Galau 2.1

1291 Words
Seseorang menarik earphone yang menempel di lubang telinga kananku. Om Hamka tersenyum kekanakan saat aku melirik padanya. "Masih suka dengerin Westlife?" tanya om Hamka seraya menempelkan earphone ke lubang telingaku. Aku mengangguk lalu melepas earphone tadi, dan mematikan music player di Mp4 ku demi melihat wajah om Hamka. Kuperhatikan lebih lama wajah om Hamka setingkat lebih berseri setelah solat Jumat. Tidak salah candaan yang beredar di media sosial yang mengatakan kalau orang laki-laki makin ganteng setelah Jumatan. Pria paruh baya yang memberi izin om Hamka libur hari ini melintasi deretan kubikel lalu menimpali obrolan. "Oh, jadi kamu yang suka Westlife?" tanyanya sesaat setelah berhenti tepat di depan kubikel om Hamka. Aku mengangguk lalu tersenyum tipis. Pria itu hanya tersenyum penuh arti. Sedangkan om Hamka tiba-tiba memberi kode padaku melalui gelengan kepalanya yang cepat. Aku yang diberi kode dadakan seperti itu tidak mengerti sama sekali dengan makna dari kode yang coba ia berikan padaku. "Makan yuk!" ajak om Hamka mengalihkan pembicaraan seraya mengenakan jam tangan serta sepatunya kembali. Seolah mengerti makna dari ajakan om Hamka padaku, pria paruh baya tadi kemudian berlalu dari hadapanku. "Ransel kamu tarok sini aja. Om mau ajak kamu naek trans Jakarta sekalian makan. Masih pengen naik busway kan?" Aku tertawa menanggapi pertanyaannya, mengangguk antusias kemudian. Sebelum berangkat ke Jakarta aku memang sudah menunjukkan wishlist tujuan aku selama di Jakarta pada om Hamka, selain datang untuk ujian tes tulis. Salah satunya minta ditemani naik bus Trans Jakarta. Norak ya aku? Enggak lah, karena memang di daerahku nggak ada bus seperti itu. Adanya bus antar kota dalam provinsi, mentok juga bus pariwisata. Itulah kenapa bapak dan ibuk terus mewantiku untuk tidak merepotkan om Hamka selama di Jakarta, karena beliau-beliau paham betul apa yang kuinginkan di Jakarta selain ikut tes CPNS. Melihat om Hamka berdiri, aku turut beranjak dari kursi, menyambar tas jinjing ala sosialitaku lalu mengikuti langkah pelan om Hamka menuju lift. "Ham, ponakannya pegangin atuh, nanti kepeleset. Itu mang Dana abis ngepel," celetuk salah seorang teman om Hamka. "Uler kadut lo! Bagian gue lo selesein ya. Gue dapat libur dong dari pak Irwan!" jawab om Hamka seraya tertawa kecil lalu menarik bahuku agar bergegas menuju lift. "Puas-puasin ketemuannya, Ham. Senin juga lo merana lagi. Etdah, lagunya Westlife jadi song of the day lagi dah," jawab temannya lagi. "Lo kudu solat tahajud malam ini, Ham. Doain ponakan lo keterima kerja di Jakarta. Doanya pakek khususon nama ponakan lo, jangan lupa." Om Hamka hanya menatap malas satu persatu teman-teman kantor yang meledeknya. Tapi aku merasa mimik wajahnya sama sekali tidak terlihat seperti orang sedang marah. Malah lebih terlihat sedang menahan wajah semringahnya. Detik berikutnya Om Hamka kemudian tertawa dan menutup kedua telingaku dengan kedua tangannya. "Anggap nggak denger apa-apa, oke!" ujarnya lalu menekan tombol lantai dasar dan pintu lift tertutup rapat. ¤¤¤ Kami berdua saat ini sudah berada di atas jembatan menuju halte pemberhentian Trans Jakarta. Di antara pejalan kaki yang melintasi jembatan ini, sepertinya hanya aku dan om Hamka yang berjalan dengan sangat santai. Kami saling tukar cerita selama tidak pernah bertemu beberapa tahun ini. Tahu kabar masing-masing hanya melalui media sosial f******k. "Terakhir kita ketemu kapan ya, mbak?" tanya om Hamka saat aku menyindir dia yang tidak pernah mengunjungiku. "Aku SMA kelas dua deh kayaknya, Om." "Mbak nggak pernah pulang ke rumah eyang uti sih." "Ya abis gimana, tiap awal lebaran Bapak mewajibkan semua saudaranya kumpul di rumah, karena kakek nenek kan sudah nggak ada, jadi Bapak deh yang dituakan sama saudara-saudaranya. Kalo dari Ibu kan masih ada eyang uti yang dituakan. Pas giliran aku bisa pulang ke kampung eyang uti dari ibuk, om Hamka udah balik ke Jakarta. Gimana bisa ketemu coba?" "Iya, iya. Jelasinnya segitunya banget sih. Jangan marah ya. Om janji akan jadi guide terbaik selama mbak di Jakarta. Deal?" Om Hamka tersenyum melihat anggukanku yang sangat antusias. "Sini tasnya om bawain," ujarnya, kemudian meraih tali tas Prada abal-abal yang menggantung di pundakku lalu memindahkan ke pundaknya sendiri. Aku menahan tawa melihat tas feminin itu dipegang oleh cowok yang maskulin banget seperti om Hamka. Namun om Hamka menolak saat aku hendak merebut tas tersebut. Akhirnya pasrah deh. Di tengah perjalanan tiba-tiba betisku terasa kaku. Rasanya seperti mau kram. Kakiku mungkin tidak terbiasa pakai highheels. Aku lalu berhenti berjalan, serta sedikit membungkuk untuk memijat betisku. "Betisnya kenapa mbak?" tanya om Hamka khawatir. "Tauk nih. Kram deh kayaknya," ujarku sambil terus mengurut betisku. "Sepatunya tuh mbak yang bikin kram. Bawa sandal nggak?" Mendesah pasrah aku mengangguk. "Bawa om, kenapa?" "Dalam tas ini? Tukar sandal aja ya daripada nggak bisa jalan loh." "Enggak ah om." "Loh kenapa?" tanya om Hamka seraya merogoh tasku dan meraih sandal jepit yang terbungkus kantong plastik hitam. Mengeluarkan isinya lalu menyodorkan padaku. "Kan malu. Masa om rapi gitu akunya pakek sandal jepit sih?" Om Hamka malah tertawa lalu memintaku menyandar pada pagar pembatas jembatan. Dia kemudian mulai mencopot sepatuku satu per satu lalu memintaku untuk memijakkan telapak kakiku dulu ke lantai jembatan sebelum mengenakan sandal jepit. "Jangan jalan dulu. Diregangkan dulu otot-ototnya yang kaku," ujar om Hamka sambil memasukkan sepatuku ke dalam kantong plastik bekas tempat sandal jepit tadi. "Sini biar aku aja yang bawa," ujarku. "Nggak usah. Biar om aja." "Makasi ya, om," jawabku seraya melingkarkan tangan di lengan om Hamka. Wajah om Hamka yang sejak tadi penuh senyuman dan tenang itu tiba-tiba terlihat sedikit menegang. "Kenapa om?" Om Hamka menggeleng lalu mengajakku berjalan kembali. Kali ini langkah kami berdua benar-benar sangat pelan. Alon-alon, sing penting klakon, kata om Hamka padaku. ¤¤¤ Di rumah om Hamka, aku diizinkan menempati kamar pribadinya. Dia sendiri tidur di luar, di depan televisi. Sebenarnya ada kamar satu lagi, tapi sudah dialihfungsikan menjadi gudang. Karena aku hanya menginap untuk beberapa malam dan sendirian saja, jadi om Hamka malas kalau harus membereskan kamar tersebut. Saat sedang serius membaca buku-buku ujian tes CPNS, om Hamka mengetuk pintu kamarku, lalu membuka pintu kamar yang sebenarnya tidak terkunci tersebut. "Lapar nggak mbak?" Aku mengangguk malu-malu, lalu mengikuti langkah om Hamka keluar kamar. Kami berdua duduk di kursi rotan sintesis yang terletak di teras, sambil menunggu gerobak nasi goreng yang biasa lewat di kompleks perumahan tempat om Hamka tinggal. "Pacar kamu sekarang siapa, mbak?" tanya om Hamka tiba-tiba. "Nggak ada om. Lagi jomlo. Om sendiri?" Om Hamka malah tertawa menjawab pertanyaanku. "Pacaran itu dosa, mbak. Tau sendiri kan om nggak pernah bersentuhan sama yang namanya pacaran. Mbak jangan pacaran-pacaran lagi ya," ujarnya lembut tapi tetap terkesan tegas dalam nada bicaranya. "Weiitss...kita ini masih muda om. Nggak ada salahnya pacaran. Itung-itung menyeleksi mana yang pantas dijadikan pendamping. Perkara dosa, ntar kalau udah nikah baru taubatnya," jawabku sekenanya sambil tertawa. "Hush, kamu tuh. Kalau didenger bapakmu ngomong gitu, bisa dikutuk jadi tukang kain seumur hidup loh, mau?" Aku pura-pura memberengut lalu meninju lengan om Hamka. "Dari sekian banyak kutukan, harus banget ya dikutuk jadi tukang kain?" ujarku kesal. "Emang kenapa sih mbak? Kok nggak mau banget jadi tukang kain? Itu pekerjaan halal loh. Nabi Muhammad aja saudagar kain. Masa kita pengikutnya nggak mau mengikuti jejak beliau?" "Om Hamka sendiri kenapa malah memilih jadi manajer keuangan? Kok nggak om aja yang jadi tukang kain kayak bapak?" "Ya karena memang orang tua om nggak ada basic bisnis toko kain. Tau sendiri kan orang tua om semuanya berprofesi sebagai pengajar Mts. Jadi cuma ilmu yang mereka wariskan sama om, bukan bisnis seperti bapak dan ibu mbak." "Kultumnya cukup sampai di sini ya. Tuh tukang nasgornya udah deket," ujarku lalu menepuk tanganku beberapa kali untuk memanggil tukang nasi goreng yang berjarak tak sampai lima meter dari pagar rumah om Hamka. Aku bisa mendengar helaan napas kasar dari om Hamka yang tidak pernah berhasil mengajakku berbicara baik-baik jika menyangkut soal serius seperti tadi. Apalagi kalau sudah bawa-bawa bisnis toko kain bapak. Belum mulai ngobrol udah gedeg duluan. --- ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD