2. Perjalanan Menuju Ke Hotel

1405 Words
Sebelum kejadian semalam, tepatnya sore setelah berpisah dari Adam, atasan Wulan dari pusat perusahaan. “Terimakasih atas promosinya.” Cakra mengatakannya dengan sepenuh hati. Cakra juga menundukkan kepalanya. Itu dia katakan pada Wulan karena sebelumnya Wulan sempat memberikan tempat untuk Cakra di depan Adam kalau semua yang dia dapatkan hari ini juga karena dorongan dan bantuan dari Cakra. Cakra juga baru tahu Wulan tidak hanya memujinya di depan Adam, tapi Wulan juga mempromosikan Cakra tanpa sepengetahuan dirinya. Cara Cakra berhadapan dengan Adam dan juga atasan yang lainnya di kantor berbeda saat Cakra berhadapan dengan Wulan. Hari ini Cakra melihat Wulan berdandan, seolah-olah lama sekali dia tidak melihat Wulan merias wajahnya sejak dipindahkan kerja. “Jika Anda ingin berterimakasih dengan saya, Anda harus memberi banyak waktu luang untuk saya. Saya tidak ingin bekerja lembur sepanjang waktu.” Ujarnya pada Cakra dengan bibir tersenyum. Tatapan mata Cakra tertuju pada wajah Wulan. Bibir Wulan yang kini tersenyum dan Cakra merasa Wulan lebih cantik hari ini. Cakra berpikir Wulan memang harus lebih sering berdandan dan tidak hanya hari ini saja. Di perusahaan itu. Hanya beberapa orang yang mengucapkan selamat atas keberhasilan Wulan. Satu orang di antaranya merasa tidak senang yaitu Yasmin – bawahan Budi Pawelang. Budi merupakan direktur industri dari departemen lain. Selama ini Yasmin selalu memandang rendah Wulan di perusahaan karena hanya pegawai sementara. Dia juga enggan memberikan selamat atas pencapaian Wulan saat ini. Saat ini Wulan dipromosikan dan seseorang sengaja membuat ulah dan meminta Wulan mengundang untuk acara makan malam. Wulan gadis yang baik dalam keluarganya, hidup Wulan lumayan ketat selama ini. Tapi dia langsung setuju atas permintaan tersebut, hari ini merupakan hari spesial. Para rekan kerja Wulan yang lebih tua, mereka tahu Wulan tidak memiliki cukup uang untuk mentraktir jadi mereka memilih restoran yang tidak terlalu mahal. Kebetulan Cakra mendengar percakapan tersebut dari dalam ruangan kerjanya. Pria itu segera keluar dan menyela pembicaraan mereka, “kebetulan proyek baru sudah ditandangani, mari kita merayakannya! Saya mengundang semuanya untuk memilih tempat!” Akhirnya mereka pun pergi ke sebuah restoran yang lebih mahal. Beberapa orang mulai bersulang dan mengambil beberapa teguk minuman beralkohol. Wulan baru saja mengakhiri hubungan antara dirinya dengan Bima yang sudah dia bina hampir empat tahun lamanya. Wulan nampak tidak peduli apapun yang terlihat di luar. Sempat ada pertanyaan muncul dalam hatinya. “Aku sudah putus dengan Bima, tapi kenapa aku tidak merasa sedih?” Setelah Wulan meneguk beberapa gelas bir, ponselnya berdering nyaring. Wulan pikir telepon tersebut dari pihak klien baru yang akan memberikan proyek untuknya jadi Wulan segera menerima panggilan tersebut. Dan ternyata telepon tersebut berasal dari paman Wulan. Setyo menghubunginya dan berkata, “aku paman Setyo, Bapakmu pinjam uang dariku senilai sepuluh juta. Kapan Bapakmu membayar padaku?” Tanyanya pada Wulan. Hening, Wulan tidak segera menyahut. “Bapakmu memberikan nomor ini, dia bilang padaku untuk memintanya padamu. Dia bilang kamu punya uang.” Wulan sangat bingung. Gajinya yang sebelumnya juga tidak banyak. Pegawai seperti dirinya hanya mendapat gaji sekian saja. Itu pun semuanya juga sudah dia berikan untuk menutup hutang keluarga. Dan kini pamannya menelepon untuk meminta uang darinya. Rasanya Wulan ingin menertawai dirinya sendiri. Wulan meminta nomor bank di mana dia harus mentransfer untuk membayar hutang ayahnya tersebut. Setelah menutup telepon Wulan menghubungi ibunya. Wulan tidak ingin berbicara langsung dengan ayahnya. Wulan cemas akan bertengkar dengan ayahnya karena masalah ini. Di ujung panggilan tersebut Wulan mendengar ibunya berkata, “jika kamu masih punya uang simpanan, ibu akan mengembalikan uang itu Pamanmu.” Wulan hanya berkata, “iya,” lalu menutup panggilan tersebut. Pada akhirnya Wulan memberikan uang yang dia simpan dengan susah payah selama empat bulan untuk membayar hutang ayahnya. Karena perasaannya sangat tidak nyaman Wulan memilih keluar dari dalam restoran untuk menenangkan diri sendiri. Wulan merasa sangat lelah. Gadis itu berdiri di koridor, dia berpikir tidak harus membenci Bima – mantan pacarnya karena Bima memiliki pekerjaan yang mapan sementara dirinya dalam kondisi keuangan yang sangat buruk. Menurut Wulan wajar saja Bima tidak senang dengan keluarganya karena keadaan yang sekarang memang seperti itu. Wulan bisa mengambil sudut pandang lain. Menikahi Wulan sama artinya beban bagi Bima karena harus melunasi hutang-hutang keluarga Wulan. Tidak mungkin Bima menutup mata. Hutang satu miliyar bukan jumlah yang sedikit. Hambatan hubungan Wulan dengan Bima sudah sangat jelas, dan saat seseorang ingin menikah pasti akan berpikir ulang karena masalah itu. Bima tidak salah. Bima hanya membuat pilihan yang logis. Menurut Wulan, Bima hanya menentukan pilihan yang akan dipikirkan oleh kebanyakan orang. Hubungan selama empat tahun juga tidak bisa dipertahankan lagi hanya karena perasaan cinta semata. “Ya, Bima pria yang mapan, tidak seharusnya dia memilihku sebagai istri! Aku hanya akan menjadi beban dalam hidupnya! Aku layak untuk dibuang.” Dada Wulan terasa berat seakan ada sebuah batu yang menghimpitnya, dia juga merasa sesak. Kedua matanya terasa panas namun dia masih tidak bisa menangis untuk meluapkan seluruh kekesalan hatinya. Wulan berdiri cukup lama di koridor untuk menenangkan perasaannya lalu dia masuk kembali seolah tidak ada apa-apa yang terjadi. Seseorang berseru begitu Wulan tiba di sana. “Kamu sudah cukup lama meninggalkan ruangan, kamu harus minum untuk kami karena terkena hukuman.” Wulan menerima gelasnya dan meneguknya, suasana kembali normal seperti sebelumnya. Sekitar enam belas orang memberikan selamat pada Wulan bersulang dan meneguk minuman mereka kecuali Cakra. Wulan berpikir saat dia mabuk maka dia akan melupakan semuanya lalu tertidur. Wulan ingin menepis segala beban dalam hatinya lalu bangun di keesokan harinya dan tidak ingat lagi tentang hari ini. Setelah hari ini, Wulan ingin bekerja lebih keras dari sebelumnya lalu mendapatkan hasil yang lebih baik lagi. Wulan hanya ingin mendapatkan tidur yang nyenyak malam ini. Setelah orang bubar, Cakra yang mengantarkan Wulan pulang. Wulan meringkuk di kursi belakang dengan wajah linglung. Wajah Wulan memerah karena alkohol, juga kedua sudut matanya. Beberapa saat kemudian ponsel Wulan bergetar dan dia melihat ada pesan di sana. Ternyata pesan tersebut dari ayahnya. “Apakah kamu memberiku uang?” “Ya.” Jawab Wulan melalui pesannya. Beberapa saat kemudian dia mendapatkan balasan setelah sekian lama nampak di seberang sana ayah Wulan sedang mengetik teks, mungkin menghapus dan menyusun kalimat lagi, memperbaiki kalimatnya, seakan bingung memilih cara berbicara yang tepat untuk dikatakan padanya hingga pada akhirnya membalas dengan dua kalimat. “Maafkan Bapak, Wulan.” Ini adalah kalimat yang paling ingin dia katakan kepada putrinya. Melihat kalimat ini Wulan langsung menangis. Segala keluh kesah dalam hatinya yang tertahan dia keluarkan. Air matanya mengalir begitu deras, tubuh Wulan meringkuk di sudut. Wulan membenamkan wajahnya sambil memeluk kedua lututnya, Wulan mencoba memberikan ketenangan dan kehangatan pada dirinya sendiri. “Aku bahkan tidak ingin mengganggu siapapun di saat sedang menangis.” Itu yang dia katakan dalam hati. Namun tangisnya yang pecah masih mengagetkan Cakra yang kini duduk di sebelahnya. “Ada apa?” Ruang dalam mobil yang sempit, supir pengganti yang duduk di kursi depan juga mendengar suara tangisan Wulan yang tertahan, supir itu melihatnya melalui kaca spion. Dia bisa tahu apa yang diinginkan Wulan, tolong hentikan tangisanku, bujuklah aku agar bisa diam, tenangkan aku! Kira-kira seperti itu. Dalam pandangan Cakra, Wulan terlihat sangat menyedihkan sekarang. Duduk dengan meringkuk di sudut kursi sambil terus menangis, bagaikan seekor kucing yang basah oleh air hujan. “Wulan, berhentilah menangis, apa yang terjadi? Bisakah aku membantu untuk menyelesaikannya?” Cakra berkata demikian untuk membantu Wulan mengatasi masalahnya, tapi Wulan tetap terus menangis. Wulan tidak ingin kehilangan kendali lalu mengatakan semuanya pada Cakra. Wulan memilih menyandarkan kepalanya pada kaca jendela mobil di samping. Wulan tidak ingin Cakra melihatnya menangis. Melihat reaksi Wulan, Cakra tahu Wulan tidak ingin membahas masalah itu dengannya. Cakra berhenti membujuk Wulan tapi pria itu beringsut mendekat, memegangi kepala Wulan dengan satu tangan lalu menempatkan kepala Wulan di atas bahunya. Cakra berkata, “menangislah.” Meskipun keduanya atasan dan bawahan, mereka juga seorang pria dan wanita. Pria tampan yang sedang meminjamkan bahunya pada seorang wanita untuk meluapkan kesedihannya. Wulan merasa hangat dalam dekapan Cakra, Wulan merapatkan tubuhnya lalu menangis sejadi-jadinya di atas bahu Cakra. Air mata Wulan mengalir deras di atas bahu Cakra. Cakra mengusap kepala Wulan dengan lembut. Beberapa saat kemudian dia mendengar Cakra berkata, “jika kamu membutuhkan bantuanku, kamu bisa memberitahuku.” Malam ini Wulan merasa Cakra sangat lembut dan itu membuat Wulan tidak tahan. Tidak hanya kompeten dalam bekerja, Cakra juga sangat lembut, hangat, dan membuat Wulan merasa nyaman. Wulan tidak sadar dia ingin mendapatkan kehangatan lebih dari yang dia rasakan saat ini. Namun, beberapa saat kemudian entah sejak kapan deru napas mereka berdua mulai terdengar memburu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD