Hod 47, Mencari Jejak Melia

1462 Words
Qisya takkan pernah lupa untuk mencium tangan suaminya sebelum dia atau Emran berangkat untuk bekerja. “Nanti kalau pas mau berangkat, telepon aku ya Mas?” Emran yang sedang memakai helm, menganggu. “Siap, Komandan!” ucapnya membuat Qisya menyeringai. “Aku hari ini mau bawa Zidan ke pos yandu. Semalam sudah datang pengumuman untuk imunisasi.” “Baguslah. Kabarin Mas kalau ada apa-apa. Biar mas bisa langsung tahu dan pulang.” “Baik Mas.” Detik berikutnya, Emran menstarter motor besarnya dan melaju menuju café. Karena dia berangkat masih dibawah jam 6 pagi, Emran dapat memangkas waktu perjalanan hingga setengah sampai satu jam. Karena kalau dia berangkat di atas jam 6 pagi, jalanan bisa macat luar biasa. Semua kendaraan seperti tumplek bertumpuk di jalanan. Sampai di café, dilihatnya Jeep Wrangler Sport owner café Millenial sudah terparkir di depan bangunan empat lantai tersebut. itu tandanya, Irfan sangat serius dengan perjalanan mereka ini. Terbukti dia sudah datang pagi-pagi sekali. Atau jangan-jangan bosnya itu tidak pulang sama sekali tadi malam? Emran memarkir motornya di parkiran karyawan, di basemen. Tak jauh dari tempatnya, dia melihat dua orang yang sedang bertengkar. Tampaknya mereka adalah karyawan café dan sedang memperebutkan tempat parkir. “Assalammualaikum. Selamat pagi. Boleh tahu ada masalah apa ini?” sapa Emran seraya membuka helmnya. Kaca mata hitam masih melekat di matanya, untuk menutupi penutup mata kirinya. “Waalaikumsalam,” jawab salah seorang. Yang seorang lagi menjawab dengan selamat pagi. “Abang! Syukurlah abang datang. Ini orang main serobot tempat parkirku!” seru seorang yang di kemejanya tersulam nama Andre. Sementara seorang lagi kemejanya tersulam nama Barry, langsung mendelik. “Enak banget lu ngomong. Kayak ini lahan parkir nenek moyang lu aja!” “Biasanya juga gue yang parkir di sini!” bantah Andre kesal. “Mana gue tahu kebiasaan lu. Yang penting, gue duluan datang dan parkir di sini, masa lu komplen?” “Yah komplenlah! Gue biasanya parkir di sini” “Sudah! Sudah!” Emran langsung menengahi karena tampaknya tak satu pun yang mau mengalah untuk pindah ke parkiran lain. “Persoalan seperti ini yang paling tidak disukai oleh bos kita. Kesalah pahaman yang sepele tapi bisa membuat kalian dipecat.” “Dia ini bang yang bikin masalah duluan.” Adu Andre. “Kok jadi gue? Kalo lu tetap mau parkir di sini, lebih pagi lah lu datang.” “Sudah! Cukup bertengkarnya! Kalian ini kayak anak kecil saja!” bentak Emran cepat. Dia melirik jam tangannya dan khawatir Irfan sudah menunggunya di ruangannya dengan kesal. “Jadi gimana, bang?” tanya Barry meminta solusi. Tampaknya dia merasa kalau dirinya tidak salah, mengingat dia datang lebih pagi. Jadi wajar dia mengambil tempat parkir motornya di tempat yang kosong. “Aku punya 2 cara untuk menyelesaikan masalah kalian. Satu, aku akan membawa kalian bertemu Pak Irfan. Kita lihat siapa di antara kalian yang ….” “Jangan, Bang! Jangan!” potong Andre dan Barry bersamaan, membuat Emran menghentikan perkataannya. Jelas sekali kedua oran itu pasti sangat takut bertemu dengan Irfan. Bukan apa-apa, kalau masalah sepele seperti sampai ke telinga Irfan, bukan tak mungkin malah keduanya di depak keluar karena tak mampu bersikap dewasa dalam menyelesaikan perkara sekecil itu. Kalau dipikir-pikir, semua karyawan café sangat segan kepada Irfan. Sebagai seorang bos, Irfan memang pemurah dan tidak pelit dalam hal gaji atau penerapan kebijaksanaan. Namun Irfan sangat tidak suka kalau karyawannya bersikap kekanak-kanakan. Bertengkar hanya karena masalah sepele. Emran saja yang merupakan keluarga dekat bisa dipecat begitu saja, dan masih menjadi misteri bagi orang seluruh café apa penyebabnya. Apa lagi kepada orang yang tidak ada hubungan darah? Jadi mereka berusaha agar jangan sampai melakukan kesalahan jika tidak ingin menjadi pengangguran. “Kalau gitu, kalian pake cara kedua dan itu tidak bisa diganggu gugat lagi. Paham?” “Paham, Bang!” keduanya kembali menjawab serempak. “Cara kedua itu seperti apa, Bang?” “Kalian suit sampai 3 kali. Yang menang berhak parkir di sini.” “Baik, bang.” Emran melihat kedua karyawan lain departemen itu mulai bersuit sebayak tiga kali. Dari wajah mereka kelihatan tegang sekali, seolah mereka sedang memperebutkan harta karun saja. “Aku menang!” sorak Barry membuat Andre mengalah karena dia memang kalah dalam bersuit. “Baik. Kau tahu apa yang harus kau lakukan?” tanya Emran pada Andre. Pemuda berusia dua puluhan itu mengangguk. “Iya bang. Aku akan parkir di tempat lain.” Emran mengangguk. “Bagus. Mulai detik ini, siapa pun berhak parkir di mana saja. tidak ada klaim-klaim tempat karena tempat parkir ini memang bukan punya kita, paham?” “Paham, bang. Terima kasih.” Jawab keduanya kembali serempak. Emran agak heran melihatnya. Mereka bertengkar, tetapi kalau menjawab, bisa kompakan gitu. “Baiklah. Case closed!” Emran melanjutkan perjalanannya menuju ruangannya. Sebelum dia ke ruangan Irfan, dia terlebih dahulu mendelegasikan pekerjaannya kepada Zamroni. Pria tua itu dengan senang hati kembali menduduki posisi kepala sekuriti, seperti yang telah dilakukannya selama Emran koma atau dipecat. “Omong-omong, bagaimana dengan tamu semalam, Pak?” tanya Emran mengingat tamu yang mereka antar ke puskesmas setelah pingsan di toilet. “Alhamdulillah, keluarganya segera datang, Pak. Jadi saya bisa kembali ke café secepatnya.” “Syukurlah.” Emran mengangguk. Setelahnya, dia beranjak ke lift dan melepas penutup matanya, berharap Aufa muncul ke hadapannya hingga dia bisa mencari informasi lebih detail. Tetapi sayang, Emran tidak melihat siapa pun hadir di sekitarnya. Kalau sudah begitu, rasanya sia-sia saja dia mampu melihat yang tak kasat mata jika yang diharapkannya muncul, tak juga datang. Emran baru saja keluar dari lift ketika dilihatnya Irfan keluar dari ruangannya sambil menelepon. Sembari bicara di ponselnya, Irfan memberi isyarat pada Emran kalau mereka langsung turun saja. buru-buru Emran menekan tombol lift kembali. Saat pintu lift kembali terbuka, Irfan menyudahi panggilannya. “Sudah sarapan tadi, Em?” tanya Irfan sambil menyimpan ponselnya ke saku jaketnya. Hari ini, tak seperti biasanya yang selalu mengenakan stelan jas, Irfan mengenakan kaus hitam dilapis jaket kulit berwarna hitam juga dan mengenakan celana jeans. Sepatu yang dipakai juga lebih bersifat kasual. Secara keseluruhan, penampilan mereka berdua hampir sama. Mungkin karena keduanya berpikir akan melakukan perjalanan, maka memakai pakaian yang sesuai. “Alhamdulillah, sudah, Mas. Dan kebetulan Qisya menitipkan bekal sarapan juga untuk mas,” Emran menepuk ranselnya. “Syukurlah. Aku kelaparan. Aku akan memakannya di mobil.” “Kita langsung ke Bogor, Mas?” Irfan mengangguk. Lalu memandang Emran dengan serius. “Kecuali …,” katanya sambil memperhatikan mata kiri Emran yang tidak ditutupi. “Kau sudah bertemu dengan putriku dan berkomunikasi ….” Irfan tak meneruskan kalimatnya saat dilihatnya wajah Emran yang sedikit muram. Dia paham artinya. “Aku tidak melihat Aufa, Mas.” Irfan mengangguk. Raut wajahnya berubah kelam. Emran berpikir, mungkin Irfan sudah mulai menantikan Aufa. Berharap agar putrinya muncul dan memberi petunjuk. Mungkin juga secara pelan tapi pasti, kini Irfan mulai merindukan sosok kecil yang tak pernah dilihatnya itu. Di mobil, Emran langsung pegang kemudi sementara Irfan membuka kotak bekal yang dititip Qisya untuknya. Hanya nasi goreng saja isinya. Dilengkapi dengan ayam goreng. Telur dan acar. Tapi ternyata itu hanya ada di kotak paling atas. Di kotak bawah, Qisya menyusun burger, sandwich dan salad. Entahlah apa perytimbangan Qisya sampai menyiapkan begitu banyak untuk kakak sepupunya tersebut. Tetapi ternyata semuanya habis disikat Irfan. Emran tahu dari Qisya, kalau Irfan tidak terlalu suka nasi. Namun menu lainnya, bisa dihabiskan oleh Irfan dalam sekejap. Dan terbukti, dari yang dilihat Emran, Irfan memakan semuanya hingga habis, kecuali nasi goreng yang hanya dimakan setengahnya. “Ups, aku hampir lupa. Qisya juga menyiapkan kopi untuk kita, Mas!” dengan satu tangan, Emran mengeluarkan termos berisi kopi panas yang langsung disambut Irfan dengan tangan terbuka lebar. “Kau beruntung banget punya istri seperti Qisya, Em. Dia memang tiada duanya.” Emran mengangguk. “Alhamdulillah. Mas benar. aku memang sangat beruntung.” “Kau juga sangat mencintai istrimu. Kulihat, kalian memang saling melengkapi. Teruslah seperti itu, ya?” “Insyaallah, Mas. Tidak akan ada yang berubah.” Irfan mengangguk. Dia menghabiskan segelas kecil kopi buatan Qisya dan tiba-tiba menguap lebar. “Astaga! Kenapa aku jadi ngantuk, ya?” “Mas kekenyangan,” jawab Emran tergelak. “Apa mas gak tidur tadi malam?” “Tidak. Aku membuat jadwal dan rencana yang harus kita lakukan. Aku juga memikirkan detail-detai masa lalu yang mungkin terlupakan olehku. Semuanya kucatat untuk membantu pencarian kita.” “Kalau begitu, Mas tidur saja. Nanti kalau sudah sampai ke Bogor, aku akan membangunkan Mas.” “Baiklah. Hati-hati menyetir, Em.” “Baik, Mas.” Erman mengambil penutup matanya dan mengenakannya agar pandangannya tidak terganggu. Bisa saja tiba-tiba dia melihat ada penampakan yang akan membuatnya terkejut lalu lengah dalam mengemudi. Cukup sekali saja dia mengalami kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya. Kesempatan selamat dari kecelakaan untuk yang kedua kalinya, belum tentu terjadi lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD