduli amat soal troli dan hidangan paginya—bahkan panggilan Sahara atas namanya tidak kunjung ia respons, Arcaviel cuman butuh validasi dari pria itu. “Putri!” Sahara terus mengekor nonanya pasca ia menyelamatkan troli dan lauk-pauk dari terserak-serak. “Yang Mulia Lanford pergi dari pagi tadi!” Terlambat. Arcaviel telanjur menjamah pintu ruang kamar sang Raja, mengeksposnya kian lebar. Dan Sahara benar, tidak ada Reeval di ruang kamar megah pria itu. Tetapi, sorot netra biru Arcaviel menajam bertepatan visualnya menangkap sosok lain di dalam sana. Entah bagaimana, dapat ia rasakan aliran darahnya nyaris naik ke kepala. “Putri?” Itu suara Lobelia Anh, beserta perawakan eloknya di atas sofa dalam ruang kamar Raja Aeradale. Ia masih mengenakan busana seketat biasanya dan berhasil menciptakan pola rumit dalam benak Arcaviel. Mengapa ada si pemedis andalan Aeradale di ruangan kakaknya? Apa Lobelia menginap semalaman dan tidur bersama Reeval? Argh, ini bukan waktu tepat untuk memikirkan hubungan khusus di antara dua orang itu! pikir Arcaviel, tetapi sulit baginya menampik pikiran buruk tentang mereka. “K-Kak Lobe?” Suara Sahara berhasil menyentak kesadaran Arcaviel kembali naik ke permukaan dan dilihatnya pelayan manis itu membungkuk sopan. Lobelia mengangguk singkat, mempersilakan Sahara untuk kembali berdiri tegak. Sementara itu, Arcaviel menahan kesal. Kenapa Sahara begitu sopan dengan Lobelia? Itu mengingatkan Putri Aeradale dengan cerita sang pelayan tentang kedekatan Lobelia dengan Reeval. Jika ia tidak salah ingat, Sahara pernah berkata Lobelia menjadi pendamping wanita Reeval di setiap perjamuan. Menahan helaan napas lolos dari bibir ranumnya, Arcaviel berupaya membuang kegundahannya saat ini dengan kembali fokus pada tujuan awalnya. “Putri, apa yang Anda lakukan di sini?” tanya Lobelia, memusatkan atensinya kembali menuju Putri Aeradale, sedikit heran dengan pancaran tidak bersahabat di sepasang manik biru itu. “Itu pertanyaanku, Lobelia. Kenapa kau ada di kamar raja?” “Saya sedang menggantikan posisi Yang Mulia, Putri—menginspeksi laporan-laporan ini.” Lobelia mengedikkan dagu ke arah berkasan yang ia biarkan berserak di atas lantai. Harus sekali bekerja di dalam kamarnya? Arcaviel mengerutkan kening, kentara ia tidak suka dengan jawaban tersebut. “Kalau begitu, di mana Reeve?” “Yang Mulia mengantar Brigid Valkyrie menuju permakaman, Putri, bersama konvoi kesatria inti la—Putri?!” Pemedis andalan Aeradale itu terkejut bukan main ketika tanpa ancang-ancang, Arcaviel menarik Sahara untuk bersama-sama menghadapnya. Belum sampai di sana, Lobelia juga dapat melihat gurat galak sang Putri. Ada sedikit pelototan yang sejujurnya cukup mengerikan baginya. Mau bagaimana pun, citra Putri Aeradale sebagai adik manis sang Raja jauh dari raut demikian. “Bawa aku ke sana,” titah Arcaviel. Lobelia menelan liurnya sebentar, mendeham, sebelum akhirnya ia menggeleng. “Tidak bisa, Putri. Yang Mulia tidak—” “Baik,” tanggap cepat sang Putri. Baru saja Lobelia dapat merasa lega, tahu-tahu saja adik dari Raja Aeradale itu melongok kepada pelayannya dan meneruskan, “Sahara, antar aku ke sana.” “Put—” Lobelia kembali bungkam sewaktu Arcaviel menghunjamnya dengan sorot beringas. “Sahara, ayo!” Arcaviel siap menarik keluar pelayan manisnya, tetapi Sahara enggan beringsut dari tempatnya berdiri. “Apa lagi, Sahara? Kita harus ….” Putri Aeradale terdiam melihat sorot tidak enak hati dari Sahara. Meski ia belum membuka suara, namun ekspresinya sudah menjadi jawaban untuk Arcaviel. Sahara tidak ingin mematuhinya. Kenapa? Arcaviel hanya ingin memastikan kebenaran tentang kematian penyihir itu! “P-Putri, mohon maaf,” Sahara mencicit ngeri, “saya tidak berani.” Arcaviel melepas tangannya dari Sahara, beringsut mundur langkah demi langkah, tetapi ia masih menahan tatapan Lobelia. “Aku tidak peduli dengan amanat kakakku kepada kalian,” nada Putri Aeradale terdengar mutlak, kini aura bangsawannya berhasil menguar tajam akibat kekesalannya yang meletup, “aku tetap akan pergi. Jangan menghalangiku.” Lobelia bisa menangkap kilat kesungguhan dari dua manik biru sang Putri. Ia teringat dengan permintaan Reeval untuk tidak membiarkan sang adik keluar kastel, akan tetapi, pemedis itu menjadi bimbang. Menghela napas, akhirnya Lobelia melontarkan pertanyaan terakhir agar wanita itu bisa membuat keputusan final, “Mengapa Anda begitu ingin melihat Brigid dikebumikan, Putri?” Putri Aeradale nyaris tersedak liurnya sendiri. Bibir ranumnya mengukir senyum kecut, kemudian berkata lirih, “K-Karena Brigid bisa jadi mati karenaku—lebih tepatnya, karena manaku, ….” Isak tangis lekas mengisi kekosongan ruang kamar itu tidak lama setelah penuturannya. * Burung gagak berkoak-koak bagaikan satuan elegi. Kaki mereka bertengger lurus di atas pilar kedatangan pelayat, menghunjam tatapan tajam ke arah konvoi kerajaan itu. Mereka baru terbang pergi dalam formasi tatkala sebuah kereta kuda berderak mendekat, berpenumpang Putri Aeradale, Sahara, dan seorang kusir utusan Lobelia. Kereta kuda itu berhenti tepat di depan gerbang hitam permakaman. Sahara turun lebih dahulu dari ruang bulat berdesain glamor, dibantu oleh sang kusir, baru disusul dengan Putri Aeradale. Kusir pria itu juga menawarkan lengan, tetapi Arcaviel menolak halus tangannya dan buru-buru beranjak dari sana. Mendengar derap lain tidak jauh dari mereka, Arcaviel mengabaikan ketibaan kesatria kerajaan yang juga diutus oleh Lobelia, hanya saja mereka menjaga dari belakang kereta dan perlu memarkirkan kuda lebih dulu di pelataran yang tersedia. Alas sepatu hak Arcaviel mulai menggesek tanah, untunglah kerikil membuat permukaan tidak licin. Ia membelah pilar-pilar kedatangan pelayat itu dengan langkah cepat. Manik birunya terfokus kepada kerumunan punggung pria berbusana hitam, salah satunya dapat ia kenali bahkan jika dilihat dari bagian belakang saja. Karena itu, Arcaviel menaikkan kecepatan langkahnya untuk datang mendekat. Ia bungkam begitu tubuh mungilnya menyelat di antara lengan pria itu dan menatap sang pria dengan sorot sulit dimengerti. Gurat Reeval sedatar biasanya, tidak kelihatan terkejut atas kehadiran Putri Aeradale—sepertinya pria itu telah mengira gadis bersurai cokelat pirang di sampingnya sekarang tidak mungkin diam saja. Lagi pula, ia sangat mengenal Arcaviel … lebih dari apa pun. Arcaviel tidak lama melirih, kentara ingin menangis, “Reeve ….” Dadanya sesak dan ia terenyuh mengamati kediaman baru Brigid. Beberapa kesatria inti melumas persinggahan abadi si penyihir dengan semen. Arcaviel bersandar pada perawakan tegap Reeval, sedangkan jemari kukuh pria itu terus mengusap pundaknya teramat lembut. Sejauh ini, sepasang saudara berdarah biru tersebut tidak berbicara apa-apa. Membayangkan tubuh renta Brigid ada di dalam peti dan terkubur di bawah semen sana membuat cairan bening seukuran biji jagung mencuat dari pelupuk netra jernihnya. Arcaviel ingat, kemarin merupakan pertama kalinya ia bersua dengan Brigid—setidaknya sebelum ia terlupa. Meski tampak ringkih, aura kehidupan Brigid masih terdeteksi oleh indra penglihat Arcaviel. Dan siapa sangka Brigid kini telah tiada? “Mana itu membunuhnya,” bisik Arcaviel, tanpa sadar ia meremas kemilin kemeja hitam Raja Aeradale. “Ia sehat sebelum membangkitkan manaku, Ree—” Reeval mengecup keningnya sebentar. Dilihatnya paras elok Arcaviel yang kini penuh dengan air mata. “Jika ia ditakdirkan untuk dipanggil, itu artinya kita tidak punya andil, sayang,” jawab pria itu, entah mengapa melihat tangisan Arcaviel begitu menyiksanya. Bibir ranum Arcaviel sedikit melengkung ke bawah, kentara ia tengah berusaha meredakan isak tangisnya. Melihat itu, Reeval meniup pelan manik biru sang Putri yang sembap. Arcaviel hampir tersentak jika saja tidak ada cekalan lengan pria itu di belakangnya. Reeval mengulaskan senyum teduh begitu netra mereka berserobok, kemudian ia beralih kepada para kesatria intinya di depan sana. “Kelihatannya mereka sudah selesai. Ingin mendoakan Brigid?” tanyanya, dibalas dengan gumam dan anggukan lesu dari gadis itu. “Kemari, kuantar ke depan.” Perbincangan kedua orang itu kemudian berhenti sampai di sana. Dengan lengan kukuh masih terus merangkul leher Arcaviel, Reeval membimbing Putri Aeradale beringsut mendekati kediaman baru Brigid. Netra sehitam jelaga pria itu melemparkan sorot lembut sebentar dan memperhatikan bagaimana Arcaviel mulai bertelut, tidak terusik dengan tanah yang mungkin akan mengotori tuniknya. Arcaviel mulai mendoakan dalam hati, agar jiwa Brigid dapat diberkati oleh kedamaian tak terhingga, agar penyihir renta itu terbebas dari keegoisan hukum alam. Apa pun ia terus mendoakannya demi kebahagiaan seorang penyihir yang baru ia jumpa satu kali pasca empat tahun ini. Dalam satu tarikan napas, bibir ranumnya mengaminkan doa-doa itu agar sampai kepada jiwa Brigid Valkyrie. Usai ia membuka netra birunya lagi, kepalanya melongok ke balik pundak. Reeval berdiri tidak jauh dari sisinya, hanya saja tengah memunggungi gadis itu, sepertinya Raja Aeradale kedatangan seorang kerabat. Mereka sibuk berbincang dan Arcaviel menolak untuk mendengar. Jadi, segera ia berpaling kembali ke depan, berniat memindai penanda nama dari makam Brigid, tetapi— Siapa? Arcaviel spontan memicing. Manik birunya berusaha menjamah perawakan seorang pria untuk mengamati lebih jelas. Pria itu berdiri tepat di samping pohon, daerah sudut kiri pelataran. Mentari terik tidak membuat sosok itu terkena sinar lantaran terhalau oleh bayang-bayang pohon. Akan tetapi, binar tajamnya mengilat ketika netra mereka berserobok dan Arcaviel sanggup dibuat merinding. Satu tepukan di pundak mengalihkan atensi Arcaviel dari sudut pelataran. Sepintas, ia tidak lagi melihat pria itu, akan tetapi paras tampannya melekat erat di ingatannya. Arcaviel merasa tidak asing dan asing pada waktu yang serentak. Mencoba untuk melupakannya, Putri Aeradale menemui tatapan heran dari Reeval. Pria itu kelihatan bingung, namun tidak mencurigai apa pun. Hah … mungkin aku salah lihat, batin Arcaviel, selanjutnya ia kembali dibuat merinding. Apa jangan-jangan … itu makhluk halus? “Cavi, ini hanya aku atau kau sedikit meremang?” Reeval mengejap bingung. “Kau takut?” Panas kontan menjalar sampai ke pipi mulus Arcaviel. Rona merah perlahan terbit dengan manis di sana. Arcaviel tidak ingin mengakuinya, tetapi kata-kata yang akan ia lontarkan kembali tertelan. Menatap bungkamnya Putri Aeradale, Reeval tertawa pelan dan menepuk mercu kepala gadis itu beberapa kali. Lalu, diraupnya kedua pipi Arcaviel dengan telapak tangan untuk menahan tatapan mereka. “Ayo, kita pulang,” ujar Raja Aeradale, “dan jangan lupa, aku akan menagih jawaban kenapa kau ada di sini.” Perubahan drastis pada raut muka Reeval—tidak lagi teduh dan hampir tidak berhati, sukses membuat Arcaviel menjauh. Di luar dugaan, Arcaviel sama sekali tidak merasa terintimidasi. Justru, ia malah iseng menjulurkan lidah di hadapan pria itu dan buru-buru beranjak dari sana. Alih-alih tersinggung, Reeval sedikit menarik sudut bibirnya dan melangkah dengan santai, mengekor sang Putri dari belakang. Tanpa ia sadari—lebih tepatnya tidak ingin, seorang pria beringsut keluar dari balik batang pohon dengan tangan terkepal erat. Ck! Kau benar-benar ingin mati, ya, Lanford?[]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD