Hod 65, Badri, Si Penculik

1086 Words
Apa yang dikatakan Irfan, ada benarnya juga. Bisa saja kedua orang tua Irfan memang benar-benar tank ingin anaknya berpacaran dengan orang dari kalangan bawah. Apa lagi sampai menikah. Dan tentunya mereka sangat tahu bagaimana sifat Irfan. Keras kepala, pembangkang, dan pasti akan berusaha keras untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Jadi bukan tak mungkin mereka juga hanya menyingkirkan Melia dari hidup anak mereka untuk selama-lamanya, kan? Emran menelan ludah, ngeri membayangkan apa yang baru saja terpikirkan olehnya. ‘Menyingkirkan untuk selama-lamanya’ itu sama saja dengan kematian. Semoga saja tidak terjadi hal seperti itu. Meski semua dugaan Irfan lebih masuk akal, tetapi tetap saja Emran berharap, kedua orang tua kakak iparnya itu bukan dalang dari hilangnya Melia. Karena betapa akan hancurnya hati dan perasaan Irfan jika ternyata memang orang tuanya yang telah membuat hidupnya tidak bahagia. Perjalanan menuju kota Sukabumi mereka capaidalam waktu satu jam, mengingat hari sudah siang dan lalu lintas sangat macat. Ditambah mereka harus berhenti untuk istirahat, sholat dan makan siang. Bahkan, Irfan tak melupakan Marlo yang diikat di dalam mobil. Dengan sebelah tangan yang diborgol di mobil, Marlo dipersilakan makan, meski laki-laki itu tampak enggan dan masih memperlihatkan wajah benci dan amarah. Ditambah dua anak buah Irfan yang selalu mengawasinya, Marlo makan dengan malas dan ogah-ogahan. Satu jam kemudian, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini mereka menuju Terminal Sukaraja, sesuai dengan informasi yang diberi Marlo. Bahwa temannya yang telah meminjam mobilnya beberapa tahun lalu, bertempat tinggal tak jauh dari terminal tersebut. begitu mencapai tempat itu, kedua mobil of the road itu berhenti. Irfan turun dan langsung masuk ke mobil anak buahnya untuk menjumpai Marlo. “Katakan, siapa yang harus kami cari?” terdengar suara Irfan dengan intonasi tegas dan tak mungkin lagi bisa dibantah. Marlo melirik dengan perasaan segan. “Namanya Badri,” ucap Marlo sembari mengingat kembali orang yang pernah menjadi kaki tangannya tersebut. “Terakhir kudengar, dia suka mangkal di terminal ini. Kerjanya … biasalah, palakin supir-supir angkot dan pedangang di sini.” “Gimana orangnya?” “Tinggi, hitam, rambut keriting. Mudah sekali mencarinya.” Irfan langsung keluar mengajak Emran dan salah satu anak buahnya untuk mencari Badri. Sementara yang seorang lagi, diminta Irfan untuk tetap di mobil menjaga Badri. “Kau punya lakban?” tanya Irfan kemudian. “Lakban?” anak buahnya berpikir sejenak. “Punya, bos. Untuk apa?” “Menutup mulutnya. Aku tahu, dia pasti berencana berteriak untuk mencari perhatian. Ini wilayah temannya. Kita kalah jumlah kalau semua orang berpikir kita menculiknya. Pastikan juga ikatan kaki dan tangannya kuat.” “Baik, Bos.” Irfan mengangguk lalu mengajak Emran dan seorang anak buahnya bergerak menuju terminal. Tepat seperti yang disampaikan oleh Marlo, di ujung terminal, ada sebuah pos tua tempat mangkal beberapa orang. Dan Irfan merasa beruntung, dari jauh lagi, dia sudah bisa melihat sosok orang yang sedang dicarinya. Ternyata Marlo memang tak perlu mendeskripsikan lebih banyak sosok Badri, temannya. Karena memang, orang itu terlihat sangat kontras di antara semua orang yang berada di pos jaga tersebut. Badri memang sosok yang lumayan tinggi dan besar. Kulitnya hitam legam dan rambut keritingnya tampak kembang memenuhi kepala. “Badri!” panggil Irfan tanpa rasa takut sedikit pun, meski jelas-jelas di pos itu pastilah semua orang adalah teman Badri yang pasti akan membelanya kalau ada yang terjadi. Suara panggilan Irfan yang lantang, membuat beberapa orang yang berada di pos jaga itu menghentikan obrolan dan menoleh ke arah suara yang memanggil. Termasuk Badri, yang duduk santai mengangkat kaki sambil mengisap rokok. Semua orang melihat rombongan Irfan datang dan langsung berdiri dengan sikap curiga. “Polisi! Kami hanya perlu dengan saudara Badri. Yang lain, silakan meninggalkan tempat ini!” tiba-tiba anak buah Irfan berkata sambil mengeluarkan dompetnya yang berisi lencana. Semua orang yang ada di bangunan tua itu langsung menghindar, memilih menjauhi masalah. Terlebih terhadap polisi. Emran agak terkejut. Ternyata anak buah yang dibawa Irfan adalah polisi. Pantas saja Irfan sama sekali tidak takut walau ke mana pun pergi. Dan demi melihat semua orang bergerak meninggalkan pos jaga tersebut, Badri ikutan berdiri dan hendak kabur. Sontak anak buah Irfan yang ternyata seorang polisi itu melompat menghadang Badri. Meski tampaknya Badri lebih tinggi dan besar, namun Emran bisa melihat polisi itu lebih garang dan kuat. Sekali hentak, Badri langsung terjungkal jatuh ke lantai. Badri berteriak kesakitan saat tubuhnya membentur lantai. Terutama bagian bokongnya. “Tunggu! Kenapa kalian ingin menangkapku? Memangnya aku salah apa?” teriaknya memberontak dari cengkraman si Polisi. “Menculik, menyekap, dan bahkan menghilangkan nyawa orang lain!” jawab Irfan cepat. “Men … menculik?” Badri tampak bingung. “Aku menculik siapa? Kapan? Kalian pasti salah orang!” Irfan mencengkram bahu Badri dengan kuat. “Melia Harja!” Badri menatap Irfan dengan pandangan kaget. Warna mukanya tiba-tiba memucat. “Kau sudah mengingatnya, kan?” desis Irfan kembali mencengkram bahu Badri. Laki-laki berkulit legam itu berteriak kesakitan. “Katakan dimana Melia atau kulempar kau ke penjara!” “Aku tidak ingat! Aku tidak tahu!” teriak Badri mencoba mengundang perhatian orang-orang di terminal. Buru-buru anak buah Irfan membekap mulutnya. “Den! Kau bawa pistol Marlo, kan? Tembak saja lututnya. Biar lumpuh sekalian!” “Mar … Marlo?” Badri kembali terkejut mendengar nama itu. Pupus sudah harapannya untuk kabur atau melepaskan diri dengan alasan tak tahu atau tidak ingat. Karena Marlo adalah kunci. Jika polisi sudah menangkap Marlo, tentu saja semua kaki tangannya akan ditangkap. Tidak akan ada jalan keluar lagi selain mengaku. “Melia! Marlo! Itu nama-nama yang tidak bisa kau lupakan, kan?” tebak Irfan cepat. “Kau tidak bisa mengelak lagi karena Marlo sendiri yang mengatakan kau menculik Melia. Sekarang, katakan di mana dia atau aku sendiri yang akan menembak dengkulmu!” Badri gemetar. Keringatnya mengalir membasahi sekujur tubuhnya. Sudah lama sekali dia berusaha melupakan kejahatannya yang terparah. Tetapi bisa bisanya Marlo membongkar kembali peristiwa itu dan membuatnya mati kutu. “Tampaknya dia tidak mau menjawab. Tembak dengkulnya, Den!” Denni mengeluarkan pistol Marlo dan langsung mengarahkannya ke kaki Badri. Laki-laki itu langsung menciut ketakutan. “Kau tidak bisa asal menembakku saja. Kau polisi!” teriak Badri dengan keringat dingin mengucur di mukanya. “Aku bisa saja menembak siapa pun. Aku polisi gadungan!” Mulut Badri menganga. “Tembak, Den!” seru Irfan. “Tunggu! Jangan tembak! Jangan tembak!” teriak Badri ketakutan. “Iya! Iya! Aku yang menculik Melia! Aku mengaku, tapi tolong! Jangan tembak aku! Aku masih butuh kakiku. Aku masih punya anak dan istri yang harus kuhidupi. Tolong!” “Bawa dia ke mobil, Den!” perintah Irfan sambil melangkah pergi. “Ayo, Em!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD