Hod 9, Kecelakaan Berunsur Pidana

1127 Words
Atas ultimatum Hartono, tidak ada yang boleh main hakim sendiri. Mereka semua sudah tahu kalau kecelakaan yang dialami Emran bukanlah kecelakaan murni. Ada seseorang atau lebih yang sengaja mencelakai Emran dengan tujuan ... kemungkinan besar ... membunuhnya! Namun Hartono menegaskan hanya polisi yang boleh menyelidiki kasus itu. Selain itu memang sudah menjadi tugas polisi, Hartono tak ingin melihat-anaknya kembali celaka. "Apa kalian paham?" Tanya Hartono tegas. Tampaknya para lelaki muda di ruangan itu mengeluarkan desisan kesal. Namun mereka tak akan membantah. Hartono adalah mertua Emran. Dan orang tua pengganti bagi Irfan semenjak kedua orang tuannya yang sudah berpulang saat dia masih kecil. Akhirnya Irfan mengundurkan diri setelah ponselnya kembali berdering. Cafenya benar-benar membutuhkannya saat ini. Tak lama, usai bertukar obrolan beberapa saat, kedua orang tua Qisya juga akhirnya kembali pulang ke rumah. "Seperti biasa, masakan ibu mertua memang tak ada duanya," puji Emran saat Qisya menyuapkannya makanan. Meski cidera di lengan Emran sudah sembuh total, namun pria itu tampak sangat ingin istrinya menyuapkannya makan. Qisya dengan senang hati melakukannya. Karena dia juga sangat rindu akan kebersamaan mereka selama Emran koma. "Masakan ibu memang paling enak sedunia," Qisya membenarkan pujian Emran. Memang, ibunya sangat pintar memasak. Tak heran, restoran yang dibangun oleh keluarganya sudah berkembang beberapa cabang dengan menu andalan yang ditulis oleh ibunya sendiri. "Mas, ada yang harus kusampaikan," ucap Qisya setelah acara makan usai. "Katakan saja, Sayang. Kau tahu kau selalu boleh mengatakan apa pun tanpa harus meminta izin terlebih dahulu." "Aku menghubungi keluarga di Singapura." Emran diam sejenak. Memandang Qisya, mencoba mencari penjelasan lebih lanjut. Tapi tentu saja itu tak perlu. Karena sejak lama juga dia sudah tahu bagaimana kelanjutannya. "Kau pasti kembali kecewa dengan jawaban keluargaku, kan?" Qisya membalas pandangan suaminya. "Mereka tidak menjawab apa pun. Hanya, mengirim uang yang banyak." Emran tergelak. "Keluargaku memang kaya raya." Qisya menggeleng. "Maafkan aku, Mas. Aku hanya berpikir, mungkin mereka mengirim siapa gitu untuk melihat keadaanmu sebentar saja." "Sayangku. Kau mengenalku sudah sejak lama dan masih belum percaya dengan semua yang kukatakan tentang keluargaku, kan?" "Mungkin aku hanya berharap terlalu banyak ya, Mas?" Emran meraih tangan istrinya dan menggenggam dengan erat. "Gakpapa Sayang, untuk berharap banyak. Siapa tahu suatu hari harapan menjadi nyata?" "Mas sedang menyakinkan diri sendiri?" Emran kembali tergelak. "Sudahlah. Lupakan tentang itu. Aku tak ingin merusak hari indah ini. Saat aku bisa kembali melihat wajah istriku. Tak ada lagi yang lebih bagus dari itu." "Ih, gombal!" * Sambil menunggu hasil tes mata kirinya keluar, ditemani Qisya, Emran melakukan latihan berjalan. Ada pergeseran pada sendi lutut kaki sebelah kanan Emran. Dia harus berlatih keras dan kontinyu agar dapat berjalan dengan normal kembali. "Mas masih ingat gak dengan apa yang dikatakan oleh Kak Irfan tadi malam perihal laki-laki yang mengamuk di cafe?" Tiba-tiba Qisya bertanya, saat mereka duduk di bangku taman, usai Emran latihan. "Iya. Kenapa Sya?" "Jika apa yang dikatakannya benar, bahwa pria yang mengamuk itu ditahan polisi malam itu, artinya orang yang mencelakai Mas bukan dia. Dan orang itu masih berkeliaran bebas." "Aku kan sudah mengatakan bahwa mungkin saja bukan dia pelakunya. Tapi dia membayar orang lain untuk melakukannya." "Oke. Jika ternyata pria itu tidak sepanjang itu akalnya untuk membalas dendam?" "Kamu gak percaya denganku, Sya?" "Aku percaya pada Mas. Hanya saja, aku ingin membuka pikiran Mas lebih dalam. Siapa tahu, ada orang lain yang bisa saja melakukannya, mas." Qisya menghela napas dalam-dalam. Menatap mata suaminya dengan seksama. Hanya mata kanan yang terlihat kembali menatapnya, meski masih ada bekas luka di atas kelopak matanya. "Mas kan orang baru di cafe. Tidak punya pengalaman di bidang pengamanan namun langsung diberi jabatan sebagai kepala sekuriti. Bukankah itu dapat menjadi alasan orang ingin mencelakai Mas?" Emran menggeleng. "Entahlah, Sya. Mas lihat mereka semua baik-baik saja. Hubungan Mas dengan anak buah Mas, atau dengan anak-anak cafe, normal-normal saja." "Terkadang, apa yang terlihat baik dan normal-normal saja, di belakang ternyata menyimpan dendam, Mas. Pasti ada yang tidak menyukai Mas, entah karena alasan apa." "Entahlah, Sayang. Mungkin juga. Tapi Mas benar-benar tidak tahu siapa yang diam-diam membenci Mas. Selama 6 bulan bekerja di Millenial, Mas sudah berusaha bekerja dengan baik dan berusaha menghindari masalah." "Mulai sekarang, Mas harus lebih hati-hati. Aku tidak akan sanggup jika Mas kenapa-kenapa lagi. Cukup sekali jantungku terasa sakit banget melihat Mas terbaring tak berdaya selama sebulan penuh. Tolong jangan lagi!" Emran menggenggam tangan istrinya. "Mas janji, akan lebih berhati-hati. Terima kasih Sayang, sudah mengurusku. Kau pasti sangat lelah lahir dan bathin. Belum lagi perasaan kuatir yang harus kau rasakan." "Aku istrimu, mas. Sudah keharusan buatku untuk menjagamu. Memang iya, aku merasa capek luar biasa. Tapi masa aku membiarkanmu begitu saja?" "Kau memang istri yang hebat, Sya." "Makasih, Mas." Waktu seakan berhenti sesaat ketika mereka saling tatap. Angin berhembus lembut, menambah intens perasaan kedua sejoli itu dalam bertukar emosi melalui mata. Hingga derap langkah yang datang mendekat, membuyarkan momen langka tersebut. "Itu polisi yang memegang kasus kecelakaan Mas. Tadi pagi dia sudah menelepon dan aku mempersilakannya datang. Aku belum sempat mengatakannya pada Mas," gumam Qisya cepat. "Tidak apa, Sayang. Aku juga sudah tak sabar untuk mengetahui apa yang sebenarnya sudah terjadi." Iptu Haris tampak tersenyum lebar saat melangkah mendekat. "Maaf kalau sudah mengganggu. Aku tadi ke kamar. Namun perawat mengatakan kalau pasien sudah siuman. Saya Iptu Haris Gunandar dari polsek Kota," pria yang baru datang langsung mengulurkan tangan untuk bersalaman. Emran menyambutnya dan mereka bersalaman dengan hangat. "Emran Danial." Iptu Haris duduk tak jauh dari Emran dan Qisya. "Bagaimana kabarnya, Pak? Saya harap baik-baik saja." "Alhamdulillah, masih dalam lindungan Allah," jawab Emran sekenanya. Lalu tangannya terangkat menyentuh kain perban yang masih terpasang menutupi mata kirinya. "Hanya menunggu hasil tes mata ini saja dalam beberapa hari ini." "Syukurlah," Haris mengangguk. "Saya datang untuk mengabarkan hasil penyidikan kami sehubungan kecelakaan yang anda alami. Karena anda memang berhak untuk mengetahuinya. Dan mungkin nanti akan mengajukan beberapa pertanyaan juga." "Oh, silakan, Pak. Saya sudah tidak sabar dengan hasilnya. Apakah orang yang mencelakai saya sudah ditangkap!" Iptu Haris mengangguk seraya mengeluarkan note book kecil dan ballpoint dari saku jaketnya. "Saat kecelakaan terjadi, kami telah berusaha secepat mungkin memberi tahu unit-unit di lapangan untuk melakukan pengejaran, pencegatan dan penangkapan untuk mengetahui apakah kecelakaan itu merupakan tabrak lari atau disengaja. Dan selama sebulan anda tak sadarkan diri, kami juga mencari dan mengumpulkan keterangan dari Saksi-saksi yang mengaku melihat kejadian. Sayangnya, mereka yang awalnya mengatakan kalau melihat kejadian, malah mengubah kesaksian." Emran dan Qisya memandang heran. "Kenapa bisa begitu ya Pak?" Tanya Qisya tak sabar. "Itu saya juga tak mengerti. Tapi kasus ini masih bisa diselidiki dengan mengumpulkan bukti-bukti lainnya. Penelitian bukti-bukti yang didapat di TKP yang meliputi bekas-bekas terjadinya kecelakaan, sudah kami lakukan." "Bagaimana dengan rekaman Cctv, Pak. Jangan bilang kalau di sana tidak terpasang Cctv," Qisya tampak kesal. "Dengan sangat menyesal, saya harus sampaikan Cctv di sana ternyata sudah lama rusak." *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD