Galau 1.1

1118 Words
Desta masuk kamarku setelah tahu aku mendapat jawaban gantung macam jemuran dari Bapak. "Dapat ijin Bapak ke Jakarta?" tanyanya setelah duduk di ujung ranjangku. "Menurutmu???" tanyaku balik. Ngeselin deh, udah tau masih nanya. Desta mencetus cepat. "Kayaknya takdirmu itu memang menjadi tukang kain, mbak," sembari menertawakanku. Aku lantas melempar kepalanya dengan guling. "Gundulmu, Des! Kalo kamu ke sini cuma mau ngece* mbakmu yang cantik jelita ini, mending keluaro dari kamarku! Syuh....syuh...." bentakku lalu mengusir Desta. (Mengejek) Desta mencibir, tak terima dengan cara pengusiranku yang agak tidak manusiawi menurutnya. "Emangnya aku pitik pakek di syuh-syuh begitu," jawabnya, sebal. Aku tak menjawab kelakar yang sengaja ia buat untuk menghiburku. Desta masih bertahan di kamarku meski telah aku usir seperti tadi. "Emang di deket-deket sini nggak ada lowongan tha, mbak? Kenapa harus jauh-jauh ke Jakarta?" tanya Desta kali ini dengan mimik serius. "Namanya mencoba kan nggak ada salahnya, ya tho?" jawabku lagi. "Feelingku sih mbak bakal bakalan kerja di dekat-dekat sini, deh. Mbak itu sudah ditakdirkan selalu berada di balik keteknya Raden Sudarmono. Percaya sama aku." "Emoh! Mending kamu keluar. Mbakmu yang cantik jelita ini mau boci (bobok ciang). Tidur siang dan tidak sering begadang bisa membuat wajah berseri sepanjang hari." Desta tergelak mendengar teori ngawur yang aku ciptakan beberapa detik yang lalu. "Nganggur aja belagu kamu, mbak," balasnya, menyebalkan. "Bedes*!" Aku melempar kepala Desta dengan boneka teddy bear pemberian dari mantan pacarku. (Monyet) Loh, masih menyimpan barang pemberian mantan? Tidak bisa move on? Bukan, bukan begitu. Aku memang pantang membuang barang pemberian orang padaku. Prinsipku soal itu, masa udah dikasih dibuang? Kan mubadzir. Jadi ya aku simpan saja. Perkara nanti bakal baper gara-gara melihat barang pemberian mantan, itu urusan ke seratus sekian. ¤¤¤ Beberapa hari setelah aku menyampaikan kabar soal seleksi tes CPNS yang ingin aku ikuti, menjelang hari terakhir registrasi ulang untuk mendapatkan nomor tes CPNS Departemen Kementrian Koperasi di Jakarta tepatnya, bapak memanggilku di beranda rumah. Kami mengobrol dalam suasana canggung setelah beberapa hari saling diam. Apalagi Raden Sudarmono itu modelnya kalau hendak menyampaikan sesuatu, tidak langsung pada pointnya. Pasti mampir-mampir dulu membicarakan hal lain yang tidak ada faedahnya dengan apa yang ingin beliau sampaikan. Bapak menyampaikan nasihat panjang lebar yang bisa dikatakan lebih ke menakut-nakutiku ketimbang dikatakan menyampaikan sebuah nasehat. Namun apa pun yang bapak katakan, tidak membuat nyaliku menciyut. "Ini ATM bapak, kamu pakai selama keperluan tes di Jakarta. Isinya lebih dari cukup, tapi jangan boros-boros. Bapak sama Desta yang ngantar sampai Surabaya, nanti di Jakarta kamu dijemput sama paman kamu. Bapak sudah bilang untuk memberi kamu tumpangan menginap selama tes di Jakarta." Aku masih terpana menatap bapakku sendiri. Nada bicaranya sedikit kalem, tidak meledak-ledak seperti biasanya. "Jangan lupa hubungi om kamu itu, kasih tau kalau kamu mau merepotkan dia selama beberapa hari," nasehat Bapak selanjutnya, lalu menyerahkan kartu ATM miliknya kepadaku. Agak tidak percaya dengan apa yang aku lihat, tapi kenyataannya aku bisa melihat dengan jelas kedua mata Bapak sudah berkaca-kaca. "Bapak istirahat dulu," ujar Bapak, lalu meninggalkan aku seorang diri di beranda rumah. Ini artinya aku mendapat izin dari bapak? Thank God. Semoga kali ini dewi fortuna berpihak padaku. Aku lalu berlari kecil mendatangi Desta yang sedang bersemedi di dalam kamarnya. Aku nyelonong masuk tanpa mengetuk pintu kamarnya terlebih dahulu, melupakan aturan di rumah ini yang dibuat oleh sang jendral. Aku menyampaikan kabar gembira tadi pada Desta. Dia hanya mencibir dan malah mengatakan kalau aku jangan terlalu berharap lebih pada hasil tes seleksi nanti, supaya aku tidak kecewa lalu nekat bunuh diri. Kampret sekali dia memang. ¤¤¤ "Mbak, nanti jangan ngerepotin om Hamka selama tinggal di sana," ujar Ibuku memberi nasehat saat membantuku menyiapkan keperluanku selama di Jakarta. "Iya buk." "Solat loh, mbak. Jangan sampe disuruh-suruh kayak di rumah kalo mau solat. Jangan bikin ibuk malu sama Om kamu." "Solat itu kan harus dari hati, buk. Kalo dipaksa jatohnya bukan ibadah, tapi pamer." "Ngomong sama kamu itu kok susah tenan tho, mbak." "Susah piye tho buk? Solatku ibadahku, cukup Tuhan yang tahu," tukasku dengan nada lebih tegas kali ini. Ibu berdecak seraya mengangkat kedua tangannya. Tanda beliau menyerah berdebat denganku. Pagi harinya Raden Sudarmono dan anak laki-lakinya mengantarku ke Surabaya. Sebenarnya aku bisa saja menggunakan sarana tramsportasi bus menuju Jakarta, dadipada repot-repot ke Surabaya untuk menggunakan sarana transportasi kereta api, tapi berhubung lokasi terminal bus dengan tempat kerja dan tempat tinggal adik sepupu Ibu yang akan menjemputku di Jakarta cukup jauh, jadinya aku menurut saja. Yang penting sampai di Jakarta dengan selamat. "Mbak, nanti jangan ngerepotin omnya minta dianter ke sana kemari. Dia juga kerja, loh," titah yang terhormat Bapakku. Aku hanya menjawab dalam bentuk gumaman. Aku melirik dari spion di atas kepalaku, jelas-jelas aku bisa melihat Desta sedang mengatupkan kedua bibirnya menahan tawa. Dia pasti sedang meledekku. Bapak tiba-tiba mencetus. "Bisa berapa IP kamu semester ini, Des? Janjimu sama bapak 3,5 loh." Beberapa kali melirik dari spion di atas kepalanya, menunggu jawaban dari Desta. "Hah? Kapan aku janji gitu, pak?" Desta plonga plongo seperti orang bego. Aku tertawa dalam hati lalu meluncurkan aksi balas dendamku, karena dia tadi sudah menertawakan penderitaanku dikasih khotbah solat Jumat sama Bapak, perihal harus menjaga tata krama dan perilakuku selama tinggal di Jakarta beberapa hari ke depan. "Iya, Pak. Mbak denger kok, Desta pas mid semester itu janji kalau IP nya semester ini minimal tuh 3,5." Aku mulai menyalakan sumbu komporku. "Jasik! Kapan aku janji gitu, mbak? Ngawur cangkemmu!" Maki Desta padaku. "Desta! Kalau ngomong yang sopan. Dia mbakmu bukan teman kamu!" Hardik Bapak karena ucapan kasar Desta padaku. Bapak tidak tahu saja kalau si Desta ini bisa lebih kasar dari itu kalau sudah berbicara denganku. Dan kemudian Bapak mulai memberi khotbah solat Jumat pada Desta soal unggah ungguh Jawa, cara berbicara dan bersikap kepada saudara yang lebih tua. Desta menjadi bulan-bulanan Bapak sepanjang jalan kenangan. "Mbak, emang kapan aku janji gitu sama bapak? Kok aku nggak ingat ya?" celetuk Desta saat aku menunggu di ruang tunggu stasiun Gubeng. Bapak sedang mengantri membeli tiket kereta api untukku. "Iya kok. Kamu janji gitu dengan tampang jumawamu itu." "Ojok carpak*! Kalau bohong aku doain kamu nggak lolos tes loh!" (Jangan bohong) "Cangkemmu, Des!" makiku, lalu memukul belakang kepalanya dengan novel yang sedang k****a selama di jalan tadi. Bapak datang melerai pertengkaranku dengan Desta. "Sudah, sudah! Kalian itu saudara kandung tapi seperti musuh bebuyutan saja. Ini tiketnya, mbak," ujar Bapak lalu menyerahkan tiket kereta padaku. Setelah kereta api yang akan aku tumpangi sudah datang, Bapak mengantarku hingga menemukan kursi yang sesuai dengan tiketku. "Mbak hati-hati di jalan ya. Jangan lupa solat dan makan," nasehat Bapak sebelum keluar dari kereta. "Engge, Pak. Mbak berangkat dulu ya," jawabku, kemudian mencium punggung tangan Bapak. Aku berdoa dalam hati selama perjalananku menunu kereta, semoga usahaku ikut tes jauh-jauh ke Jakarta ini tidak sia-sia. --- ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD