Hod 48, Rendy Mengamuk

1041 Words
Begitu sampai perbatasan Jakarta dan Bogor, Irfan terbangun. Dia mendengar ada pemeriksaan surat-surat kendaraan oleh polisi, seperti biasa. Dan karena semua surat-surat penting Emran dan Irfan lengkap, mereka bisa memasuki wilayah Bogor, yang terkenal sebagai Kota Hujan, karena memiliki curah hujan yang cukup tinggi dengan udara yang dingin. Motto kota Bogor sendiri adalah : ‘Dinu kiwari ngancik nu bihari seja ayeuna sampeureun jaga’ yang artinya : ‘Melestarikan masa lalu, melayani masyarakat, dan menghadapi masa depan’. Buat orang-orang Jakarta atau di sekitarnya, yang ingin traveling tetapi tidak punya waktu yang banyak, bisa menjadikan Bogor sebagai destinasi wisata terbaik. Dan percayalah, saat kau memasuki kota Bogor, kau pasti akan merasakan perubahan drastis. Kota yang indah dengan udara yang sejuk itu, spontan akan memberimu udara yang bersih untuk dihirup, dibanding dengan udara di kota lainnya. Karena kota Bogor terdapat di dataran tinggi, suplay oksigennya terasa lebih sehat dan udaranya dijamin lebih bersih dari kota-kota yang lebih besar yang sudah penuh dengan polusi. Selain itu, ada banyak tempat wisata yang instagrammable yang bisa dikunjungi untuk berwisata sambil mencari kuliner, tentunya. “Kita kemana, Mas?” tanya Emran sambil melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya. “Mekar Wangi. Tapi kelihatannya, kau ingin melakukan sesuatu?” tebak Ifran yang langsung dapat melihat gelagat adik iparnya tersebut. “Iya, Mas. Kita mampi ke mesjid atau musholah terdekat dulu ya. Buat salat Duha.” “Boleh. Ayo!” Tak sampai lima menit, mereka menemukan musholah yang berdiri tepat di tepi jalan yang mereka lewati. Emran langsung masuk dan memarkir mobil mereka. Lalu keduanya turun untuk melaksanakan salat sunnah, yang jika dilakukan sangat besar manfaatnya. Tak sampai setengah jam, mereka sudah selesai salat dan kembali ke mobil. “Biar aku yang nyetir, Em,” Irfan menepuk pundak Emran yang sudah ingin membuka pintu mobil. “Kau pasti lelah. Kita gantian.” “Baik, Mas.” “Kita langsung ke Mekar Wangi. Kecuali kau mau makan dulu, mungkin.” “Wah, Mas. Masih kenyang banget. Lihat aja Qisya tadi bekalin Mas banyak banget kan? Bekal aja segitu. Apa lagi yang di meja makan.” Irfan tergelak. Dia mengangguk. Lalu mereka melanjutkan perjalanan. Saat yang sama, ponsel Emran berbunyi. Ternyata panggilan dari Qisya, yang ingin tahu apakah suami dan kakak sepupunya aman-aman saja sepanjang perjalanan. “Qisya memang sangat mencintaimu, Em. Aku melihatnya saat kau koma kemaren itu. Dia sangat … hm, apa yang dapat kukatakan? Tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan seperti apa dia menjagamu.” Emran mengangguk dan menyeringai malu. “Alhamdulillah, Mas. Aku juga merasakannya. Aku memang sangat beruntung.” “Artinya, kau jangan menyia-nyiakan cinta istrimu.” “Tidak akan, Mas. Aku juga sangat mencintai Qisya. Dan dengan adanya Zidan di antara kami, Insyaallah aku tidak akan menginginkan yang lain, sampai kapan pun.” “Baguslah. Aku percaya padamu.” Perjalanan berlanjut dan akhirnya mereka sampai ke kota Mekar Wangi. Ifran yang ternyata masih hafal sekali dengan kediaman orang tua Melia, segera menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah dengan halaman yang asri dengan beberapa jenis bunga ditanam di kiri dan kanan halaman. Seorang pria tua sedang menunggu di depan rumah. Ketika Irfan turun, orang tua tersebut menatap dengan matanya yang hampir redup. Kedua pria beda usia itu berpelukan sebentar. Lalu Pak Harja, demikian nama orang tua tersebut, mempersilakan Irfan dan Emran masuk. Di dalam, istri pak Harja sudah menunggu bersama seorang anak laki-lakinya yang ternyata sejak tadi sudah tak sabar lagi untuk bertemu dengan Irfan. “Ren? Apa kabarmu, Dek?” sapa Irfan. “Kabar buruk untukmu!” jawab pemuda berusia dua puluhan itu melompat menerkam Irfan. Satu serangan mendadak dari kaki kanan pemuda itu bersarang ke perut Irfan tanpa dapat diduga oleh siapa pun. Semuanya terkejut dengan serangan mendadak itu. Bu Harja menjerit kaget dan menangis keras setelahnya. Sementara Emran dan Pak Harja langsung menghadang dan memegang kedua lengan Rendi yang tampak seperti orang yang sedang kerasukan setan. Irfan yang pada dasarnya sudah cukup banyak mengahadapi segala macam serangan mendadak di sepanjang hidupnya, sudah menduga hal itu. Dia sudah memikirkannya sejak beberapa tahun yang lalu. Sejak Melia menghilang, lalu kedua belah pihak saling tuduh. Keluarga Melia menuduh Irfan yang menyebabkan Melia menghilang. Mereka menganggap Irfan atau pihaknya yang menjadi dalang hilangnya Melia, meski pada akhirnya tidak terbukti sama sekali setelah polisi menyelidiki. Sementara, Irfan menuduh keluarga Melia kemungkinan besar melarang gadis itu menikah dengannya, lalu mengancamnya, hingga membuat Melia melarikan diri entah kemana. Tuduhan lainnya, bisa saja salah satu dari mereka membawa kabur Melia agar tak dapat lagi bertemu dengannya. Lalu hasil dari saling tuduh itu, membuat bara api tak juga padam meski sudah sekian tahun. Jika akhirnya kedua orang tua Melia bersedia menerima kedatangan Irfan beberapa tahun silam, mengingat ternyata mereka sama-sama mengalami kehilangan orang yang sama, lalu saling memaafkan, ternyata tidak dengan Rendi. Adik lelaki Melia sangat bersikeras menuduh Irfan adalah biang dari semua kepedihan yang mereka dapatkan. Irfan tidak bisa menjaga Melis. Irfan tidak bertanggung jawab atas hilangnya Melia. Dan Irfan sama sekali tidak bersimpati kepada keluarga mereka, malah pergi bersenang-senang ke luar negeri pasca gagal menikah. “Masih punya muka kau datang kesini, b*****h! Selama ini kau kemana? Sembunyi di bawah ketiak ibumu? Ayo, sini kau kalau berani! Aku masih mau menghajarmu sampai babak belur!” teriak Rendi sambil memberontak ingin melepaskan diri dari pegangan Emran dan Pak Harja. “Lepaskan, aku, Pak! Biar kuhajar orang tak punya hati ini!” “Rendi, tenangkan dirimu!” bentak Pak Harja dengan suaranya yang parau. “Kau seperti orang tak waras saja!” “Kenapa bapak malah menahanku? Lepaskan aku, Pak!” “Rendi! Kau tidak kasihan melihat ibumu? Lihat itu ibumu menangis ketakutan melihatmu bertingkah seperti ini!” “Rendi, sudah, Nak … sudah,” Bu Harja tampak kelelahan di antara derai tangisnya. Dia berusaha mengapai-gapai Rendi demi menenangkan anak lelakinya itu. “Ibu gak tahan melihatmu seperti ini. Kau kan sudah dewasa, nak. Bersikaplah seperti lelaki dewasa dalam menghadapi segala masalah. … Padahal tidak ada yang tahu kalau Irfan ke luar negeri demi menenangkan jiwanya yang terbakar dendam. Saat itu, selain menuduh keluarga Melia, Irfan juga menuduh orang tuanya yang telah membuat Melia menghilang. Mengingat betapa ayah dan ibunya sangat tidak suka dengan Melia, bisa saja mereka menyuruh orang untuk menculik Melia. Bahkan membunuhnya. Tapi sayang, tuduhan itu tak pernah mendasar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD