Hod 66, Kebrutalan Irfan

1131 Words
Sepanjang perjalanan menuju mobil, banyak orang-orang di terminal yang melihat rombongan tersebut. Namun anehnya, tidak banyak reaksi berlebih seolah digiringnya Badri dengan tangan diborgol, adalah hal biasa yang mereka lihat. Besar kemungkinan, Badri memang sudah sering ditangkap polisi, hingga mereka melihatnya biasa-biasa aja. “Tidak ada yang kelihatan heran melihatmu ditangkap seperti ini,” gumam Irfan membuat Badri mendengkus kesal. Tetapi lelaki itu tak dapat berkata-kata, mengingat yang menangkapnya kali ini bukanlah polisi yang harus menjaga sikap di depan orang banyak demi menjaga nama baik departemen mereka. Badri merasa apes banget nasibnya belakangan ini. Barusan dia kalah judi tiga hari berturut-turut. Sebelumnya, dia melihat istrinya selingkuh dengan laki-laki lain yang tak lain adalah teman satu gengnya sendiri. Mestinya, dia yang ketahuan selingkuh. Karena selama ini, dia memang selalu curang dalam memperlakukan istrinya. Uangnya lebih banyak dihabiskannya dalam berjudi dan bersenang-senang dengan perempuan lain. Istri dan anaknya di rumah, sama sekali tidak menjadi prioritas di dalam hidupnya. Ditambah dia juga tidak punya pekerjaan tetap selain menarik upah liar secara paksa dari para pedagang dan supir-supir angkot, uang tak seberapa yang didapatnya, memang lebih nikmat dihabisin untuk bersenang-senang di meja judi atau bermalam dengan perempuan cantik. Namun nasib apesnya ternyata belum berakhir. Sudah lama juga dia tidak ditangkap polisi karena selama ini dia main aman dan hati-hati. Mungkin ada beberapa bulan terakhir ini hidupnya lumayan tenang. Tetapi entah setan mana yang membawa rombongan yang tak pernah disangka-sangkanya ini datang dan langsung membuatnya tak berkutik. Biasanya, kalau polisi yang datang, beberapa hari sebelumnya, pasti ada saja kaki tangannya yang menyampaikan kabar tersebut. Dengan begitu, dia bisa bersembunyi di suatu tempat dan tidak keluar sampai keadaan benar-benar aman. Kadang kala, dia juga harus melarikan diri ke luar kota demi menghindari penangkapan. Namun kali ini, tidak ada seorang pun yang mengabarkan padanya kalau ada orang-orang dari Jakarta yang datang mencarinya. Tidak tanggung-tnaggung, mereka mencarinya atas apa yang pernah dilakukannya di masa lalu. “Masuk!” Irfan mendorong Badri masuk ke mobil anak buahnya yang terparkir di tepi jalan. Badri masuk dan terkejut melihat Marlo berada di dalam dengan kaki dan tangan terikat sementara mulutnya dilakban. Hanya kedua bola mata Marlo yang bergerak-gerak menandakan ketidakberdayaan mereka saat ini. “Marlo! Jadi kau penghianatnya!” seru Badri marah. Dia bergerak maju lebih cepat, seolah hendak menerkam Marlo. Denni langsung mencengkramnya. “Diam kau Badri!” Denni dan seorang temannya yang berada di dalam mobil untuk menjaga Marlo, langsung medudukkan Badri dan mengikat kakinya, sama seperti yang telah mereka lakukannya kepada Marlo. “Dia penghianat! Kau penculik! Apa bedanya kalian?” bentak Irfan. Lalu dia menoleh ke Emran. “Em, kau bawa mobilku dan ikuti kami. Aku harus berada di sini untuk menghajar kedua orang ini.” “Baik, Mas,” Emran menerima kunci mobil dan berlalu. Sementara itu, Irfan langsung memberi aba-aba kepada kedua anak buahnya untuk bergerak. “Baik! Sekarang katakan, kau yang menculik Melia Harja, kan?” Irfan bertanya dengan membentak, demi memberi efek keras pada Badri. “Melia? Aku … aku tidak kenal ….” Irfan langsung mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan foto Melia tepat ke depan muka Badri. Lelaki berkulit hitam legam itu tampak tersentak kaget. Tadi, saat dia pos jaga, Irfan juga sudah menyebutkan nama Melia. Tetapi karena ada begitu banyak kejahatan yang telah dilakukannya selama hidupnya, membuatnya tidak ingat satu persatu nama orang-orang yang sudah disakitinya. Dan lagi pula, dia hanya pesuruh. Dia melakukan apa yang diperintahkan lalu saat pekerjaannya selesai, dia pun dibayar. Jadi tidak ada gunanya juga dia menyimpan nama-nama atau mengingat satu persatu orang-orang itu. Namun foto yang ditunjukkan Irfan, sontak membuatnya tak tenang. Dan sebenarnya, sudah hampir tiga tahun ini dia merasa terganggu dan tidak tenang. Dan hal itu disebabkan oleh orang yang di dalam foto itu. Melia Harja! Badri yang mestinya melupakan saja apa yang telah dilakukannya, tetapi kali ini tidak bisa. “Ayo katakan dimana Melia, B4ngs4t!” Irfan mendesak Badri dengan sentakan tangannya pada kepala Badri yang dihiasi oleh rambut keriting tak terurus. Badri tersandar ke jok mobil. “Aku tidak tahu, Bang! aku benar-benar tidak tahu ….” Irfan sudah tak sabar lagi. Dia memberi bogem mentahnya langsung ke perut Badri, membuat lelaki itu mengaduh kesakitan. “Den, berikan pistol Marlo padaku. Mungkin si bedeba4h ini sudah lama tidak merasakan timah panas.” Denni langsung memberikan pistol Marlo yang mereka sita sebelumnya saat mereka meringkus Marlo. Melihat senjata kecil namun mematikan itu, keringat dingin berkeluaran membasahi muka Badri. “Aku serius, bang. Aku tidak tahu dimana gadis itu. Aku hanya diperintah menculiknya saja,” rengek Badri dengan perasaan kecut. “Siapa yang menyuruhmu?” “Dia! Siapa lagi?” Badri menoleh ke arah Marlo. Mendengar itu, mata Marlo melotot besar. Irfan langsung melepas lakban yang menempel di mulut Marlo dengan gerakan cepat, membuat laki-laki itu mengaduh karena kumis dan bulu-bulu di sekitar mulutnya tercabut. “Kau bilang kau tidak terlibat, b4ngs4t!” Irfan menggeprak kepala Marlo dengan gagang pistol. Sontak Marlo melolong kesakitan. Darah segar keluar dari pelipisnya. “Oke! Oke! Aku juga diperintah oleh ayahmu! Jadi sebenarnya dalang penculikan ini adalah ayahmu! Ayahmu yang seorang b4ngs4t!” maki Marlo marah. Dia ingin sekali melepaskan tangannya dari borgolnya untuk berbalik menghajar Irfan. Sayangnya, saat ini dia dalam kondisi benar-benar tak berdaya. Lagi pula, jika pun dia bisa melepaskan diri, anak laki-laki mantan bos nya itu masih punya 3 orang anak buah yang siap menghadapinya. Irfan kembali memukul kepala Marlo, meski kali ini tidak terlalu keras. Itu juga karena telah memaki ayahnya. Bagi Irfan, hanya dia yang boleh mencaci maki ayahnya. “Kau boleh memaki ayahku, tapi dibelakangku!” bentak Irfan marah. “Sekarang, katakan dimana Melia. Dan jangan bertele-tele! Aku sudah kehabisan kesabaran menghadapi kalian berdua. Jadi tolong jangan membuatku terpaksa membuat kalian kehilangan kaki kalian!” “Baiklah,” akhirnya Marlo menghela napas kekalahannya. “Aku mendapat perintah untuk menculik Melia. Tetapi Badri yang turun ke lapangan. Dia yang tahu di mana Melia disekap.” “Dimana?” “Di … di ….” “Dimana?” “Ru … rumah itu sudah terbakar ….” Irfan menghajar Badri berulang kali sampai berdarah-darah. Denni terpaksa menahan Irfan sebelum satu-satunya orang yang tahu dimana alamat Melia disekap, tewas. “Bos, biarkan dia hidup. Dan fokus pada Melia.” Irfan menghentikan kebrutalannya dan menggosok buku-buku tangannya yang penuh darah dengan sapu tangannya. “Katakan dimana Melia kau sekap!” Badri yang sudah tak berdaya, mengangguk lemah. Darah segar mengalir di hampir seluruh wajahnya. Irfan sangat membabi buta menghajarnya meski pun mereka berada di dalam mobil. Meski selama ini hidupnya sama sekali tak bermanfaat dan hanya melakukan banyak kemaksiatan serta kejahatan, namun Badri masih ingin hidup dan panjang umur. Masih banyak yang ingin dilakukannya. Dia masih ingin bersenang-senang. Dia tidak mau mati konyol hanya karena menyimpan rahasia yang sudah tak bernilai lagi. “Perumahan Bunga Sari.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD