Galau 1

1030 Words
Maret, 2010 Aku kira dengan cepat lulus membuatku bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Nyatanya, mencari pekerjaan itu sama sulitnya dengan mencari jodoh. Galz, dunia nyata di luar kampus itu lebih kejam dari ibu tiri dalam film lawas berjudul Ratapan Anak Tiri, suer!!! Apalagi kalau sudah berurusan dengan money and ascendant. Mau jadi pegawai negeri sipil aja nih kudu siap duit ratusan juta. Itu mau jadi pegawai apa buka toko kelontong coba modal ratusan juta??? Lain cerita bila ingin menjadi karyawan bank BUMN, kalau nggak punya nilai TOEFL di atas 500 jangan nekat deh melamar kerja di bank BUMN. Itu pengalaman kakak angkatanku di kampus yang pernah ikut tes seleksi karyawan bank BUMN, tapi selalu gagal. Mau masuk perusahaan swasta kalau bukan bawaan orang dalam atau atas rekomendasi karyawan berpengaruh di perusahaan tersebut, silakan ngejogrok aja di toilet paling ujung. Mau sampai berkerak juga nggak bakal dapat panggilan wawancara kerja. Omaygat .... Aaah... tahu begitu, aku lama-lamain deh kuliah, asli. Tidak perlu lah ngotot menempuh SKS full tiap semester dan mengerjakan skripsi sampai ngoyo, kalau nasibku tidak ada bedanya dengan temanku yang lulus belakangan. Kamvret sangat... Saat kuliah dulu, aku pernah mengikuti sebuah seminar cerdas dengan narasumber ternama bertemakan cara cepat dan mudah mendapatkan pekerjaan. Aku sudah mengikuti semua arahan pria berkumis tipis yang mirip aktor Adjie Pangestu--narasumber ternama pengisi seminar. Namun rasanya tetap saja mencari pekerjaan itu malah semakin seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Sulit, Ya Allah... Aku sudah menyebar ratusan surat lamaran dengan membuat CV sebaik-baiknya ke berbagai macam perusahaan. Namun hingga kini belum ada satu pun perusahaan yang khilaf mau menerima fresh graduate bertitel SE di belakang namanya, tanpa pengalaman kerja sepertiku. Dan aku mulai lelah... Sudah delapan bulan loh nasibku seperti perawan mau dipaksa kawin rasanya. Kerjaannya melamun dan mengurung diri di kamar. Tiap keluar rumah yang ditanya orang pasti tidak jauh-jauh dari pertanyaan seperti, 'udah kerja?' 'Kerja di mana?' Bahkan yang lebih parahnya lagi ada juga yang nyinyir dengan melontarkan kalimat unfaedah seperti 'yang katanya kuliah S1 cuma tiga setengah tahun kerja di mana?' Huh, dosa nggak ya kira-kira kalau ngerujak congornya* orang yang suka usil melontarkan pertanyaan yang sebenarnya mereka sudah tahu jawabannya. Demi mengisi masa-masa menganggurku dengan hal yang lebih bermanfaat daripada mengeram di kamar, aku mengikuti saran dari orang tuaku untuk menjaga toko kain mereka. Namun yang terjadi, baru beberapa hari aku duduk di toko, bapakku yang bernama Raden Sudarmono itu selalu membuatku senewen. Bagaimana tidak, berkali-kali aku dimaki di depan para karyawannya yang rata-rata hanya tamatan SD dan SMP itu. Setiap kali aku mengajukan pendapat menyampaikan keinginanku untuk melakukan inovasi pada gaya berdagang kain bapakku, yang ada aku malah ditertawakan dan tetap dianggap tidak tahu apa-apa. Siapa yang nggak gedeg coba??? Tak ingin dibantah, Raden Sudarmono memberi tempo padaku untuk mencari pekerjaan. Terhitung 12 bulan setelah aku diwisuda. Dan sekarang, jatahku hanya tinggal empat bulan lagi. Bila dalam jangka waktu empat bulan itu aku belum juga mendapatkan pekerjaan, maka Raden Sudarmono yang lebih otoriter dari Nazi itu akan memenjarakan aku dalam dunia bisnis perdagangan kainnya. Ya lord, masa SE kerjaannya cuma ngukur dan motong kain seumur hidup? Apa kata dunia??? No no no. Tidak ada dalam kamus hidupku kata menyerah. Kalau aku lebih fokus, pasti berhasil. Begitulah prinsip hidupku. ☆☆☆ Siang itu aku mendapat kiriman surel dari Departemen Kementrian Koperasi. Ternyata usaha kerasku menyebar lamaran pekerjaan membuahkan hasil. Aku lolos tes administrasi seleksi calon PNS untuk Departemen Kementrian Koperasi. Sekaligus mendapat undangan untuk melanjutkan tes tulis dan psikotes di Jakarta. Berangkaaat... Raden Sudarmono sang titisan Hitler tentu saja menjadi orang pertama yang menunjukkan rasa keberatannya kala aku menyampaikan undangan tes CPNS tersebut. Selain mencemooh, dia menganggap aku sedang bermimpi di siang bolong saat aku menyampaikan keinginanku untuk ikut tes ke Jakarta. "Wes tha lah, nduk. Sampeyan mending di toko. Bantu bapak sama ibu, kelola toko kain kita di pasar. Nanti kalau kamu udah mahir, bapak bukakken toko baru buat kamu. Gimana?" "Tapi Mbak pengen kerja dulu di luar, pak. Mbak pengen tau rasanya kerja kantoran itu seperti apa," bantahku tak terintimidasi sama sekali dengan wajah dingin bapak. "Cah ayu, dengarkan omongan bapak itu." Dengan nada bicara halus Ibu mencoba memberi pengertian padaku. Aku menggeleng. Tekadku benar-benar sudah bulat tak bisa diganggu gugat, meski oleh Raden Sudarmono sekalipun. Kudengar Bapak mengembuskan napas kasar lalu beranjak dari ruang makan, tempat kami bertiga diskusi sesaat yang lalu. Aku yakin saat ini Bapak baik-baik saja. Beliau hanya berusaha menghindar dari perdebatan tak berujung denganku. Biasanya dengan cara duduk di teras rumah mencari udara segar sambil menikmati secangkir kopi tubruk buatan Ibu dan menghisap sepuntung kreteknya. Beliau memang seperti itu. Ketika omongannya dibantah oleh anak perempuannya, beliau lebih memilih pergi. Memang Bapak tidak pernah marah padaku. Namun sekalinya marah, atap rumah mungkin akan runtuh saat itu juga. Semoga saja tidak ada kejadian yang bisa memicu kemarahan Bapak sampai meruntuhkan atap rumah kami. Beda lagi dengan cara Raden Sudarmono itu dalam mengasuh anak laki-lakinya. Adik laki-lakiku yang berusia tiga tahun lebih muda dariku. Pukulan dengan balok kayu, gantungan baju, sampai tali gesper sudah pernah dirasakan oleh Desta selama hidupnya, bila berbuat kesalahan yang memicu kemarahan Bapak. Bicara soal sosok Bapak, sekeras dan seotoriternya Raden Sudarmono, beliau tetaplah orang tuaku yang selalu punya cara tersendiri dalam menyampaikan kasih sayang pada kedua anaknya. Beliau tipekal pria yang, dingin dan tak banyak bicara. Kata Ibu memang pembawaannya dari muda dulu ya gitu. Tuntutannya sebagai anak pertama dan tulang punggung keluargalah yang membentuk pribadi Raden Sudarmono menjadi seperti sekarang ini. Kalau mengambil istilah perfileman tuh, Bapak terlalu menjiwai karakternya sebagai seorang kakak laki-laki yang keras dan berpengaruh bagi ketiga adik perempuannya. Mungkin karena sikap Bapak yang terlalu dingin itu juga yang membuat seluruh isi rumah begitu takut padanya. Dan aku adalah anak pertama dari seorang Raden Sudarmono yang dingin dan keras di luar tapi hangat dan lembut di dalam. Aku merasa hampir seratus persen mewarisi sifat dan karakter Bapakku itu. Oleh sebab itu tak jarang aku sering bersitegang dengan Bapakku sendiri. Perdebatan seperti yang terjadi beberapa saat lalu adalah satu hal lumrah sepanjang perjalanan hidupku selama 22 tahun ini. Pokoknya tekadku sudah bulat, tak gentar meski diancam seperti apa pun oleh Bapak. Bagaimana pun caranya, aku harus mencari mata pencaharian sendiri supaya tidak selalu tergantung pada uang Bapak. Aku sendiri sudah mulai merasa bosan dan lelah karena terus uring-uringan dengan sikap otoriter Bapak dan ketidak sepahaman kami berdua. --- ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD