01. Tradisi Silkvale

1867 Words
“Cepatlah, Am! Mom dan Dad sudah menunggu.” Amorette Talis mengakhiri polesan bibir ranumnya kala lolongan sang sepupu terdengar untuk kali sekian. Dengan telunjuk, ia lantas meratakan polesan dan mencecap sebentar bagian bawah bibirnya. Aroma dan manis dari vanila lekas meresap ke indra pengecap gadis itu. Sepasang manik biru Amorette kemudian memeriksa pantulan wajahnya di cermin. “Amor—” “Iya, sebentar lagi.” Gerutu dari balik pintu merangsek di indra pendengar Amorette. Jelas Amorette ingin tertawa, maka segera saja ia mengulum tarikan kedua sudut bibirnya. Sampai detik ini, pusat atensi Amorette masih tertuju pada penampilan raga gadis itu. Bukan seperti Amorette merupakan tipikal seseorang yang ingin memamerkan kecantikan—bahkan tanpa pamer pun, rata-rata penduduk Silkvale telah menganggap Amorette sebagai kembang desa mereka. Ia sedari tadi hanya mengulur-ulur waktu dengan dalih ingin bersolek. Pierce mulanya bisa diajak bekerja sama, mengingat mereka sengaja untuk merencanakan penguluran ini. Mana tahu, Mom dan Dad tidak jadi mengikutsertakan mereka dalam tradisi Silkvale atas keterlambatan putri kandung dan putra angkat mereka. Namun, sepertinya Pierce sudah diomeli habis-habisan oleh Mom dan Dad karena Amorette yang terlalu lama. Ah, ia jadi tidak sabar melihat gurat sepupunya satu itu. Amorette tidak mau berlama-lama lagi, toh Mom dan Dad tidak akan mau berubah pikiran. Tradisi Silkvale tidak terelakkan. Hanya satu kali dalam seumur hidup, mereka—para perjaka dan perawan—berusia matang (baca: delapan belas tahun) dapat didoakan dan terberkahi oleh para Dewa dan Dewi di Dunia Seberang. Desa Silkvale mungkin tidak tersentuh magis, tetapi keyakinan mereka akan magis sungguh kental dan primitif. Surai cokelat pirang Amorette mulai ia gelung ke atas kepala. Jemari lentiknya tampak bergerak dengan terampil. Selesai bersanggul, Amorette sekali lagi menatap cermin. Ia sering mendengar dari para penduduk Silkvale, tentangnya yang lebih mirip dengan seorang putri bangsawan, ketimbang perawan desa. Kata mereka, ia sangat elegan dan berkilauan—tidak yakin juga dengan makna di balik kata kilau itu.   Gaun serut biru tanpa motif tampak mencetak jelas postur tubuh Amorette. Ia tidak termasuk tinggi, namun keselarasan pakaian dengan tubuh mungilnya membuat Amorette terlihat lebih dewasa dan semampai. Apalagi, sanggulan surai cokelat pirang gadis itu telah ia naikkan, memamerkan jelas keindahan leher jenjangnya tanpa terhalau oleh apa pun. Hanya ada sedikit anak rambut yang tidak dapat ia sanggul, entah karena terlalu pendek atau mungkin baru tumbuh. Tidak mau membuat ketiga anggota keluarga Amorette menunggu terlalu lama, ia lekas beranjak dari kamar. Bertepatan Amorette membuka pintu, pergerakan Pierce untuk menerobos masuk terhenti. Sesuai dugaan, gurat sepupunya cemberut. Pierce langsung menekukkan wajah kala figur yang sudah ia tunggu-tunggu akhirnya muncul juga. Saat ini, ia tinggal menunggu satu kali amukan lagi dari orangtua angkatnya. “Kenapa tidak sekalian lanjut tidur saja?” Amorette tertawa halus. Pierce urung mengomel secara terang-terangan bila sikap sepupunya sudah manis seperti itu, salah satu siasat Amorette untuk menghindar dari amukan orang lain. Pierce menghela napas dan menyapu wajah menggunakan kedua tangan. Dengan langkah ringan, tidak seperti Pierce yang setiap langkahnya terasa seperti menanggung beban, Amorette beringsut mendahului pemuda itu. Mereka hanya butuh berbelok ke kanan satu kali sebelum sampai di ruang keluarga. Rupanya, Mom dan Dad telah berada di luar ketika Amorette melongok di balik jendela. Mereka sedang berdiri di dekat pagar, berbincang dengan seorang pemuda sepantar Amorette dan Pierce. Dari postur tubuhnya, Amorette sudah tahu siapa dia. Tubuh tegap dan jangkung, surai pirang tertata klimis, dan sedikit dari netranya tertutup poni yang terbelah. Amorette biarkan Pierce keluar lebih dulu, mendorong pelan pundak sepupunya dari belakang, baru akhirnya mengekor. Samar-samar, ia dapat mendengar gerutuan Pierce. Sama seperti Amorette—hanya saja lebih kentara dalam menunjukkan rasa tidak suka, Pierce malas untuk bertemu dengan pemuda pirang dengan poni terbelah itu. Dapat mereka lihat kala keduanya mendekat, si pemuda menggantungkan kalimat di udara. Kehadiran Amorette mampu mengalihkannya dari perbincangan santai dengan calon ‘mertua’ pemuda itu. “Amor,” tegur si pemuda, dialek desa sebelah kedengaran begitu kental pada suara maskulinnya. Yang dipanggil tersenyum manis, semakin membuat pemuda itu terpikat saja. “Sore, Kak Baron,” sapa balik Amorette. Baron Oggrey, si pemuda pirang dengan poni terbelah, berasal dari Desa Zyllion. Sudah bukan rahasia lagi, Baron menaksir berat si kembang desa Silkvale. Ia bertemu dan jatuh cinta pertama kali dengan Amorette kala kedua desa mempererat tali persaudaraan melalui pembentukan festival di area perbatasan. Demi bertemu lagi, Baron menyisihkan separuh waktunya sekadar mampir ke Desa Silkvale, seperti hari ini, di mana calon ‘kawan hidup’ pemuda itu akan mengikuti tradisi Silkvale. “Kurasa kau buta,” Pierce berpicing tidak suka, “tidak ingin menegur calon ‘ipar’mu?” “Cih,” Baron memandang malas, “sore, Ipar.” Amorette mencubit singkat perut Pierce. Sepupunya spontan menjengit. Mengabaikan Pierce, Amorette menatap Baron dengan manik biru bulat lucunya. “Kak Baron kemari untuk apa?” tanya Amorette, sekadar basa-basi. “Untuk kau, tentu saja.” Baron mengatakan itu tanpa memedulikan reaksi pura-pura muntah dari Pierce. Ia justru lebih puas dengan reaksi Amorette. Gadisnya masih mengulaskan senyum manis. Belum lagi, ukiran senyum itu terlihat sangat selaras dan sama indahnya dengan leher polos jenjang Amorette. Gawat, jantungnya tidak bisa bertahan lebih lama kalau terus-terusan begini. Maka dari itu, Baron beralih muka kepada dua calon ‘mertua’nya. “Karena putri Anda telah siap, bukankah lebih baik jika kita berangkat sekarang?” saran Baron, mengusap telapak tangan berkeringatnya ke celana pangsi yang ia kenakan guna meredakan rasa gugup dan salah tingkah. “Benar, benar. Mari berangkat,” sahut Gillzarus. Pria paruh baya—tetapi bertubuh gagah itu menyodorkan siku lengan untuk dirangkul oleh sang istri, Amalie. Baron segera mundur satu langkah agar bersisian dengan Amorette. Ia mengimitasi Gill, mengangkat setengah siku lengan sambil mendeham, mengodekan Amorette untuk merangkul lengan perkasanya. Di luar dugaan Baron, Amorette malah tidak mengacuhkan kode dehaman dan siku lengan pemuda itu. Amorette dan Pierce justru beringsut mendahului Baron. Manik cokelat netra Baron—yang tertutup setengah oleh poni, langsung saja mengilat kesal saat mendapati Pierce menggamit ruas-ruas jemari Amorette. Pierce k*****t! Ini i***s, namanya. Awas saja, langsung kupotong jari kau nanti, geram Baron, kentara secuil pun tidak terima melihat kepunyaannya disentuh pemuda lain. Sepanjang jalan menuju tampuk Perbukitan Spirithorn, Baron diam-diam mewacanakan, sekaligus membayangkan bagaimana ruas-ruas jemari sang pengusik hubungannya dapat menjadi alat untuk mengorek upil pemuda itu nanti. Tanpa sadar, ia melontarkan seringai. Baron tidak tahu, gurat tak waras itu tertangkap sekilas oleh ekor netra Amorette. Entah mengapa, gadis itu jadi prihatin dengan pemuda yang cintanya tidak ia balas itu.   *   Perbukitan Spirithorn terbentang luas di depan mereka. Masih cukup jauh untuk dijangkau oleh konvoi penduduk. Amorette, beserta belasan orang lainnya, bersama-sama melintasi sebuah tempat rekreasi kuno—yang searah dengan destinasi mereka. Ada banyak sarana bermain, seperti korsel, perosotan, kincir ria, dan lain sebagainya, yang sudah lama diasingkan oleh desa mereka. Terasa pengap dan berdebu meskipun dataran ini masih tersentuh udara alam. Konon, setelah ditinggalkan, belasan sarana bermain itu menjadi teritorial para peri. Entah benar atau tidak, Amorette tidak begitu memusingkan keakurasian akan hal tersebut. Ia lahir dan tinggal sebagai bagian dari penduduk Silkvale, di mana keyakinan terhadap entitas magis masih sangat kental dan tak terelakkan. Sekalipun Amorette tidak pernah melihat secara kasatmata, ia percaya entitas selain manusia niscaya ada dan tersebar di mana-mana, termasuk eksistensi Dunia Seberang. Dunia Seberang merupakan sebutan dari penduduk Silkvale terhadap tempat huni para Dewa dan Dewi. Dipercaya bila lokasi itu ada di balik Perbukitan Spirithorn—tak kasatmata, tentu saja. Orang biasa hanya akan melihat rimbun pepohonan atau hulu sungai yang mengarah tanpa ujung. Semakin pelosok, semakin terjal kontur dan padat juga perbukitan, sampai tidak kelihatan lagi jalan setapak. Setiap pendakian akan dihentikan pada titik tersebut. Kubu terdepan membuka jalan untuk mereka yang melangkah di belakang. Konvoi penduduk mulai mendaki perbukitan, bertepatan matahari memudar tanda sudah malam. Suara sabetan terdengar bersahutan. Penduduk barisan depan sepertinya tengah membabat habis sulur-sulur dedaunan liar yang tumbuh dan menghalangi pandangan mereka. Kertak-kertuk sulur di permukaan tanah seperti tidak ada habisnya. Tiap langkah dari penduduk pasti menimbulkan suara kertak, mengingat cukup banyak yang sudah terbabat dan jatuh berhamburan. Amorette menatap sana sini. Atmosfer di samping kanan dan kiri jalan setapak cukup pekat. Untungnya, setiap dari para pemuda sempat disodorkan obor agar ketika matahari telah raib seutuhnya, mereka tidak perlu takut akan gelap. Pierce menangkap lengan Amorette dari belakang. “Hati-hati, di depan ada tanjakan,” peringatnya. Amorette mengiakan. Tanpa Pierce beri tahu, Amorette sudah sadar dengan itu—bukan seperti mereka baru kali ini menghadapi tanjakan. Akan tetapi, Amorette cukup terbiasa dijaga seperti ini. Tidak hanya Pierce, bahkan Mom dan Dad. Ia terluka sedikit saja, mereka akan panik bukan kepalang. Perhatian utuh dari ketiga anggota keluarganya membuat Amorette tidak enak hati untuk membangkang. Usai mendaki perbukitan sekitar lima belas menit, konvoi mereka tiba di tampuk Spirithorn. Ada sebuah kuil cukup besar—mungkin bisa menampung sekitar tiga puluh penduduk—yang tiap empat sudutnya berdiri satu pilar. Permukaan dinding pilar terlihat sudah keropos, sulur-sulur dan lumut hijau merambat di sana. Lembapnya atmosfer kuil mengindikasikan sudah agak lama tempat bersejarah ini tidak terpijak. Para orang penting bersiap-siap lebih dulu dengan properti mereka, beberapa bahu-membahu merapikan dan membersihkan kuil, sedangkan sisanya duduk leha-leha dan beristirahat setelah melalui perjalanan cukup panjang. Amorette duduk di salah satu kursi panjang, dengan Baron menyusul di samping. Ia menyodorkan kemasan kantung berisikan air untuk Amorette. Gadis itu sempat tergugah, namun melihat isinya tersisa separuh, ia urung menerima—tentu saja karena Baron sudah sempat meminumnya tadi. Amorette hanya bisa menghela napas dalam hati, tidak mengekspresikan secara terang-terangan rasa ketidaksukaan gadis itu terhadap si pemuda desa tetangga. Pierce tidak lama datang, duduk lancang di tengah-tengah mereka. Amorette tidak mempermasalahkan, lain hal dengan Baron. Baron cemberut. Ia meneguk habis air mineral dan meremas kuat-kuat kemasan kantung tersebut, baru pergi dari sisi mereka. Baron membuang kemasan itu ke dalam plastik sampah yang tersedia di dekat kuil. Pierce cengar-cengir, ia suka melihat musuhnya menderita. “Dendam kesumatmu belum juga terbalaskan?” Pierce beralih muka dari Baron, menatap Amorette dengan kilat main-main. “Belum dan tidak akan pernah,” balasnya, enteng. Ia masih ingat betul kala Baron mengarahkan bogem mentah pada pertemuan pertama mereka. Baron, dengan sok tahunya, mengira Pierce mengusik Amorette—padahal mereka hanya bermain-main saja di kebun desa. Dari sana, Pierce telah mengibarkan bendera perang. Begitu tahu Pierce merupakan sepupu dari calon masa depannya, Baron hanya bisa pasrah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Pierce kerap mengusik peluangnya untuk berduaan dengan Amorette. Selama masih ada Pierce, Baron perlu mengerahkan seluruh energi untuk menerbitkan kesabaran penuh dalam dirinya, agar ia mendapat restu dari Pierce. “Amor!” Baron kembali dari kuil. “Tradisi sudah mau dimulai. Kau tunggu di sini. Aku akan mendoakanmu.” Amorette mengejap. “Kak Baron bahkan belum beranak,” tuturnya, keheranan. “Tidak apa. Kutitipkan sekalian doa dariku untuk calon anak-anak kita di masa depan kepada para Dewa dan Dewi.” Seperginya Baron, Pierce gagal menahan tawa. Kalimat memuakkan Baron sungguh menggelitik pemuda itu. Belum lagi, gurat masam Amorette sangat tidak sinkron dengan paras eloknya. Ia paham betul betapa inginnya Amorette untuk terhindar dari makhluk ajaib semacam Baron, terlepas dari sikap manis sepupunya terhadap musuhnya itu. Pierce sama sekali tidak iba—sebaliknya, ia senang. Lihat, sekarang saja ia malah cengar-cengir tak berdosa.[]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD