Hod 75, Share Lock dari Nomor Misterius

1256 Words
Mendengar suara lantang tersebut, Emran sangat senang. Dia segera memberitahu istrinya dan akan menelepon lagi nanti. Emran juga langsung memanggil dokter untuk memeriksa kondisi kakak iparnya tersebut. ternyata tidak ada yang perlu dikhawatirkan meski Irfan mengaku tulang-tulangnya terasa ngilu akibat benturan kursi dan dinding yang dialaminya. Dokter meresepkan obat penghilang rasa sakit kepada Irfan dan obat-obat pendukung lainnya, mengingat kepalanya sempat mengalami gegar otak ringan. “Dimana mertuaku, Em? Bersama anak buahku?” tanya Irfan setelah tim medis keluar dari ruangan. tanya Irfan setelah tim medis keluar dari ruangan. “Iya Mas. Tadi mereka ada di sini. Setelah aku siuman, aku meminta Indra mengantar mereka kembali ke hotel. Kasihan, mereka pasti sangat capek.” “Kau benar. Bagaimana Aufa? Dan orang itu?” Irfan tampak tak sabar. Emran menjelaskan apa yang telah terjadi, membuat raut wajah Irfan berubah muram. “Ini semua salahku. Mestinya aku mendengarkanmu dan tidak tiba-tiba datang ke lobby hingga membuat Aufa merasa terkejut atau terancam. Sekarang dia malah merasa bersalah dan berpikir aku sudah tewas di tangannya. Gimana ini?” keluh Irfan dengan perasaan hancur. “Aufa akan kembali, Mas. Dan dia pasti akan melihat Mas baik-baik saja. jadi gak usah mencemaskan hal itu,” ujar Emran mencoba menghibur kakak iparnya tersebut. “Syukurlah kalau begitu. Dan orang itu? apa kau sempat menangkapnya?” Emran menghela napas. “Maaf, Mas. Orang itu kabur. Aku tidak sempat menahan orang itu karena aku juga pingsan.” Emran menceritakan apa yang telah terjadi usai Aufa merasa bersalah telah menghempaskan ayahnya ke dinding. Irfan mendengarnya dengan raut wajh berubah-ubah. “Sial! Kalau begitu, besok kita ke kantor polisi. Iptu Bagas pasti sudah mengantungi alamat laki-laki itu. aku juga yakin, dia pasti salah satu yang menjaga rumah tempat Melia disekap!” ujar Irfan, yang langsung dianggukin Emran. Malam itu, Irfan masih harus opname di rumah sakit, karena dokter tidak mau mengambil resiko. Awalnya Irfan menolak dan ingin segera kembali ke hotel. Namun Emran meyakinkan kakak iparnya itu bahwa mereka memang harus menginap satu mala mini di rumah sakit, mengingat mereka sama-sama mengalami benturan yang kuat. Bukan hanya Irfan, Emran juga merasa tulang-tulangnya masih sakit dan butuh istirahat total di bawah pengawasan dokter. Jadi kalau ada apa-apa, mereka bisa langsung ditangani oleh dokter. Akhirnya Irfan mengalah dan kembali ke tempat tidurnya. Sementara itu Emran menelepon Qisya sesuai dengan janjinya agar wanita itu tidak merasa khawatit akan keadaannya dan Irfan. Keesokan paginya, setelah sarapan, dokter memeriksa kondisi mereka berdua dan karena tidak ada yang perlu dikhawatirkan, mereka berdua diizinkan pulang. Di hotel, Pak Harja dan istrinya sudah menunggu dengan perasaan cemas. Begitu melihat Irfan dan Emran kembali, mereka terlihat sangat senang dan lega. Jam 9 pagi, Indra mengantar kedua orang tua itu ke bandara untuk kembali ke Bogor. Sebelum berangkat, keduanya memohon kepada Irfan dan Emran untuk menjaga diri baik-baik. Jangan sampai pencarian akan jejak Melia, mencelakakan mereka lagi. Irfan senang dengan perhatian tersebut. Dia merasa, itu seperti perhatian orang tua yang tak pernah didapatkannya. Irfan berjanji mereka akan lebih berhati-hati lagi. Dan akan segera menghubungi kedua suami istri itu kalau hasil tes DNA mereka sudah keluar. “Ayo kita ke kantor polisi, Em!” ucap Irfan setelah bersiap-siap. Namun dilihatnya Emran malah tercenung menekuri ponselnya. “Em?” “Mas, aku mendapat kiriman lokasi dari nomor yang tak kukenal,” ucap Emran seraya memperlihatkan pesan singkat di ponselnya. Irfan langsung melihatnya. Seseorang telah mengirim ‘sharelock’ ke ponsel Emran. “Kau tak mengenal pengirimnya?” “Tidak, Mas.” Jawab Emran. “Aku akan meneleponnya!” Emran menelepon nomor si pengirim pesan tersbut. Tetapi nomor itu tidak aktif. Padahal, pesan misterius itu baru saja terkirim. Sekali lagi Emran menelepon nomor tersebut, dan lagi-lagi nomor itu tidak aktif. “Tidak aktif, mas. Sepertinya setelah mengirim pesan, nomor ini langsung dibuang.” “Bisa jadi. Apa perlu kita ke konter operator nomor itu untuk memastikan pemiliknya?” “Aku lebih setuju kalau kita mendatangi lokasi ini, Mas. Siapa tahu orang itu sedang menunggu kita?” “Iya, dia menunggu kita bersama teman-temannya untuk menghabisi kita.” “Mas benar. Kemungkinan itu tentu saja ada. Apa perlu kita mendatangi lokasi ini bersama Iptu Bagas?” “Kalau kita datang bersama polisi, orang ini pasti akan lari. Kurasa kita harus mengambil resiko, Em.” Emran setuju. Lagi pula, kalau Irfan sudah berkeinginan, tentu tak seorang pun bisa menghalangi. Dengan kecepatan tinggi, Emran membawa mobil mereka membela lalu lintas kota yang pagi itu sudah terlihat mulai dipadati oleh mobil dan sepeda motor. Peta digital yang dikirim ke ponsel Emran, mudah diikuti petunjuknya. Ternyata mereka diarahkan ke pinggir kota, yang lokasinya lumayan sepi. Sebuah kompleks perumahan terpampang di hadapan mereka. Tempat yang mereka cari, sudah tertulis jalan dan nomornya. Itu sebuah rumah di ujung jalan. Sayangnya, Emran dan Irfan tidak bisa langsung mendatangi rumah itu begitu saja. Mereka harus waspada kalau intrusksi tersebut justru akan menjebak mereka. “Kalau saja kita mendatangi tempat ini berasama polisi, mereka bisa menyerbu masuk dengan perlengkapan yang mereka punya,” gumam Emran agak menyesali keputusan mereka mencari alamat tersebut sendirian saja. “Jangan menyesali apa yang sudah kita putuskan, Em. Itu membuat kita menjadi lemah. Padahal kita harus kuat, mengingat yang kita hadapi para penculik dan sejenisnya,” sergah Irfan tak senang dengan keluhan Emran. Sebenarnya, Emran tidak akan takut melakukan apa saja. bahkan bertemu dengan hantu pun, dia kini mulai berani. Hanya saja, berhadapan dengan manusia yang pernah menculik dan menyekap selama bertahun-tahun, itu beda cerita. Emran harus memikirkan keluarga yang ditinggalkannya. Jika Irfan masih sendiri hingga tak terlalu memikirkan resiko yang dihadapi, namun berbeda dengan Emran. Dia punya anak dan istri yang harus dipikirkan jika dia sampai terluka. “Em, aku tahu kau pasti sedang memikirkan Qisya dan anakmu. Aku juga seperti ini, karena memikirkan Melia dan anakku. Tolong maafkan aku kalau aku agak keras kepadamu.” Irfan memegang pundak adik iparnya seraya berkata seperti itu. “Aku paham, Mas. Aku juga pasti akan seperti Mas kalau berada di posisi yang sama. Bahkan mungkin lebih gila lagi.” Irfan tersenyum segaris. Lalu wajahnya kembali serius. “Coba kau telepon lagi nomor itu. Siapa tahu sudah aktif.” “Baik Mas.” Emran kembali menelepon nomor yang telah mengirim lokasi perumahan sepi itu, tetapi dugaan Emran memang benar. Nomor itu pasti dipergunakan hanya untuk mengirim pesan itu saja dan kemudian dibuang. Makanya Emran kembali mendapatkan informasi kalau nomor tersebut sedang tidak aktif. “Kalau begitu, kita beralih ke plan B,” ujar Irfan membuat Emran mengerutkan kening. “Apa memang ada plan B nya, Mas?” “Yah, harus ada. Masa kita di sini saja sampai batas waktu yang tak ditentukan?” Emran mengangguk sambil menahan senyum. “Baiklah. Apa plan B nya, mas?” “Aku akan mendatangi rumah itu. Kau di sini saja menjagaku dari jauh ….” “Aku tidak setuju!” bantah Emran cepat. “Kenapa?” “Aku sudah berjanji pada Qisya untuk menjaga Mas dan ….” “Kau dan Qisya memperlakukanku seperti anak kecil yang masih ingusan saja!” geram Irfan kesal. “Aku akan ke sana. Kau tenang saja, aku akan berhati-hati.” “Kalau Mas ke sana, aku juga. Dua orang lebih baik menghadapi apa pun dari pada satu orang.” “Kau ini memang keras kepala, ya? Mestinya kau ….” “Aufa!” seru Emran tiba-tiba membuat Irfan menghentikan kalimatnya. Dia melihat ke arah yang dilihat oleh adik iparnya itu. Seorang anak perempuan keluar dari dalam rumah. “Apa? Itu Aufa?” tanya Irfan terkejut. “Mas bisa melihat Aufa?” tanya Emran lebih terkejut lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD