Hod 74, Siuman

1351 Words
Entah apa yang terjadi selanjutnya, Emran tidak tahu. Yang dia ingat, hanya ledakan bola api dari Aufa, menyebabkannya terjajar ke dinding. Rasa sakit di tubuhnya sangat mendera, lalu semuanya gelap. Saat Emran terbangun, dia sudah berada di rumah sakit. Dilihatnya, Pak Harja dan istrinya berada di luar ruangan. Juga Indra, anak buah Irfan. dan ketiganya langsung masuk begitu mengetahui Emran sudah siuman. “Alhamdulillah. Nak Emran sudah sadar,” ucap Pak Harja mengucap syukur. Bu Harja dan Indra juga mengucapkan hal yang sama. “Berapa lama aku pingsan, Pak?” tanya Emran sambil mencari-cari jam dinding. “Tidak lama, Nak. Hanya tiga jam.” Akhirnya Emran menemukan jam dinding di ruangan itu, dan ternyata sudah menunjukkan pukul 11 malam. “Mas Irfan di mana?” “Di ruang sebelah, bang. Belum sadarkan diri,” jawab Indra. “Setelah aku pingsan, apa yang terjadi di lobby?” “Tidak ada, Bang. Semua orang hanya bingung melihat abang berdua bisa terlempar ke dinding. Banyak isyu beredar, mengatakan kalau ada hantu di hotel itu, yang marah dan mengganggu para tamu.” “Bagaimana orang itu, Ndra? Yang … kesurupan?” “Tiba-tiba dia sadar, Bang. Sepertinya hantu yang merasukinya pergi. Dia kembali normal. Dia sempat melihat ke arah abang berdua, sebelum pergi meninggalkan hotel.” “Jadi dia sudah pergi?” “Kelihatannya begitu, Bang. Aku gak terlalu memperhatikan, karena kaget dengan kejadian aneh yang menimpah Abang berdua. Aku fokus membawa abang berdua ke rumah sakit.” Emran mengangguk. “Tentu saja. Terima kasih, Ndra.” “Sama-sama, Bang. Sudah tugasku juga menjaga Pak Bos dan keluarganya.” Saat yang sama, pintu ruangan terbuka. Rombongan tim medis yang terdiri seorang dokter dan dua orang perawat, masuk ke ruangan untuk memeriksa kondisi Emran. Dan memastikan Emran baik-baik saja. Tidak ada luka atau pun goresan. Emran juga merasakan kalau dia baik-baik saja. hanya tubuhnya sedikit sakit saja akibat benturan ke dinding. Dan karena Emran baik-baik saja, dokter mengizinkan untuk pulang. Tetapi tentu saja Emran tidak mungkin pulang. Dia harus menunggu Irfan siuman. Menurut dokter, Irfan juga tidak mengalami luka-luka yang berarti. Hanya mengalami gegar otak ringan. Itu yang membuatnya belum sadarkan diri hingga sekarang. Rombongan tersebut keluar dari ruangan tersebut. Emran langsung melihat kondisi Irfan yang berada di sebelah ruangannya. Lalu dia menoleh ke Indra. Lalu dia menoleh ke arah Pak Harja. “Pak, bapak dan ibu kembali saja ke hotel bersama Indra. Biar aku yang menjaga Mas Irfan di sini,” katanya kemudian. Tetapi kelihatannya Pak Harja agak berkeberatan. “Tapi nak, bapak juga ingin menjaga nak Irfan. Pingin tahu kondisi nak Irfan. Pingin melihatnya siuman,” ucap pria tua itu. “Aku paham, Pak. Tetapi Bapak dan Ibu perlu beristirahat. Kalian kan baru sampai sore tadi. Besok pagi sudah harus kembali ke Bogor.” “Kami mau di sini saja sampai nak Irfan sadar, nak,” terdengar bu Harja mendukung keinginan suaminya. Emran menoleh ke Indra. “Ndra, jam berapa pesawat Pak Harja dan Ibu besok?” “Jam 10 pagi, bang.” Emran kembali menoleh ke Pak Harja dan istrinya. “Nah, Mas Irfan sudah menentukan jadwal untuk Bapak dan Ibu. Mas Irfan pasti tidak ingin merepotkan Bapak dan Ibu. Sama seperti saya, tak ingin membuat Bapak dan Ibu lelah sepanjang malam di sini. Kembalilah ke hotel bersama Indra. Beristirahatlah. Nanti kalau Mas Irfan siuman, aku akan segera menelepon Bapak dan Ibu. Aku mohon.” Meski dengan berat hati, akhirnya Pak dan Bu Harja mau juga kembali ke hotel bersama Indra. Sementara Emran langsung mencari kantin rumah sakit untuk membeli kopi karena kepalanya terasa sakit sekali. Dia juga membeli obat sakit kepala di apotik, lalu kembali ke ruangan Irfan. Di otaknya berputar-putar peristiwa yang baru terjadi tadi, saat di hotel. Indra tadi mengatakan kalau laki-laki di lobby sempat melihat mereka sebelum keluar dari hotel. Kemungkinan terbesar, laki-laki itu mengenal mereka. Dan karena Aufa sudah pergi bersama ledakannya, orang itu langsung meninggalkan hotel karena takut berurusan dengan mereka. Emran sangat menyayangkan mengapa Aufa bisa salah paham dan menyangka telah membunuh ayahnya lalu kembali meledakkan diri. Jika saja dia tidak pingsan, dia pasti sudah mengejar laki-laki tadi. Emran yakin sekali laki-laki itu pasti berhubungan dengan penculikan Melia. Itulah mengapa Aufa marah kepadanya. Kemungkinan besar, Aufa yang telah menggiring orang itu sampai ke hotel dan memaksanya untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Besar dugaan Emran, orang itu adalah salah satu dari pasangan suami istri yang menjaga rumah tempat penyekapan Melia. Ah! Sial! Emran memaki dalam hati. Kalau saja tadi dia tidak ikut pingsan, tentu saja dia bisa mengejar orang tadi dan memaksanya untuk mengaku. Sekarang, dia harus menunggu Irfan sadar terlebih dahulu baru merencanakan tindakan mereka selanjutnya harus bagaimana. Yang pasti, mereka akan mencari orang tadi, yang telah membuat Aufa murka. Badri pasti tahu siapa pasangan suami istri itu. Ponsel Emran berdering. Ternyata dari Qisya. Dan ternyata lagi, istrinya sudah meneleponnya hampir sepuluh kali semenjak dia pingsan tadi. “Assalammualaikum, sayang.” “Waalaikumsalam, Mas. Ya Allah, apa yang terjadi? Aku sudah menelepon mas berkali-kali tadi.” “Iya, sayang. Maafin Mas ya.” “Jangan bilang Mas pingsan lagi.” Emran tergelak. “Sayangnya, memang itulah yang terjadi.” Qisya menghela napas berat. “Jadi benar Mas melihat Aufa?” “Iya, sayang. Ternyata mataku tidak salah. Memang Aufa yang Mas lihat tadi.” “Hm … Aku sudah menduganya, Mas. Kalau Mas bertemu Aufa, pasti ujung-ujungnya pingsan. Jadi tadi saat Mas gak menjawab teleponku, aku berasumsi kalau mas pasti pingsan dan sekarang sedang berada di rumah sakit, kan?” Emran kembali tertawa kecil. “Iya, sayang. Entah mengapa kok jadi seperti itu ya? Aufa suka banget membuat Mas pingsan.” “Apa yang terjadi, Mas? Kenapa Mas bisa pingsan? Mana Mas Irfan?” “Panjang ceritanya, Sya. Nanti di rumah saja aku certain, ya?” “Enak saja. Cerita sekarang juga atau aku akan berangkat ke Surabaya malam ini juga!” “Eh, kok ngancemnya manis banget? Mas kan jadi senang. Nih, tiba-tiba pikiran Mas traveling kemana-mana.” Qisya gak jadi marah. Dia malah tergelak mendapatkan reaksi suaminya yang lebay. “Mas ini! gak ngerti orang lagi kesal. Lagi kuatir banget sejak jam 8 tadi.” “Baiklah, sayang. Mas akan certain garis besarnya saja ya,” ucap Emran berusaha menenangkan perasaan istrinya. “Ternyata tadi … kemungkinan besar Aufa membawa orang yang terlibat dengan penculikan mereka. Seorang laki-laki. Aku menduga, laki-laki itu yang menempati rumah tempat mba Melia disekap. Nah, Aufa sangat marah pada orang itu. Aufa meminta orang itu untuk berkata terus terang. Karena orang itu tidak mau, Aufa menyiksanya, sementara di sini, semua orang berpikir kalau orang itu kerasukan setan. “Mas Irfan juga awalnya berpikir kalau orang itu sedang kesurupan. Tetapi karena Mas bilang ada Aufa yang sedang menyksanya, Mas Irfan berpikiran yang sama denganku. Tahu-tahu, tanpa bisa kutahan, Mas Irfan mendatangi orang itu ke tengah-tengah lobby. Aufa mungkin kaget dan reflex menghempaskan kursi kea rah Mas Irfan.” “Aastagfirullah. Trus, apa yang terjadi Mas?” “Kursi itu mengenai Mas Irfan dan membuatnya terjajar menghempas dinding. Mas Irfan pingsan dan belum sadarkan diri hingga sekarang. Mas sedang menungguinnya sekarang.” “Ya, Allah. Semoga Mas Irfan cepat siumannya. Trus, gimana Aufa dan orang itu, Mas?” “Nah, itu dia yang terburuk dari semua kejadian ini. Aufa baru menyadari kalau yang dihempaskannya adalah ayahnya. Aufa merasa sangat bersalah. Dia berpikir kalau dia sudah membunuh ayahnya. Dia berpikir Mas Irfan tewas akibat perbuatannya dan dia sangat sedih. Aufa kalau sedih atau marah, dia akan berubah menjadi bola api dan meledak!” “Persis seperti kejadian yang ma salami saat di café, ya?” “Benar, sayang. Karena Aufa meledak, Mas ikut terhempas ke dinding dan pingsan. Ini Mas baru saja siuman makanya baru bisa menjawab telepon istriku tercinta.” “Jangan merayu, ih!” Qisya terkikik. Lalu suaranya kembali serius. “Kondisi Mas Irfan gimana, Mas? Apa dia terluka?” “Tidak terluka parah, sayang. Tapi menurut dokter, Mas Irfan mengalami gegar otak ringan saja.” “Aku baik-baik saja!” tiba-tiba terdengar suara lantang dari kamar IGD. Emran terkejut dan menoleh. “Alhamdulillah. Mas Irfan sudah siuman, Sayang.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD