Iptu Haris Gunandar datang keesokan harinya, sesuai janjinya. Polisi bertubuh tinggi itu membawa tas kerja hitam, langkahnya tegap, tapi sorot matanya menunjukkan kelelahan. Ia mengabarkan bahwa mereka masih belum menemukan truk ringan yang mencelakai Emran.
“Kami sudah menyisir jalur-jalur alternatif. Bahkan memeriksa CCTV dari toko-toko terdekat, tapi tak ada satu pun yang menampilkan kendaraan mencurigakan,” jelas Haris sambil membuka map.
Beberapa saksi mata akhirnya mengaku melihat kejadian kejar-kejaran antara sepeda motor dan sebuah truk. Namun, mereka tak bisa memastikan jenis maupun warna truk tersebut karena semuanya terjadi begitu cepat, nyaris seperti bayangan yang lewat dalam sekejap.
Kesimpulannya, meski sudah jelas kecelakaan itu mengandung unsur pidana—berdasarkan kesaksian Emran dan beberapa orang lainnya—pelakunya belum berhasil diidentifikasi. Jejak truk itu hilang beberapa kilometer dari tempat kejadian perkara. Seolah truk itu menelan dirinya sendiri dan menghilang dari permukaan bumi.
"Bagaimana dengan tamu kafe yang mengamuk sebelum kecelakaan itu?" tanya Emran, nada suaranya tajam, belum puas dengan penjelasan Haris.
"Oh, Andri Hermanto. Saat itu dia sedang berada di rumah tahanan. Anda pasti tahu itu."
"Iya. Tapi, bisa saja dia menyuruh orang lain, kan?"
"Kami sudah menyelidiki semua orang terdekatnya. Tidak ada satu pun yang terhubung dengan kecelakaan ini," jawab Haris, nada suaranya mulai terdengar enggan, seakan sudah sering mengulang jawaban itu.
Polisi bahkan telah memeriksa semua orang yang pernah bersinggungan dengan Emran—dari pengunjung kafe, rekan kerja, hingga keluarga dekat. Hasilnya nihil. Haris mengaku mengalami kebuntuan. Penyelidikan yang sudah berlangsung selama sebulan lebih, sejak Emran koma, tak juga membawa titik terang.
“Sejujurnya, ini jadi salah satu kasus paling bikin frustasi yang pernah saya tangani,” gumam Haris, sambil menutup map. “Semua jalan seolah buntu.”
Emran menghela napas lemah. “Jadi, saya harus duduk di sini, dengan satu mata buta, sementara orang yang bikin saya begini masih bisa tidur nyenyak?”
Haris terdiam. Tatapannya menunduk. “Saya minta maaf.”
Qisya, yang duduk di sampingnya, tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Suaminya koma, dan kemungkinan besar kehilangan penglihatan di satu mata. Tapi hingga kini, tak ada yang bisa menjelaskan siapa dalang di balik semua ini.
Akhirnya, Iptu Haris pamit dengan satu pesan, “Kalau Anda tiba-tiba mengingat sesuatu yang mungkin berkaitan dengan kejadian itu, sekecil apa pun, segera hubungi saya. Kadang satu detail kecil bisa membuka semua pintu.”
"Aku gak habis pikir polisi belum juga nangkep pelakunya, Mas," gerutu Qisya, wajahnya muram penuh kecewa. Matanya tampak sembab, jelas ia belum tidur cukup semalam.
"Polisi juga manusia, Sayang. Bukan Tuhan yang tahu segalanya," Emran mencoba menenangkan, meski di dalam hatinya sendiri, kemarahan itu juga membara.
"Iya sih. Tapi masa cuma cari satu orang aja gak bisa?"
"Pelakunya licin, mungkin udah merencanakan ini jauh-jauh hari. Dia pasti udah siapin tempat buat nyembunyiin truk itu. Semoga aja nggak lama lagi ketangkap."
"Semoga, Mas. Aku nggak rela orang yang hampir ngerenggut nyawamu masih bebas jalan-jalan."
Emran tersenyum tipis. Ia meraih bahu istrinya, memeluknya erat. Ada banyak yang belum bisa mereka kendalikan. Tapi untuk sekarang, mereka punya satu sama lain.
Seminggu setelah sadar dari koma, dokter datang untuk membuka perban di mata kiri Emran. Qisya menahan napas saat perban terakhir dilepas. Kelopak matanya perlahan terbuka, dan…
Gelap.
Saat mata kanannya ditutup, dunia seketika menjadi hitam. Tak ada cahaya. Tak ada bayangan. Hanya kegelapan yang mengambang seperti tinta dalam air.
Luka di sekitar mata memang nyaris tak terlihat lagi. Tapi bola matanya sudah berubah. Bagian tengahnya—yang dulu bening—kini memutih seperti kabut yang mengendap di jendela saat musim hujan.
Dokter menjelaskan dengan tenang, "Mata manusia terdiri dari beberapa lapisan. Kornea adalah bagian paling luar dan tembus cahaya. Dalam kasus Pak Emran, korneanya rusak berat akibat pecahan kaca yang menembus bagian itu."
Qisya menunduk, menggigit bibir menahan tangis. Air mata menggantung di ujung matanya.
"Tapi jangan khawatir, Bu," lanjut dokter. "Penglihatan Pak Emran masih bisa diselamatkan lewat operasi transplantasi kornea."
Penjelasan itu seperti tali yang diturunkan ke jurang tempat mereka jatuh. Masih ada harapan.
"Lakukan saja, Dok. Aku butuh kedua mataku," ucap Emran mantap. Suaranya pelan, tapi tak goyah.
Dokter mengangguk. "Kita akan segera proses sesuai prosedur. Pertama, kita menunggu kornea dari pendonor. Idealnya, kornea diambil maksimal enam jam setelah pendonor wafat, dan operasi dilakukan dalam waktu 24 jam setelahnya. Prosedurnya sendiri hanya sekitar satu sampai dua jam."
"Apakah operasinya dilakukan di rumah sakit ini, Dok?" tanya Qisya, yang sudah mulai tenang.
"Ya, Bu. Rumah sakit ini punya fasilitas lengkap dan sudah memenuhi standar untuk pembiusan umum dan transplantasi mata."
Qisya menghela napas lega. Kekhawatirannya kalau harus pindah rumah sakit lenyap. Ia meremas tangan Emran, menggenggamnya erat.
"Oh ya, Dok, setelah operasi, apakah bisa langsung sembuh?"
"Hasilnya tergantung kondisi Pak Emran dan alasan dilakukannya transplantasi. Tapi kebanyakan pasien mengalami pemulihan penglihatan, minimal separuh dari kemampuan normal."
Risiko komplikasi dan penolakan kornea yang tidak cocok memang ada, tapi kemungkinannya kecil—sekitar 20% saja. Penolakan biasanya bisa ditangani dengan pengobatan rutin. Yang penting, Pak Emran harus rutin check up ke dokter mata setiap tahun,” jelas dokter Wisnu.
Qisya kembali menghela napas lega, seolah beban berat di dadanya sedikit terangkat. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia melihat masa depan yang lebih cerah.
“Baiklah, nanti kita pasti akan berdiskusi lebih lanjut setelah operasinya selesai. Tentang perawatan, hal-hal yang harus dihindari, dan sebagainya. Sekarang saya akan koordinasi dulu dengan bank mata. Begitu ada donor yang cocok, mereka akan langsung menghubungi saya. Mulai sekarang, Bapak bisa bersiap-siap.”
“Baik, Dok. Saya siap,” jawab Emran dengan mantap. Penjelasan dokter yang tenang dan lengkap membuatnya merasa lebih yakin. Kali ini, dia tidak ingin jadi korban. Dia ingin melawan.
Tak perlu menunggu lama. Tiga hari setelah perban pada mata kirinya dibuka, dokter Wisnu datang membawa kabar baik—sudah ada donor kornea yang cocok. Kornea itu sedang dalam perjalanan dari bank mata menuju rumah sakit. Emran pun langsung dipersiapkan untuk menjalani operasi, sementara tim medis bersiap di ruang tindakan.
Qisya menunggu di luar ruang operasi dengan jantung berdebar. Cemas. Meski dokter Wisnu telah mengatakan bahwa pencangkokan kornea adalah prosedur yang sangat aman, tetap saja ia tak bisa menenangkan pikirannya. Rumah sakit ini punya peralatan canggih dan tenaga medis terbaik, tapi kekhawatiran istri tetap tak bisa disangkal.
Tak lama, kedua orangtua Qisya datang untuk memberikan dukungan. Kehadiran mereka benar-benar memberi kekuatan.
“Bagaimana, Sayang?” tanya ibunya, Sukma, sambil merangkul Qisya dengan hangat.
“Masih di dalam, Ma. Kata dokter Wisnu, operasinya nggak lama. Mungkin sebentar lagi selesai.”
Ayahnya menepuk pundak Qisya pelan. “Yang sabar ya, Nak. Semua akan baik-baik saja.”
Mereka pun duduk di bangku koridor, menanti dengan perasaan campur aduk. Koridor rumah sakit begitu sunyi, hanya ada suara langkah perawat yang lalu-lalang dan dengungan mesin infus dari ruangan sebelah.
Dari kejauhan, suara langkah kaki mendekat. Dion muncul, adik lelaki Qisya. Ia juga bekerja di Café Millennial bersama Emran. Dua bulan lalu, Dion kena PHK dari pekerjaan lamanya dan akhirnya bergabung membantu di café.
“Pa, Ma, Kak…” Dion menyapa, menyalami orang tuanya, lalu memeluk Qisya. “Gimana Bang Emran?”
“Baru aja masuk ruang operasi.”
“Semoga lancar, ya, Kak.”
“Aamiin. Kamu langsung dari café?”
“Iya. Tadi Bang Irfan juga mau ke sini, tapi tiba-tiba ada tamu datang. Dia nitip salam buat Kakak.”
“Iya, nggak apa-apa.” Qisya tersenyum. Meski yang datang hanya sedikit, tapi kehadiran orang-orang terdekat sudah cukup membuatnya merasa tidak sendirian. Rasa hangat itu menepis dinginnya ketakutan.
Beberapa waktu kemudian, lampu indikator di atas pintu ruang operasi padam—tanda operasi selesai. Qisya langsung berdiri. Nafasnya tertahan. Pintu terbuka lebar, dan dokter spesialis mata keluar dengan senyum lelah tapi puas.
“Operasi berjalan lancar, Bu. Sangat sempurna. Dalam dua atau tiga hari ke depan, Ibu sudah bisa pulang bersama Bapak.”
Qisya langsung menutup wajah dengan tangan, menangis—kali ini bukan karena takut, tapi karena lega. Tangis yang mengalir seperti hujan pertama setelah kemarau panjang.