Part 5

1841 Words
Anwa masuk ke dalam kamar Rayyan ketika baru saja diusir dari dapur. Bukan diusir dalam artian buruk, ia hanya tidak diperbolehkan membantu membereskan dapur setelah makan malam. Anwa semakin merasa tak enakan karena tak mengejarkan apapun disini, apalagi setelah Ansell memberikannya pakaian mahal dengan harga gratis. Lelaki itu juga tidak meminta bayaran untuknya tinggal disini. Ia yang beberapa tahun ini baru bisa makan setelah bekerja keras seharian sedikit tak nyaman mana kala kegiatannya hanya duduk-duduk saja. Ansell sendiri yang memerintahkan mereka untuk tidak membuat Anwa mengerjakan sesuatu. Wanita itu merasa balas budi yang diberikan oleh laki-laki itu sudah berlebih.  Ya, Anwa hanya menganggap bahwa kebaikan yang diberikan oleh Ansell adalah sebagai bentuk balas budi yang dulu ia lakukan terhadap dua saudara itu. Padahal yang sebenarnya terjadi lebih dari itu. Bukan hanya tentang balas budi namun tentang cinta yang terlanjur tumbuh dan mengangakar. “Ray lagi ngapain?” tanya Anwa. "Tidak tahu, Ray bingung." Anak laki-laki itu menggeleng dengan dahi mengerut, Anwa yang mendengarnya entah kenapa jadi tersenyum geli saat melihat wajah bocah itu  jadi menggemaskan. “Enggak belajar?" tanya Anwa ikut duduk di samping Ray, tepatnya di atas kasur empuk yang sudah dua malam ini ia tiduri. "Besok libur kok, masa Ray belajar terus," tutur Ray mengerucutkan bibirnya sambil menyandarkan kepalanya di bahu Anwa. "Biasanya Ray sering kesepian," ungkap bocah itu mendongak membuat Anwa merasa bocah itu benar kesepian. Wanita itu lalu menggerakan tangannya untuk mengusap punggung bocah itu membiarkannya bercerita. "Kak Ansell selalu pergi setiap malam," sambungnya lagi, seperti malam ini. Anwa yang mendengarnya turut merasakan kesepian yang dialami anak sekecil Rayyan, ia saja yang sudah dewasa bisa merasakan bagaimana kesepian itu sungguh menyesakan. "Tapi, setelah ada Tewa, Rayyan jadi enggak kesepian lagi!" seru Ray bersemangat sambil tersenyum lebar menatap Anwa dengan mata bulatnya. "Tewa? Tante Wawa?" tanya Anwa yang langsung diangguki oleh Ray dengan semangat. "Tewa enggak bakal kemana-mana kan?" tanya Ray dengan mimik wajah khawatir. "Enggak, Tewa bakal disini nemenin Ray," tutur Anwa berusaha menenangkan perasaan Rayyan yang mungkin tidak ingin lagi merasa kesepian. “Tewa enggak mau nikah aja sama Kak Ansell?”  Anwa yang mendengarkan pertanyaan polos Rayyan tertawa geli, membuat bocah itu terkesiap beberapa detik ketika melihat bagaimana cantiknya Anwa tertawa. Bocah itu semakin mengeratkan pelukannya. Jika Anwa benar menikah dengan Ansell, itu artinya mereka akan benar-benar menjadi keluarga. Dan, Ray bisa terus merasakan kasih sayang seorang Ibu. “Tewa nikah aja sama Kak Ansell,” ucap bocah itu lagi. Kali ini, Anwa meringgis. Ia ingin mengatakan bahwa mewujudkan pernikahan itu tidak mudah. Harus ada beberapa hal yang dipenuhi oleh masing-masing pasangan atau jika tidak, rumah tangga itu tidak akan berjalan lancar. Pengalaman pahit itu mengerjakan Anwa, bahwa cinta saja tak cukup.  Beberapa hal yang diidamkan mantan mertuanya dulu untuk menjadi menantu, tidak bisa dipenuhi oleh Anwa sehingga selama pernikahan tidak ada ucapan manis dari bibir ibu dari mantan suaminya. “Tewa itu udah tua lho, Kak Ansell masih muda.” Namun, tidak mungkin Anwa mengatakan hal itu pada bocah sekecil Rayyan. Ia berharap ada seseorang yang nanti akan mengajarkan Ray tentang hal itu saat ia telah pergi. “Emang kalo mau nikah harus umurnya sama?” tanya Ray polos. “Enggak juga, tapi umur Tewa sama Kak Ansell itu jauh.”  “Umur Tewa berapa? Kalo Kak Ansell 25.” “38,” jawab Anwa sedikit malu, bahkan jarak umur mereka lebih banyak dari umur Ray yang berusia 10 tahun. “Hah?” Ray terkejut. “Tapi, kok Tewa kayak umur 20 tahunan ya?” tanyanya lagi dengan ekspresi masih tak percaya. “Tewa itu lebih cocok jadi Ibunya Kak Ansell sama Ray,” tutur Anwa sambil tersenyum lembut. “Tapi Tewa enak banget kalo dipeluk.” Rayyan langsung menghambur ke dalam pelukan Anwa, memeluk wanita itu dan menyandarkan kepalanya di d**a Anwa yang terasa empuk. "Tewa temenin tidur ya? Mau?" ajak Anwa ketika melihat Ray menguap, bocah sepuluh tahun itu lansung mengangguk tanpa melepuskan pelukannya. Tiga puluh menit kemudian Anwa tersenyum geli ketika melihat Arrayan sudah tertidur lelap disampingnya, ia tak menghentikan tepukan pelannya di b****g si bocah sebelum Ray benar-benar terlelap. Anwa perlahan melepaskan pelukannya ketika sudah memastikan bocah itu benar-benar sudah tidur. Dipandangannya lagi wajah bocah itu yang terlihat lugu dan menggemaskan ketika tidur. Anwa tiba-tiba membayangkan jika saat ini masih bersama kedua anak-anaknya. Mungkin ia akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakunnya pada Rayyan, bahkan lebih. Namun, sayangnya rumah tangga yang hancur itu juga merenggut kedua anak-anaknya yang saat ini tumbuh dewasa tanpanya. Tidak ingin mengingat nasibnya yang selalu dibilang buruk oleh orang-orang, Anwa berjalan keluar dari kamar. Suasana lantai dua terasa sangat sepi. Tidak mengejutkan memang, Mansion sebesar ini hanya berisi oleh dua kakak dan adik. Para pelayan memiliki bangunan yang lain yang menjadi rumah mereka, tepat berada di belakang Mansion. Anwa menuruni tangga dengan perlahan, wanita itu kemudian menghela nafas ketika sudah sampai di lantai bawah dan bingung ingin melakukan apa. Tidak ada yang bisa ia ajak bicara karena para pelayan yang lain pun sedang sibuk dengan pekerjaannya.  "Nyonya ingin dibuatkan teh?" tanya seorang pelayan membuat Anwa yang sedang menengok ke arah balik jendela terkejut. "Panggil saja Wawa, Bi Elen," kata Anwa yang merasa tak enakan. Dia bukan siapa-siapa di rumah ini tapi diperlakukan seperti Nyonya besar sungguhan, itu artinya isteri Ansell? "Tuan besar akan marah jika kami memanggil seperti itu," tutur Bi Elen membuat Anwa menghela nafasnya. "Yah sudah kalo begitu." Anwa juga tidak mau wanita di depannya ini mendapatkan sebuah masalah karenanya. "Tidak usah, Bi. Terima kasih tehnya. Kalo boleh tahu, Ansell pulang jam berapa ya, Bi?" tanyanya. "Tuan besar biasanya pulang jam 12 malam, Nyonya." Anwa mengangguk, Bi Elen kembali bertanya apakah ia membutuhkan sesuatu lagi yang dijawab gelengan olehnya. Ia pun kembali menunggu di sofa ruang tamu walau cukup merasa mengantuk. Keinginan wanita itu sudah bulat, sebenarnya Anwa sudah memikirkan ini secara matang—atau lebih tepatnya tanpa harus dipikirkan lagi, Anwa harus mengambil langkah ini. Wanita itu ingin bicara pada Ansell jika ia akan keluar dari rumah ini. Anwa tidak bisa terus-terusan seperti ini, ia tidak bisa terus bergantung dengan kedua kakak dan adik lagi. Dengan uang yang diberikan Mbah Endang, Anwa akan mulai menyewa kontrakan kecil dan mencari pekerjaanz Ia harus tetap menjalani hidupnya dengan bahagia. Wanita itu yakin jika Tuhan sedang mempersiapkan rencana pertemuannya dengan anak-anaknya. Anwa yakin, selalu ada pelangi setelah badai.  CLEKK! Anwa langsung bangkit dari duduknya ketika mendengar suara pintu terbuka. Ansell ternyata sudah pulang, tepat ketika jam menujukan pukul 12 malam. Pria itu nampak baru saja menghadiri pesta besar dengan pakaian rapi jika saja Anwa melihatnya saat berangkat namun sekarang kata acak-acakan adalah kata yang pas menggambarkan pria itu dan tunggu bau apa ini? Alkohol. "Ansell?" panggil Anwa. BRUKKK! Hampir saja Anwa memekik ketika Ansell terjatuh di depannya. "Ansell? Ansell?!" Buru-buru ia merendahkan tubuhnya, menatap khawatir ke arah Ansell yang terlihat setengah sadar. "Ughh... Anwaaaa..."  "Aku akhirnya menemukanmuuuu..." "Ansell, apa yang terjadi?” tanya Anwa yang terkejut, pria itu benar-benar dalam kondisi mabuk berat sehingga tak sadar mengatakan apa. “Aku cinta kamu heheeh...” Anwa menghela nafasnya, ia tidak akan mendapatkan apapun dengan kondisi laki-laki itu yang setengah sadar. Wanita itu kemudian mengarahkan pandangannya ke segala arah, tidak menemukan siapapun. Ah, ia lupa jika para pelayan sudah istirahat di kamarnya. “Ansell, ayo aku bantu ke kamarmu,” ajak Anwa yang sebenarnya tak yakin apakah dia bisa mengangkat tubuh besar itu hingga ke kamar. "Tidak mungkin membawanya ke kamar ughhh!"  Anwa sedikit meringgis ketika melihat tangga, wanita itu akhirnya memutuskan untuk membawa Ansell menuju salah satu kamar yang ada di lantai bawah. BRUKKK! Anwa menghela nafasnya lega ketika berhasil menjatuhkan tubuh itu di atas kasur dengan selamat. "Anwaaaa sayangg....." Jadi seperti ini orang mabuk, batin Anwa yang melihat Ansell terus merancau. Sebenarnya cukup sampai disini saja Anwa berurusan dengan Ansell, ia bisa membicarakan tentang kepindahannya besok ketika pria itu telah sadar. Tapi, wanita itu merasak tak tega ketika melihat bagaimana dasi dan kemeja itu membuat tidur pria itu tak nyaman. Anwa kemudian perlahan naik ke atas kasur, duduk tempat disamping tubuh Ansell yang teler. Tangannya perlahan membuka dasi pria dan melepaskan jasnya.  Wanita itu tersenyum ketika melihat laki-laki itu sudah memejamkan matanya. Entah apa yang terjadi dengan hari pria itu sehingga memutuskan meminum alkohol, Anwa berharap bahwa semuanya baik-baik saja. Ketika hendak melepaskan beberapa kancing kemaja pria itu, Anwa merasakan detak jantungnya berhenti ketika sebuah tangan tiba-tiba sebuah tangan mencengkam lengannya. "A-aku hanya ingin membuka baju kancingmu, Ansell. Aku tidak bermaksud apa-apa!" ucap Anwa terbata sekaligus ketakutan, berusaha melapaskan tangannya dari Ansell. “Ansell, kamu mabuk.” Anwa menggeleng-geleng ketika sepasang mata yang tadi terpejam kini telah terbuka dan menatapnya tajam. Cengkraman tangan Anwa semakin kuat, kini kedua tangannya sudah berada digenggam Ansell. Tiba-tiba pria itu bangun lalu menarik tubuh Anwa hingga terjatuh ke tengah kasur. Detik itu juga, wanita itu merasakan bahwa ia dalam kondisi bahaya. "Ansell, biarkan aku perg—mmhhh!" Anwa menggigit bibir bawahnya ketika Ansell membenamkan wajahnya diceruk lehernya yang berisi.  “Enggh....” Anwa merasakan tubuhnya seperti dialiri listrik ketika merasakan Ansell mencumbunya dengan panas. “Ansell, jangan lakukan ini. Tolong! Kamu tidak sadar, Ansell!” Air mata sudah mengenang dipelupuk mata Anwa, jika pria itu melalukan hal itu lagi maka tidak ada yang bisa menahannya. Ansell menatap Anwa intens, tidak memperdulikan permintaan memelas Anwa yang bahkan hendak menangis. Di otaknya kini hanya ada Anwa, Anwa dan bercinta.  “Cantik,” bisik pria itu dengan suara kecil.  Kedua tangannya kini sudah mengungkung tubuh sintal milik Anwa.  “Mmmhhh....” Bola mata Anwa membulat metika pria itu menempelkan bibir mereka. Ia berusaha memberontak namun apalah tenaga yang bisa ia keluarkan. Dengan mudahnya tubuh itu menahannya dan kembali memperdalam ciuman.  "Ansell, hikss... tolong lepaskan...” Wajah cantik milik Anwa telah basah oleh air mata. Suaranya perlahan serak kerena terlalu banyak meminta tolong. "Ssst... jangan birisik, Anwa. Aku sudah menunggu kamu selama ini..." "Aku tidak minta ditunggu!" pekik Anwa mengeluarkan tenaga terakhirnya namun sama saja tidak berarti apa-apa untuk Ansell yang sudah dipenuhi nafsu. Ansell yang saat ini dengan kondisi setengah mabuk tidak memperdulikan ketika air mata wanita itu menetes jatuh. Laki-laki itu semakin mendekatkan wajahnya ke arah Anwa, menghirup aroma yang berasal dari potongan leher wanita itu kemudian menciumnya brutal. "Jang—enghhh.. Ansell jangannn!" Ansell seperti mendapatkan apa yang selama ini ia inginkan sedangkan Anwa mendongakan kepalanya pasrah. Apalagi yang bisa ia lakukan? Setelah ini, ia telah menjadi seonggok sampah yang tidak memiliki harga diri. "Jangan Ansell, jangan hiks—-" Kegiatan mencium Ansell terhenti tepat di bagian d**a Anwa. Laki-laki itu mendongak, matanya langsung membulat ketika melihat air mata sudah membanjiri pipi wanita itu. "s**t!" umpatnya bangun dari atas tubuh Anwa dan meninggalkannya seorang diri. Anwa yang melihat itu kembali menangis dengan keras. Ia tahu jika Ansell dalam kondisi mabuk, laki-laki itu melalukannya dengan kondisi tak sadar. Ia yakin, saat sadar pria itu akan menyesalinya karena hampir melakukannya dengan Anwa. Pria itu sempurna, Ansell bisa mengajak siapapun yang mau untuk tidur bersamanya. Bukan seperti seorang wanita yang lebih cocok daripada ibunya. Keputusan Anwa sudah bulat, ia akan meninggalkan rumah ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD