Galau 2

1242 Words
Aku sampai Jakarta pukul delapan pagi. Kulihat dari jarak sekitar seratus meter, Om Hamka melambaikan tangannya. "Astagfirullah, rambutmu diapain mbak?" Begitulah respon adik sepupu ibuku itu pertama kali saat melihat penampilanku. Aku cuma cengar cengir menanggapi komentar om Hamka melihat penampilan rambut baruku. Rambutku dasarnya hitam, model segi, panjangnya sebahu serta sedikit variasi tambahan highlight warna rosegold. Mungkin itu yang dipertanyakan oleh om Hamka saat ini. "Rambut model gini lagi happening loh om," jawabku sambil cengengesan. Dan om ku yang super duper alim itu hanya menggeleng mananggapi jawabanku. Sambil berjinjit aku mengatupkan kedua tanganku di depan wajah om Hamka, "Jangan bilang Bapak ya, om," ucapku tulus tapi tetap cengengesan. Om Hamka hanya mendesah pasras lalu mengedikkan bahunya. "Kamu tau hukum islam dalam mewarnai rambut kan, mbak?" tanyanya dingin. "Enggak tau dan please om Hamka jangan mulai kultum karena ini bukan bulan puasa," candaku dalam kekehan tertahan. Om Hamka tak menjawab candaan garingku, lalu bertanya, "ini aja bawaannya?" Dia sedang auto malas berdebat denganku untuk urusan sepele. "Iya om. Mau sebanyak apa? Cuma tiga hari. Emmh..., om, kayaknya aku harus ganti pakaian deh. Nggak mungkin kan ke kantor instansi pemerintah pakai pakaian casual gini?" ujarku sambil memperlihatkan penampilanku yang hanya mengenakan kaus pas badan dan celana rapped, tak ketinggalan sepatu keds. "Iya lah harus, pakek sepatu buluk gitu masuk kantor pemerintahan diusir kamu. Siniin ranselnya, biar om yang bawain." Aku hanya balas tertawa mendengar komentar om Hamka pada penampilanku. Dia lalu menunjukkan arah toilet perempuan padaku yang bisa digunakan tidak hanya mengganti baju, tapi juga sekaligus mandi. "Loh udah kelar? Jadi mandi?" "Males ah. Cuci muka sama gosok gigi doang." "Udah mau kerja masih aja malas mandi!" ujar om Hamka, hanya mendapat cengiran dariku. Kini aku telah mengganti pakaianku dengan pakaian formal, dalaman biru langit, blazer dan rok pensil di atas lutut berwarna serba hitam, tak ketinggalan high heels 13 cm andalanku selama melamar pekerjaan akhir-akhir ini serta dandanan tipis-tipis anti cetar. "Nggak kependekan mbak, roknya tuh?" Komentar om Hamka saat kami telah berada di area parkir khusus kendaraan roda dua. Aku menggeleng, Om Hamka lalu menyerahkan jaketnya untuk menutupi pahaku yang terekspose saat aku telah duduk di atas motornya. Mana motornya motor cowok pula. "Ketutup jaket kok. Ayo berangkat keburu tutup kantornya. Hari Jumat katanya hari pendek bagi semua kantor instansi pemerintahan. Ya kan?" Om Hamka tak menjawab. Dia melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Menerobos kemacetan, selip sana selip sini dengan hati-hati. Setelah mendapatkan nomor peserta untuk tes esok hari, om Hamka membawaku ke kantor tempat dia bekerja. Ada beberapa pekerjaan yang harus ia selesaikan sebelum mengantarku pulang ke rumahnya. Aku menunggu di kubikel kosong samping kubikel omku. Aku memerhatikan dia bekerja dari sini. Dia terlihat serius menatap layar monitor di hadapannya. Usia omku ini terbilang masih muda. Usia kami hanya terpaut sekitar tujuh tahunan. Kalau usiaku sekarang adalah 22 tahun, artinya usianya baru menginjak 29 tahun. Masih muda kan? Selain memiliki paras yang bisa dibilang lumayan tampan, dia juga belum menikah. Ugh, pantas saja makhluk berkromosom X di kantornya ini menatap kedatangan kami dengan pandangan aneh. Ada yang sinis, tapi tidak sedikit yang menahan senyum sambil meledek omku. Menilik penampilanku yang masih rapi meskipun tidak mandi sejak kemarin pagi, aku tidak kalah kok dengan wanita-wanita kantoran yang beredar di kantor omku ini. Omku yang mengenakan kemeja batik lengan pendek dan celana khaki lengkap dengan sepatu pantofelnya itu, tidak terlalu malu membawaku ke kantornya hari ini. "Mbak udah sarapan?" tanya om Hamka padaku. Aku menggeleng diiringi senyum terbaikku. Kebanyakan kerabatku memang memanggilku dengan sebutan mbak. Karena bapak dan ibu adalah anak tertua dalam keluarga besarnya, otomatis membuat aku menjadi cucu, cicit, keponakan, dan sepupu tertua dalam keluarga besar bapak maupun ibu. Menyebalkan sebenarnya dipanggil mbak. Seperti tua banget rasanya. Meski aku protes seperti apa pun, katanya kebiasaan itu tidak bisa diubah lagi, jadi aku harus menerimanya dengan lapang d**a. Om Hamka sendiri ikut-ikutan saja sebenarnya. Saat aku protes supaya menyebut namaku saja dia tidak mau mengubah sebutan itu sampai kapan pun. Begitu katanya. Kulihat om Hamka membuka laci mejanya, meraih sebungkus roti dan sekotak s**u UHT lalu menyerahkannya padaku. "Ganjel ini dulu ya. Om masih harus menyelesaikan kerjaan ini. Diminta selesai sekarang soalnya sama atasan," ujarnya, mengalihkan pandangannya dari layar monitor komputernya demi menghadapku. Aku membuka bungkus roti lalu menjawab dengan mulut penuh roti, "ofe, selow aja lafi, om. Om ufah mafan?" Om Hamka ketawa geli mendengar ucapanku. "Nggak baik ngomong dengan mulut penuh makanan. Abisin dulu makanannya baru ngomong," tukas omku itu. Aku hanya manggut-manggut saja mendengar nasihat darinya. Dia lalu kembali berkutat pada pekerjaan. "Ham, data penjualan dan pembelian bulan lalu udah kelar belum?" tanya salah seorang teman om Hamka dari depan kubikelnya. "Udah gue kirim ke email lo kan semalam?" "Oya? Belum gue cek sih," jawab temannya itu sambil menyeringai bodoh. Selang beberapa menit, muncul lagi seseorang menghampiri kubikel om Hamka. Kali ini seorang perempuan muda. Kira-kira usianya sedikit di atasku. "Ham, servernya lagi down ya? Kok gue nggak bisa kirim email sih?" "Mana gue tau. Tanya anak-anak IT deh," jawab om Hamka sebal. Sedangkan perempuan tadi malah cekikikan sambil berlalu meninggalkan kubikel om Hamka. Aku sendiri ikut tersenyum tersipu. Entah kenapa aku merasa mereka itu seperti sengaja ingin menggoda om Hamka. Dan juga sekadar ingin melihat keberadaanku di sini. "Jadi ini, keponakan kamu dari Jawa, yang sering kamu bicarakan kalau sedang nongkrong bareng?" ujar seorang pria paru paruh baya yang kulihat keluar dari sebuah ruangan. "Database penjualan bulan lalu yang bapak minta sudah saya kirim melalui email ya," sahut om Hamka kikuk. "Ya melalui email lah, Ham. Mau melalui apa lagi? Di cetak gitu? Trus dikirim lewat pos?" Seloroh pria paruh baya tadi dengan nada bercanda. Pria paruh baya itu kemudian menahan senyumnya lalu berujar, "Hamka, Hamka...tau ponakanmu datang, saya pasti kasih kamu izin libur hari ini. Ya sudah, email kamu saya periksa nanti saja. Sekarang kita solat Jumat dulu." Om Hamka lalu mengangguk tegang dan menatapku sambil tersenyum bodoh. "Om jumatan dulu ya, mbak tunggu sini dulu. Kalau mau internetan juga boleh," ujar om Hamka mempersilakan aku duduk di kursi yang sejak tadi ia duduki. "Iya om solat aja dulu. Aku nggak bakal kemana-mana kok, takut diculik cowok cakep," jawabku iseng lalu terkekeh. Om Hamka hanya menggeleng menanggapi jawaban isengku itu. Dia lalu melepas jam tangan, sepatu dan kaus kakinya. Lalu mengganti alas kakinya tadi dengan sandal jepit yang diambil dari bawah meja. "Ekom dulu," ujarnya sebelum pergi, seraya menyodorkan punggung tangan kanannya untuk kucium. Aku tergelak tapi akhirnya menuruti perintah konyolnya itu. Suara berbisik dari teman kantornya semakin terdengar riuh lalu menyoraki tindakan konyol aku dan om Hamka. "Romantis abeees...Mau dong sekalian diimamin sama om Hamka," celetuk salah seorang teman kantor om Hamka. "Seret adek ke KUA sekarang, om!" sahut yang lainnya tak mau kalah. Aku hanya bisa pasang tampang cuek sekarang. Apanya yang lucu dan layak dijadikan guyonan? Biasa saja menurutku. Mestinya memang begitu kan bentuk hormat seorang keponakan pada pamannya. "Omongan temen-temen om tadi jangan terlalu diambil hati ya. Mereka memang kadang rada gesrek. Golongan orang-orang butuh piknik ya gitu deh," ujar om Hamka, sambil menepuk bahuku sebelum berlalu untuk mengikuti langkah makhluk berjakun yang akan menunaikan ibadah solat Jumat. Bola mataku mengikuti pergerakan om Hamka sampai masuk lift. Sebelum pintu lift tertutup, tatapan mataku dan om Hamka bertemu. Dia tersenyum sekilas padaku. Entah karena dibisiki sesuatu oleh teman di samping kanannya yang membuat dia tersenyum, atau sengaja tersenyum tanpa alasan karena beradu tatap denganku. Hanya dia dan Gusti Allah yang tahu. ---  ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD