Hod 18, Mendatangi TKP

1546 Words
Tidak ada yang terjadi selama Emran dan Qisya berada di rumah Bu Maryanti. Acara tujuh hari Nek Rima meninggal dunia berjalan dengan lancar. Memang, ternyata tamu yang datang ke rumah tetangga mereka tersebut lumayan banyak. Semua keluarga dari kampung halaman datang bermobil-mobil. Bisa dilihat kalau Nek Rima adalah orang yang sangat baik semasa hidup. Jadi banyak yang merasa kehilangan saat beliau meninggal dunia. Jadi begitulah jika orang baik meninggal dunia. Kebaikan-kebaikannya terangkat ke atas dan menjadi kenangan indah yang dibicarakan semua orang selama-lamanya. Orang-orang pasti takkan melupakannya. Pulang ke rumah, Emran melihat Zidan sudah ditidurkan di kamar oleh mertuanya. Kedua pasangan tua itu sudah bersiap-siap untuk kembali ke rumah mereka, yang sebenarnya tidak terlalu jauh. Namun mereka akan berkunjung terlebih dahulu ke rumah sebelah. Qisya sudah mengatakan kalau mereka semua akan datang. Karena dia dan Emran sudah ke sana, kini giliran Hartono dan Sukma yang datang ke rumah Bu Mar. Mereka ternyata tidak lama berada di sana. Tidak sampai tiga puluh menit, keduanya sudah kembali ke rumah Qisya. Lalu bersiap untuk pulang ke rumah mereka sendiri. “Aku akan mengantarkan Papa dan Mama pulang, Mas,” terdengar Qisya yang sudah mengganti baju gamisnya dengan pakaian kasual. Stelan blus dan celana jeans. Memperlihatkan lekuk tubuh Qisya yang sangat menarik minat Emran. Qisya memang selalu cantik di mata Emran. Meski istrinya itu sering bilang kalau dirinya mulai gemuk, tapi di mata Emran, tidak ada perubahan sama sekali. Qisya masih tetap terlihat bagai gadis muda, seperti pertama kali Emran melihatnya. Pria itu langsung memeluk istrinya dengan erat. “Biar aku saja yang mengantar mertuaku pulang, ya, Sayang.” Bisiknya dengan suara menggoda. Diciumnya rambut istrinya dengan mesra. Aroma bunga dan buah segar menguat dari helai-helai lembut nan panjang itu. Sungguh menggoda iman. Terlebih Emran merasa seperti sudah lama sekali tidak berdekatan dengan istrinya. Padahal baru tadi malam dia menuntaskan rasa rindunya usai kecelakaan yang menimpanya. Qisya tertawa. “Mau bilang itu aja kok sepeti mau minta jatah preman sih, Mas.” “Yah … sapa tahu ternyata boleh ….” "Serius, Mas! Bukannya tadi malam Mas sudah berkali-kali?" "Seolah hanya Mas yang ingin berkali-kali ...." Wajah Qisya memerah karena malu. “Ayolah Mas, Papa dan Mama sudah menunggu dengan resah di bawah." Kali ini Emran yang tertawa. “Tapi beneran kan Mas, emang gak apa-apa Mas yang anterin Papa dan Mama?” “Memangnya kenapa?” “Mas kan baru aja sembuh.” “Aku sudah lama sembuh. Hanya saja aku baru bangun.” “Sama saja, Mas,” gerutu Qisya mencubit lengan suaminya. “Bagaimana kalau Mas lupa jalan pulang atau ….” “Hei …,” Emran mencubit ujung hidung istrinya. “Kemarin itu Mas hanya kehilangan kesadaran saja. bukan kehilangan ingatan.” “Mas gak trauma, kan?” “Maksudnya akan kejang-kejang begitu melihat truk di tengah jalan?” Qisya manyun. Emran tertawa. Lalu mencium pipi istrinya dengan gemas. “Tidak ada yang berubah dariku, Sayang. Kamu kan sudah membuktikannya tadi malam.” “Iiissh!” wajah Qisya mendadak memerah. “Mas ini gak paham ya, kalo aku menghawatirkanmu?” “Aku ngerti kok,” Emran menyeringai. Dia mengambil kunci kontak mobil dari tangan istrinya. “Aku dapat merasakan kau pasti sangat lelah lahir dan bathin, Sayang. Meski kau pasti akan mengatakan sudah kewajibanmu mengurus suami, tetapi aku tak mau mengambil resiko kalau kau nanti jatuh sakit. Jadi selagi kau masih cuti, beristirahatlah. Main sama Zidan. Rencanakan shoping dan makan di luar, ya?” Qisya tersenyum manis. “Siap, Bos! Aku juga sudah janji sama Zidan untuk membawanya main ke pantai. Kita akan ke Pantai sebelum Mas masuk kerja. Bagaimana?" "Bagus Sayang. Aku juga kangen bersantai dengan keluargaku." "Apa kita gathering aja bersama dengan yang lainnya?" Emran mengangguk. "Setuju. Atur aja waktunya," Diciumnya kening istrinya sesaat, lalu turun menjumpai mertuanya yang sudah menunggu. “Serius kamu yang nganterin kami, Em?” tanya Sukma begitu melihat Emran turun dan langsung menyeret koper mereka. "Serius dong, Ma," jawab Emran pasti. "Tenang saja. Insyaallah tidak akan terjadi apa-apa." "Aku percaya kau sudah cukup sehat, Em. Dan sudah dapat beraktifitas seperti biasa," ucap Hartono menepuk-nepuk pundak menantunya. "Ayolah, sepertinya hari sudah mau hujan." "Hati-hati di jalan, Mas," teriak Qisya usai mencium tangan kedua orang tuanya. "Makasih banyak ya Pa, Ma. Kalian sudah banyak banget membantuku menjaga Zidan." "Ah, gak usah dipikirkan, Sya. Kau anak kami. Zidan cucu kami. Sudah seharusnya kami membantumu," ucap Sukma. "Baik-baik di rumah, ya, Sya. Kalau ada apa-apa, langsung saja hubungi kami. Kami adalah pasangan pengangguran yang siap sedia membantu!" Hartono tertawa dengan candanya sendiri. "Pasti, Pa." Qisya memeluk kedua orang tuanya, lalu mengantarkan sampai ke mobil. /// Usai memastikan kedua Mertuanya selamat sampai di rumah, ternyata Emran harus menemani Hartono minum kopi dulu sambil mengobrol ngalor ngidul di teras depan. Bunga-bunga di halaman rumah mertuanya tampak tertata rapi dan semuanya bermekaran. Meski hanya tinggal berdua saja, Hartono dan Sukma sangat suka menyibukkan diri melakukan apa saja yang mampu membuat mereka bahagia. Berkegiatan membuat pikiran mereka tidak menganggur. Dan itu mampu menghindarkan mereka dari kepikunan. Seperti itulah prinsip kedua pasangan suami istri yang tampak selalu akur tersebut. Berkebun di halaman depan rumah, berternak ikan di belakang rumah, bersepeda bersama, mengunjungi anak-anak dan saudara, bahkan keduanya ikut kursus dansa dan merangkai bunga. "Semua itu biar gak cepat pikun, Em. Kau juga nanti ikutin jejak kami. Lakukan aktifitas apa saja. Jangan biarkan otakmu menganggur. Biar berumur panjang tetapi tetap sehat wali Afiat." "Iya, Pa. Aku dan Qisya pasti akan mengikuti jejak Papa dan Mama." "Bagus itu." Acara minum kopi selesai. Emran mengundurkan diri. Namun dia tak langsung pulang. Dia melanjutkan perjalanan ke suatu tempat yang sudah lama sekali ingin didatanginya. Tempatnya mengalami kecelakaan tempo hari! Sejak siuman dan usai operasi pencangkokan mata, belum sekalipun Emran sempat mendatangi tempat ini. Makanya saat sekarang dia punya kesempatan, dimanfaatkan oleh Emran untuk datang dan berusaha mengingat-ingat kejadian yang menimpanya. Sebenarnya, lokasi tempatnya mengalami kecelakaan biasa saja. Hanya yang benar-benar mengesalkan adalah, tidak ada Cctv di sekitarnya. Meski ada beberapa tiang listrik, namun entah mengapa tidak dipasang Cctv di sana. Apakah karena tempat itu sebenarnya aman-aman saja? Emran melihat ke bawah. Ke jurang tempatnya terjatuh. Ternyata tidak begitu dalam. Hanya saja, karena dia ditabrak dari belakang oleh sebuah truk, maka dia terpental cukup jauh. Dan kejadian itu sangat melekat di ingatan Emran. Dia juga tak berniat melupakan kenangan buruk tersebut sebelum pelaku tabrak lari yang dialaminya, ditangkap polisi. "Pak Emran Denial?" Terdengar suara seseorang menyapa dari belakang. Emran menoleh. Dilihatnya seorang pria melangkah mendekatinya. Emran mengenalnya. Itu inspektur dari kepolisian yang menangani kasus kecelakaannya. "Iptu Haris!" Kedua pria itu bersalaman dan saling bertanya kabar. Tak lama, mereka berdua tampak sedang duduk di sebuah warung kopi, tak jauh dari lokasi kecelakaan Emran. "Aku sedang mengundang semua ingatanku saat tabrak lari itu terjadi," ujar Emran saat petugas polisi yang duduk di seberang meja, bertanya tentang keperluannya ke lokasi kecelakaannya. "Aku ingin mengingat apa saja, yang mungkin dapat membantu menemukan pelakunya." “Dan bagaimana? Apakah ada hal baru yang anda ingat?” “Belum, Pak. Tapi suatu saat, pasti ada yang kuingat.” Iptu Haris mengangguk-angguk. "Jangan terlalu memaksakan diri, Pak. Kepala anda baru sembuh dari cidera." Emran menghela napas. "Aku tahu, Pak. Aku hanya merasa sangat tidak nyaman usai kesembuhan ini." "Maksudnya bagaimana? Anda jadi sering sakit kepala?" "Bukan. Lebih buruk dari itu." "Dan apakah itu?" Emran diam. Dia berpikir apakah harus menceritakan kondisinya saat ini kepada polisi di hadapannya atau tidak. Dan jika pilihannya adalah 'iya', maka besar kemungkinan dia akan ditertawai. Ingat saja, yang sedang bicara dengannya adalah polisi. Polisi adalah orang terakhir yang mau percaya pada hal-hal gaib. "Aku tak bisa mengatakannya." "Kenapa begitu?" "Karena tidak berhubungan sama sekali dengan kasus ini." "Benarkah?" Emran angkat bahu. "Ini bukan tentang siapa pelaku penabrak ku. Ini hal berbeda." "Dan terjadi setelah kecelakaan itu?" "Kemungkinan besar, iya," Emran mengangguk. "Aku harus memastikannya terlebih dahulu. Agar aku mengerti apakah aku bisa mengatakannya kepada anda, Pak." Iptu Haris mengangguk meski di wajahnya tampak kekecewaan. "Jika tidak mengarah ke penabrak anda, tidak apa-apa jika anda menundanya memberitahu kepada saya. Tetapi satu hal yang harus anda ingat, Pak. Jika anda mulai mengingat sesuatu … apa pun itu, segeralah beritahu saya. Biar pelaku tabrak lari anda segera kita tangkap." Emran mengangguk. "Baik, Pak. Lantas, bagaimana dengan penyelidikan anda, Pak? Apakah ada kemajuan?" Seperti yang sudah diduga oleh Emran. Inspektur polisi itu hanya menjawab dengan helaan napas panjang. "Bagaimana mungkin truk sebesar itu bisa menghilang begitu saja, Pak?" Tanya Emran agak kesal. "Jika disembunyikan, bagaimana cara orang itu menyembunyikannya? Dan di mana?" "Itulah yang sedang kami selidiki. Kemungkinan besar, mereka menyembunyikannya dengan cara membongkarnya menjadi bagian-bagian kecil. Dengan demikian, akan sulit dilacak. Terlebih jika bagian-bagian tersebut dijual. Letaknya bisa ada di mana saja," jelas Iptu Haris membuat bahu Emran melemah. "Jika benar hal itu yang terjadi, bagaimana pelakunya bisa tertangkap?" "Bapak bersabar saja. Tidak ada kejahatan yang sempurna. Tidak ada kejahatan yang tidak memiliki kelemahan." Emran mengangguk. Tiba-tiba semangatnya kembali membara. Benar sekali. Tidak ada kejahatan yang sempurna. Artinya, tiap-tiap kejahatan, pasti akan terbongkar meski telah ditutupi dengan sekuat tenaga. Emran juga berjanji kepada dirinya sendiri. Dia akan tetap mencari tahu dan menyelidiki siapa sebenarnya yang telah berupaya mencelakainya. Awas saja kalau orang itu ditemukan. Emran tidak akan segan-segan memberinya bogem mentah, meski dihadapan polisi sekalipun. ###
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD