Hod 46, Zamroni Yang Panik

1758 Words
“Aduh!” Emran yang hampir terjengkang ke belakang, kaget dengan apa yang ia dengar. Kok ada setan yang bisa mengaduh? Tiba-tiba listrik menyala lagi. Zamroni yang dari gudang segera menghampiri toilet saat mendengar sebuah teriakan. Dia melihat Emran berada di dalam toilet. “Ada apa, Pak?” tanyanya cepat. “Eh, kamu Zam?” “Iya, Pak. Bapak yang teriak tadi?” belum sempat Emran menjawab, Zamroni malah melihat ke arah tubuh yang tergeletak di lantai. Hening seketika. “Itu! Itu apaan, Pak? MAYAT?” Zamroni berteriak heboh. “Eh … itu ….” Emran bingung harus menjelaskan apa. “Aduh ... Kepalaku ...,” tubuh itu tiba-tiba terbangun membuat kedua orang lainnya yang berada di toilet terkejut bathin. “Aaaa ... zombie! ZOMBIE ...,” Zamroni melempar sepatunya ke kepala orang itu. Pluk! “Aduh!” tubuh tadi kembali tergeletak di lantai dengan mengeluarkan suara benda berat yang terjatuh. “Eh? Aduh?” Ekspresi kikuk terlihat dari muka Emran dan Zamroni yang saling bertatapan. “Wah, gimana ini, Pak? Apakah orang itu mati? Apa dia zombie yang mati lagi kena lemparan sepatuku tadi?” Zamroni berteriak panik. Emran memeriksa keadaan orang tadi. Masih bernapas. Emran menarik napas lega, orangnya tidak apa-apa. “Dia ....” “Aku bunuh orang! Aku bunuh zombie! Ya Tuhan, aku bunuh orang atau bunuh zombie?!” Zamroni bergumam di pojokan toilet sambil meremas-remas rambutnya hingga berantakan. “Dia gak mati, Zam.” “Aku bunuh orang! Aku bunuh zombie! ….” “Zam! Emran berusaha menyadarkan temannya. Tapi tetap saja Zamroni masih bergumam-gumam tak jelas di pojokan. Plok! Emran melempar sepatunya Zamroni kembali ke pemiliknya dan mengenai kepala Zamroni. “Aduh!” Zamroni langsung meraba kepalanya. “Wah, sepatuku kembali kepadaku, Pak.” Emran mengangguk. “Dan lihat itu, Zam. Kau tidak membunuhnya. Dia masih hidup.” “Benarkah, Pak?” “Iya.” “Dia … dia orang atau zombie, pak?” “Dia manusia.” “Oh.” Hening kembali. “Dia cuma pingsan. Sebelum kau melemparnya dengan sepatu, aku sudah melemparnya duluan dengan tasku.” “Wah, Bapak penakutnya sama seperti aku, ya?” Emran mengangguk lagi. “Sebenarnya dia bukan pingsan karena lemparan kita, melainkan terpeleset,” Emran melihat bekas sabun cair di lantai yang tertumpah. “Benar juga, Pak.” “Yah, sudah. Ayo kita bawa ke puskesmas.” Mendengar hal itu, Zamrobi mampu melegakan dirinya. Dia lalu membantu Emran membopong orang yang pingsan tadi. Saat keluar dari toilet, mereka berjumpa Ferdy Si Kasir cafe. “Eh, Kenapa itu orang?” Tanya Ferdy. “Pingsan. Habis kepleset tadi di toilet.” Jelas Zamroni. “Harus cepat-cepat dibawa ke puskesmas.” “Ini juga mau dibawa ke sana. Bantuin, ayo!” sergah Zamroni cepat. Tidak enak baginya harus membuat Emran menunda pulang ke rumah gara-gara peristiwa yang mestinya menjadi tanggung jawabnya. Ferdy dengan sigap membantu Zamroni dan Emran mengangkut tubuh itu ke mobil Erman. Lima belas menit kemudian, Emran dan Zamroni tiba di rumah sakit. Beberapa perawat dari Unit Gawat Darurat langsung datang menyambut mereka dengan sebuah brankar dan langsung memindahkan tubuh yang pingsan tersebut ke atas brankar lalu membawanya keruang Unit Gawat Darurat. Tak lama, seorang dokter jaga mendatangi mereka dan langsung memeriksa kondisi pasiem mereka. “Sepertinya tidak ada cedera. Hanya memar di bagian belakang kepala.” “Iya, dok, dia terpeleset di kamar mandi,” jelas Zamroni. Dokter mengangguk. “Tidak apa-apa. Sebentar lagi juga siuman” ucap dokter jaga UGD tersebut. “Alhamdulillah,” Zamroni menarik napas lega. “Kan sudah kubilang tadi, Zam. Tidak apa-apa. Kau saja yang ketakutan seperti orang kerasukan setan,” ucap Emran cepat. “Heheheh, iya Pak. Maafkan saya.” “Yah, sudah. Ini udah jam 12 malam. Aku harus buru-buru pulang. Kamu bisa menunggu orang ini sampai siuman agar bisa menelepon keluarganya?” tanya Erman. “Bisa, Pak. Bapak pulanglah! Hati-hati di jalan, Pak,” jawab Zamroni. Emran mengangguk lalu bergerak menuju halaman parkir puskesmas. Ketika keluar ruang UGD Puskesmas, angin dingin menghantam Emran. Bersamaan itu suara lirih seorang wanita terdengar. “Saatnya ....” “Huh?” Emran menoleh ke kanan-kirinya. “Suara siapa tadi?” * Mengabaikan semua yang terasa mengganggu perjalanannya, Emran buru-buru melarikan mobilnya menuju rumah. dia takut Qisya akan menghawatirkannya karena dia sangat terlambat pulang, padahal dia sudah janji untuk segera pulang begitu pembicaraannya dengan Iraf, selesai. "Malam banget baliknya, Mas?" Qisya membukakan pintu rumah begitu terdengar salam dari suaminya, di balik pintu. "Iya, Sya. Ada kejadian kecil tadi di toilet sebelum Mas pulang," ucap Emran sambil membuka pakaian yang sudah seharian dipakainya itu. “Kejadian apa, mas?” Qisya benar-benar gampa khawatir sekarang. Semenjak suaminya mengalami kecelakaan, kabar-kabar yang buruk sedikir saja, bisa membuatnya tak bisa makan. “Ada tamu café yang tiba-tiba pingsan, Sya. Jadi aku harus mengantarkannya ke puskesmas terlebih dahulu. Tapi aku gak sendiri, kok. Berdua sama Zamroni,” jelas Emran membuat Qisya lega. “Ya Allah, apakah tamunya baik-baik saja, Mas?” Emran mengangguk. “Alhamdulillah baik-baik saja, Sya. Zamroni akan menjaganya sampai keluarganya datang.” “Syukurlah,” Qisya menghela napas lega. “Terus, gimana obrolan mas dengan mas Irfan?” “Ceritanya panjang, Sayang,” jawab Emran sambil duduk di sebelah istrinya. "Ceritain dong, kan aku juga mau tahu.” “Hm … gimana kalau aku mandi dulu biar segar dan wanita cantik di depanku ini membuatkan kopi yang kental?” rayu Emran meredam rasa kepo istrinya. Qisya yang mesti sudah penasaran, setuju dengan persyaratan suaminya. Dia segera ke dapur, sementara Emran masuk ke kamar mandi. Usai membuat kopi kegemaran suaminya yang kental dan diseduh dengan air mendidih, qisya membawa masuk kopi itu ke kamar. Tak lupa dia membawa kue bolu pandan yang enak, khas buatan si bibik. Qisya menyalakan AC kamar karena terasa olehnya kamarnya sedikit hangat, sambil menunggu suaminya yang sedang mandi. Dia juga berteriak meminta suaminya untuk lebih cepat. Lima menit kemudian, Emran keluar dari kamar mandi yang langsung ditarik duduk di oleh Qisya. Emran akhirnya menyerah pasrah. Jika istrinya sudah kepo begini akan sangat menyebalkan. Akhirnya Emran menceritakan secara garis besar tentang semua masa lalu kisah cinta Kakak sepupu Qisya tersebut. dan sepanjan Emran bercerita, tak habis-habisnya Qisya berseruh kaget dengan ekspresi muka yang berubah-ubah. “Masa sih Om dan Tante tega berbuat sekeji itu? Menculik Mbak Melia dan menyekapnya hingga sekarang?” “Aku juga meragukan hal itu, Sayang. Tetapi bisa saja itu memang yang terjadi. Kita hanya belum tahu saja kisah sebenarnya.” ucap Emran. “Ya ampun, Aku gak nyangka om dan tante bakal ngelakuin hal seperti itu, bahkan setelah keduanya meninggal dunia, Melia masih belum ditemukan. Kasian banget kakak sepupuku. Kasihan juga Melia jika benar dikurung hingga beberapa tahun!” Emran mengangguk. “Sayangnya, kasus hilangnya Melia, sudah kadaluarsa di kepolisian, setahun setelah kejadian tersebut. Kalau pun mau mencari jejak Melia lagi, kita harus dengan usaha sendiri.” Qisya diam sejenak. “Kalian ada rencana mencari Mbak Melia?” “Kalau kami ingin mencari jasad Aufa, kami harus mencari orang terdekatnya lebih dahulu, kan? Yaitu ibunya sendiri. Melia.” “Dan karena Melia juga belum ditemukan ….” “Kami akan mencari dengan orang terdekat Melia juga. Orang tuanya serta saudara-saudaranya di kampung.” “Kapan kalian memulai pencarian, Mas?” “Besok.” “Aduh, aku ingin ikut, Mas. Jika kalian bisa menemukan Mbak Melia dan jasad Aufa, itu akan menjadi berita besar. Dan kalau aku yang meliputnya ….” Emran langsung memegang tangan istrinya untuk menghentikan keinginan istrinya. “Sayang, kalau kau ada di sana saat aku menceritakan perihal Aufa, kau pasti akan melihat berate Mas Irfan sangat sedih dan terpukul. Aku merasa, Mas Irfan tidak ingin banyak yang tahu tentang hal ini.” Qisya menghela napas. “Benar juga. Apa lagi bila pelaku penculikan adalah benar-benar kedua orang tua Mas Irfan. Tentu ini akan merupakan aib keluarga. Ya Allah, kenapa aku tidak memikirkan sampai ke sana?” Emran menggenggam tangan istrinya. “Karena kau seorang wartawan, Sayang. Wajar kalau nalurimu yang duluan maju dari pada hati dan perasaanmu. Kalian para wartawan memang dididik untuk mencari celah tersembunyi dari sebuah kejadian, kan? Kalian akan menjadikah berita kecil menjadi kisah besar yang fenomenal. Kalian bisa memviralkan hal kecil seakan itu adalah berita besar.” Qisya manyun. “Yah, gak gitu-gitu amat juga sayang. Memangnya kami gak punya hati?” “Maaf sayang, maksudku bukan begitu. Maksudku, kau jangan merasa bersalah karena ingin tahu lebih banyak dan mengungkapkan apa yang telah terjadi ke media. Itu wajar-wajar saja, kok.” Qisya tersenyum. Lalu menyodorkan kopi dan kue bolu kepada suaminya. “Mas benar. Ayo diminum dulu mas kopinya. Nanti kalau sudah dingin, jadi gak enak lagi rasanya.” “Makasih, sayang.” “Ini bolu pandan buatan si bibik. Aku dan Zidan tadi ketiduran pulang dari café. Jadi bibik deh yang nyiapin makan malam juga.” “Kurasa aku sudah gak sanggup makan malam lagi sayang. Tapi kalau kau mau makan, aku akan menemanimu.” “Aku tadi sudah makan bolu sampai 3 potong Mas. Semua gara-gara Zidan minta-minta terus, tapi gak pernah habis. Aku deh yang menghabiskan sisanya. Jadi perutku kenyang banget ini. Bakalan aku tambah gendut deh,” Qisya memasang muka merajuk. Emran langsung mendaratkan ciumannya di pipi istrinya. “Kamu itu selalu canti di mataku, sayang. Mau kurus atau gemuk, yang penting sehat. Buat apa kurus kalau penyakitan? Batuk-batuk gitu. Mau mgobrol, batuk. Mau makan, batuk. Mau ciuman, batuk.” Qisya tergelak sambil mencubit suaminya pelan. “Tapi kan kalau gendut, yah jelek banget. Lagi pula, sebagai reporter, aku ditundtun untuk menjaga penampilan juga. Kalau gendut, bagaimana membuat penonton betah mengikuti liputanku?” “Iya, sayang. Boleh kok jaga penampilan. Asalkan tidak sampai sakit, ya?” Qisya mengangguk. “Tapi apa pun yang Mas dan Mas Irfan temukan selama pencarian, harus dikasih tahu ke aku ya Mas?” “Apa pernah aku menutupi kejadian apa pun selama ini?” “Tidak.” Emran tersenyum. “Doakan saja pencarian kami lancar, sayang. Mengingat kami tidak tahu apa-apa sama sekali, bisa saja ini akan memakan waktu yang lama untuk mendapatkan informasi keberadaan Melia.” “Tidak masalah, Mas. Karena, walau bagaimana pun, jasad Aufa memang harus ditemukan. Dan syukur-syukur Mbak Melia masih ada dan bisa ditemukan.” “Aamiin.” Sepanjang bercerita tentang Irfan dan yang lainnya, Emran sempat merasa ada sosok yang sedang memperhatikannya dan Qisya. Tetapi dia memilih untuk diam dan tidak mengatakan kepada Qisya. Dia tidak mau istrinya itu jadi ketakutan. Karena besok harus membantu Irfan kembali mencari informasi tentang Melia, Emran memutuskan untuk istirahat lebih awal hari ini. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD