"Tinggalah disini.”
"Tapi——“ Anwa menggigit bibir bawahnya ragu ketika mendengar permintaan Ansell. Ia ingin menolak karena banyak alasan yang membuatnya tak harus disini namun pria yang ada di depannya itu sekarang tengah memejamkan mata, tanda tidak ada penolakan.
"Baiklah,” lirih Anwa mengangguk.
Ansell membuka kelopak matanya ketika mendengar perkataan kecil Anwa. Laki-laki itu tersenyum puas, tidak ada yang lebih ia inginkan selain meminta wanita itu untuk tetap berada di sisinya.
Walau ia tahu bahwa Anwa tidak sepenuh hati menuruti permintaannya. Tunggu saja sebentar lagi, Ansell akan membuat wanita itu tidak pernah lepas darinya. Ia akan membuat Anwa mencintainya dan melupakan masa lalunya.
Sebagai seorang laki-laki yang selalu menepati janji, Ansell langsung mengambil ponselnya yang berada di saku celana lalu mencari kontak tangan kanannya.
Selagi panggilan belum terhubung, Ansell memberikan ponsel itu pada Anwa dengan kondisi pengeras suara yang aktif. Laki-laki itu sedikit berjalan untuk mengambil sebuah teko bening lalu menuangkan isinya ke dalam gelas.
“Ada apa, Sell?” Panggilan terhubung.
“Cari Mbah Endang,” ucap Ansell pendek sambil medekat ke arah Anwa lalu menekan tombol merah.
"Kamu tidak membantunya?" tanya Anwa cemas, ia takut terjadi sesuatu pada Mbah Endang jika terlalu lama.
"Tidak, anak buahku sudah terlalu banyak. Jadi aku tidak perlu melakukan sesuatu, tunggu saja hingga 30 menit, Mbah Endang pasti ditemukan,” ujar Ansell percaya diri, pria itu kemudian memberikan gelas berisi air itu ke arah Anwa.
"T-terima kasih," ucap Anwa sedikit terbata ketika menerimnya.
Saat sedang meminum air tersebut, Anwa terdiam ketika ibu jari milik Ansell mengusap pipinya yang masih basah. Pria itu menatapnya dengan tatapan terlihat menyesal, seperti sudah melakukan hal yang buruk.
“Tidurlah, sudah malam,” perintah laki-laki itu yang diangguki Anwa.
“Sekali lagi terima kasih, Ansell.”
Ansell mengangguk, laki-laki itu kemudian berbalik menuju ruangan lorong menuju ruang kerjanya. Tubuhnya kembali memutar sebelum meninggalkan dapur, menatap sosok yang tengah memandanginya. "Aku tidak akan pernah melepaskan kamu lagi, Anwa."
Setelah itu Ansell pergi menuju ruangan kerjanya yang cukup gelap gulita. Ruangan yang tidak boleh dimasuki oleh siapa-pun. Laki-laki itu menghidupkan sebatang nikotin dan menghisapnya hingga habis. Ansell butuh sesuatu yang menjernihkan otaknya setelah berpikir yang tidak-tidak dengan Anwa.
Seperti apa yang Ansell katakan pada Anwa, 30 menit kemudian Alvaro membawa kabar bahwa Mbah Endang sudah ditemukan dengan kondisi baik-baik saja. Wanita paruh baya itu ternyata tidak diculik namun tersesat saat menaiki angkutan umum menuju rumah putranya.
Ansell terhenti di depan pintu kamar Rayyyan ketika hendak memberikan kabar itu pada Anwa. Pandangan laki-laki itu terfokus pada sosok yang tengah tidur sambil memeluk adiknya.
"Selamat tidur," ucap Ansell singkat lalu menutup pintu.
———-
Suasana pagi di sebuah Mansion nampak ramai, beberapa orang dengan pakaian seragam nampak berlalu-lalang mengerjakan tugas mereka dengan serius. Mereka tidak ingin ada satu pun yang tertinggal atau mereka akan segera angkat kaki dari sini.
Ansell menerima handuk yang diberikan oleh pelayan yang menunggu di depan pintu, laki-laki itu baru saja keluar dari ruang olahraga. Tetesan keringat memenuhi wajah dan membuat basah kaos yang mencetak otot perut milik pria 25 tahun itu. Hal ini selalu ia lakukan setiap pagi sebelum sarapan guna menghasilka hormon endorfin sebelum sebelum bekerja.
Laki-laki itu menghentikan langkahnya ketikan melihat pintu kamar tidur adiknya nampak sepi sebab biasanya akan ada 3 atau 4 pelayan yang berada di depan pintu itu berusaha membangunkan Arrayan yang sangat susah dibangunkan.
"Kalian tidak membangunkan Ray?" tanya Ansell menatap ke arah pelayan yang mengikutinya.
"Tuan muda sudah bangun dan sekarang sedang sarapan di bawah, Tuan besar," jawab sang pelayan.
Ansell mengerutkan dahinya, kerasukan apa adiknya yang seperti beruang hibernasi jika tidur hingga bisa bangun sepagi ini?
"Tuan muda ditemani oleh wanita yang Tuan besar bawa kemarin."
Ansell berdecak, ia melupakan bahwa di rumah ini ada sosok baru. Anwa. Buru-buru ia berjalan menuju lantai bawah namun ditengah perjalanan langkahnya terhenti.
"Panggil perempuan saya bawa itu Nyonya besar," kata Ansell membuat pelayan itu terkejut. "Beri tahu juga yang lain. Tugasmu sudah selesai, silahkan pergi!"
"Baik, Tuan besar!"
Ansell sedikit melambatkan langkahnya yang menuruni tangga ketika melihat pemandangan yang ada di ruang makan. Arrayan nampak tenang duduk di kursinya dengan sesekali membuka mulutnya ketika Anwa menyuapinya.
"Tante Wawa nanti ikut anterin Ray sekolah ya? Yaaa?" pinta Ray sambil mengunyah makanannya. Adiknya itu sudah siap dengan seragam sekolahnya.
"Tidak, Tante Wawa akan ikut bersama Kakak,” celetuk Ansell.
Rayyan dan Anwa sontak saja menengok ke arah belakang, dimana Ansell sedang berjalan menuju meja makan. Sang adik menyambut Kakaknya dengan dengusan kuat membuat Anwa yang hadir disana sedikit meringgis.
"Kenapa tidak makan sendiri? Apa tangan Ray patah sehingga tidak bisa lagi digunakan?" tanya Ansell sambil menatap adiknya yang sekarang membalas menatapnya tajam.
"Tante, lihat! Perkataan Kak Ansell sangat buruk, untung saja Kak Ansell memiliki wajah yang tampan dan kaya, jika dia buruk dan miskin, tidak ada yang mau dengannya."
"Uhuk!" Ansell tersedak kopinya, sang pelayan yang berada di sana sudah ketar-ketir. Mereka mengkhawatirkan mereka sendiri, takut jika kopi yang mereka buat tak enak.
Mereka tak perlu mengkhawarirkan Arrayan, karena mereka semua tahu bahwa Ansell tidak akan pernah bisa marah dengan adiknya.
Bagi laki-laki itu, Arayyan adalah satu-satunya harta paling berharga yang ia miliki. Satu-satunya keluarga yang akan ia jaga dan sayangi.
"Makan yang banyak, Ray," ucap Ansell.
"Setelah ini bersiap-siap, kita pergi mencari baju," ujar Ansell menatap ke arah Anwa yang mengerjap-ngerjapkan matanya, bingung.
Anwa mengedarkan pandangannya ke segala arah, mencari sosok yang sedang diajak bicara oleh Ansell.
"Aku bicara denganmu, Anwa," ujar Ansell gemas. Ingin sekali rasanya mengurung wanita itu ke dalam kamar lalu mendesahkan nama masing-masing.
Ck, padahal ini masih pagi.
"A-aku?" tanya wanita itu sambil menujuk dirinya.
Ansell mengangguk, tatapannya tak lepas dari Anwa. Manik hitam pria itu seperti sudah menemukan tujuannya untuk berlabuh setelah lama terombang-ambing mencari keberadaannya. Anwa, wanita yang selama ini Ansell cari.
"Tapi, kita mau kemana?" tanya Anwa bingung.
"Mancari pakaian untuk kamu," ucapnya sambil berdiri. Pria itu tak batah lama-lama duduk dengan pakaian yang berkeringat.
"Wah, asyik! Ray mau ikut!" seru Rayyan membuat Ansell kembali menoleh.
"Tidak, Ray harus sekolah. Kakak janji untuk menjemput Ray di sekolah setelah pulang bersama Tante Anwa."
"Yah..." ujar anak laki-laki iti sedikit kecewa. "Tapi, tidak apa. Tante Wawa akan tinggal disini selamanya."
——
Anwa mematut tubuhnya di depan cermin, wanita itu hanya mengenakan rok sebatas semata kaki dan baju lengan panjang yang cukup lebar. Ia mengangkui bahwa tubuhnya memang berisi sehingga pakaian yang saat ini ia kenakan terasa ketat dan mencetak seluruh tubuhnya.
Tak ingin membuang waktu, Anwa kemudian turun ke lantai bawah dan menunggui Ansell ruang tamu yang menurutnya sangat nyaman. Ada beberapa foto berisi Ray dan Ansell di pajang disini, mengungkapkan bahwa tidak ada siapapun lagi di keluarga mereka.
Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ada di kepala Anwa tentang Ansell dan Ray namun ia bingung ingin bertanya pada siapa.
Bunyi langkah sepatu membuat Anwa menoleh ke sumbernya. Untuk beberapa detik, wanita itu tidak mengerjapkan matanya saat melihat sosok menawan Ansell berjalan ke arahnya. Pria itu nampak tampan dengan kemeja biru laut serta celana yang membalut kaki jenjangnya.
"Sudah siap?" tanya Ansell berdiri di samping Anwa yang tengah duduk di sofa.
Anwa mengangguk perlahan. “S-sudah.” Tiba-tiba ia merasa tak percaya diri ketika mengingat akan berjalan bersama Ansell.
Apa laki-laki itu tak malu? Anwa seketika meringgis, menyadari bahwa orang-orang akan langsung mengira bahwa ia adalah pelayan laki-laki itu.
Tunggunya, memangnya Anwa mengharapkan apa?
Keduanya pun berjalan menuju mobil yang sudah disiapkan. Tidak ada sopir yang menemani mereka, hanya ada Anwa dan Ansell untuk hari ini.
Tidak ada pembicaraan antara keduanya sehingga perjalanan menuju Mall terasa cukup lambat.
Anwa terus menunduk ketika sudah berada di dalam Mall yang sering dikunjungi oleh orang-orang atas. Walau dulu juga pernah tinggal di Ibu kota, wanita itu tidak pernah menginjakan kaki di tempat seperti ini. Keseharian Anwa dulu hanya mengantar jemput anaknya dan berdiam di rumah.
Anwa terkejut ketika sebuah tangan memeluk bahunya, ia kemudian menengokan kepalanya ke arah Ansell yang juga menatapnya sambil tersenyum.
"Jangan menunduk, nanti bisa terjatuh," katanya membuat Anwa mengerjap-ngerjapkan matanya.
Buru-buru Anwa melepaskan pelukan itu dan mengangguk. Tenggorakannya tiba-tiba terasa kering hingga membuatnya meneguk ludah pelan.
Mereka kemudian masuk ke sebuah toko butik yang nampak berisi barang-barang mahal. Baru saja masuk, mereka langsung di sambut oleh seorang pelayan toko yang bahkan menggunakan baju yang lebih bagus dari pada Anwa.
Ansell langsung mengajak Anwa menuju bagian pakaian wanita. “Pilih yang cocok untukmu, Anwa.”
Anwa sebenarnya sudah hendak menarik Ansell dari butik ini tapi merasa tak enak karena pelayan itu mengikutinya.
“Ansell, kita cari toko yang lain saja,” bisik Anwa mendekatkan bibirnya ke telinga Ansell menbuat tubuh laki-laki itu tiba-tiba menegang.
“Kenapa?” tanya Ansell heran.
“Baju disini sangat mahal, uangku enggak akan cukup,” cicit Anwa dengan wajah resah.
Ansell menanggapi itu dengan sebuah senyuman. Apa Anwa mengira ia akan membayarnya sendiri? Jadi apa gunanya selama ini Ansell menambang uang?
“Aku yang membelikannya,” jawab Ansell, sudah siap mendengar ucapan terima kasih dari Anwa atau kecupan di pipi.
“Enggak, aku enggak mau.”
“Kenapa?” tanya Ansell bingung.
“Aku sudah terlalu banyak merepotkan Ansell, jadi kita cari toko lain saja ya?” pinta Anwa dengan wajah memelas.
“Anggap saja ini hadiah karena kamu sudah baik dengan Ray,” balas Ansell yang sedikit bingung. Ia tidak pernah berurusan dengan perempuan. Apa kalian mengira bahwa ia adalah seorang penakhluk wanita? Salah besar.
“Enggak, Ansell. Aku baik pada Ray bukan untuk dibayar,” tolak Anwa lagi.
Ansell menggerang. “Pokoknya terima saja. Seterah jika kamu menganggap ini apa, tidak usah merasa tak enak.”
“Tapii—“
“Aku ada telepon, kamu pilih semua baju yang kamu suka. Tidak perlu pusing dengan harganya.” Ansell menepuk bahu Anwa singkat sebelum berjalan menuju sofa yang disediakan oleh butik ini.
Anwa sungguh semakin merasa tak enak pada Ansell yang sudah terlalu baik padanya. Pria yang ia pikir mengerikan tapi ternyata memiliki hati yang peduli. Tiba-tiba wanita itu tersentak ketika mengingat masa lalu, tentang dirinya yang menyelamat Ansell dan Rayyan saat hujan lebat.
Apa Ansell ingin membalas kebaikannya?
Sungguh, Anwa tidak menginginkan itu. Ia menolong keduanya tanpa mengharapkan imbalan. Sungguh.
“Ini kayaknya cocok untuk, Tante.” Seorang gadis tiba-tiba berdiri di samping Anwa sambil memegang sebuah baju.
Anwa mengangguk sambil tersenyum, menyetujui bahwa baju itu sangat bagus. Selera gadis muda itu memang selalu bagus tidak seperti Anwa yang sama sekali tidak mengerti berpakaian.
“Terima kasih,” ucap Anwa mengambil baju itu.
“Sama-sama, Tante,” balas gadis muda itu masih berdiri di samping Anwa.
“Tante beruntung banget punya anak laki-laki yang mau nemenin Ibunya belanja ya,” kata gadis itu lagi membuat Anwa yang mendengarnya terdiam. Pandangannya tertuju ke arah Ansell yang nampak masih menelpon.
Apa gadis itu mengira bahwa Ansell adalah anaknya?
Anwa tidak terkejut sebenarnya, malah sedikit heran karena gadis muda itu tidak mengiranya adalah seorang pembantu. Toh, juga anak pertama Anwa juga hampir seusia Ansell.
“Tante boleh kenalin aku sama—-“
“Sudah selesai?” tanya Ansell membuat kedua perempuan itu terkejut karena kehadirannya yang tiba-tiba.
“Sudah,” jawab Anwa. Ia sudah mendapatkan tiga baju dan dua celana dengan harga yang paling murah dari toko ini. Baju yang diberikan gadis itu ia letakan kembali saat melihat harganya.
“Bajunya kok dibalikin Tante? Bagus lho,” kata gadis muda itu sambil tersenyum, sesekali mencuri pandang ke arah Ansell.
Ansell yang melihatnya ikut mengangguk setuju. “Bagus, ini cocok untuk kamu, Anwa.”
Anwa yang mendengarnya entah kenapa merasa tak nyaman, sedikit gelisah. Ia ingin segera pergi dari sini, wanita itu berpikir sampai kapapun ia tak akan pernah cocok dengan orang-orang seperti Ansell dan gadis ini atau ipar-iparnya dulu. Benar apa kata mantan mertuanya dulu, Anwa tidak akan pernah bisa telihat cantik dan mengerti apa itu gaya.
“Tapi, sebenarnya pun mau pakai yang mana, kamu tetap cantik, Anwa.”