Mimpi Yang Tak Mau Pergi

1175 Words
Jawaban Iptu Haris benar-benar membuat Qisya tak habis pikir. “Yang benar saja!” desisnya penuh emosi. Emran buru-buru menyentuh bahunya, mencoba menenangkan. “Selanjutnya,” ujar Iptu Haris tetap tenang, “kami melakukan identifikasi jenis kecelakaan yang Anda alami. Termasuk arah kedatangan dan pelarian kendaraan yang diduga mencoba mencelakai Anda. Kami juga sudah melakukan pemotretan TKP, mengumpulkan bukti-bukti fisik, serta menyelidiki tempat-tempat yang kemungkinan digunakan untuk menyembunyikan atau memodifikasi kendaraan pelaku.” Ia membuka catatannya sebentar, lalu melanjutkan, “Dari hasil olah TKP dan analisis tim forensik laka lantas, kami simpulkan bahwa ini bukan kecelakaan tunggal. Ada goresan-goresan pada motor Anda yang menunjukkan kontak langsung dengan kendaraan lain. Di antara goresan itu, kami temukan bercak cat. Dari jenisnya, berasal dari kendaraan roda empat. Tapi karena CCTV di lokasi rusak, kami belum bisa memastikan jenis kendaraan tersebut.” Emran mengernyit. “Bukankah itu bisa dianalisis lebih lanjut?” “Kami sedang dalam proses itu. Tapi jika Anda bisa memberikan detail tambahan, itu akan sangat membantu.” “Saya tahu pasti,” ucap Emran tegas. “Kendaraan itu bukan mobil biasa. Itu truk!” “Sejenis pick-up?” “Bukan. Lebih besar.” Iptu Haris langsung membuka ponselnya, menunjukkan beberapa gambar truk dari internet. “Yang mana kira-kira?” Emran menunjuk salah satunya. “Kategori dua, Pak.” “Light truck. Baik, saya catat.” Iptu Haris menulis cepat. “Ini bisa jadi petunjuk penting.” “Terima kasih, Pak. Tapi tolong... pelakunya harus ditangkap secepatnya. Ini bukan kecelakaan karena kelalaian. Saya tidak mengantuk, tidak lelah, motor saya dalam kondisi baik, jalan pun kering. Truk itu datang dari arah belakang, mengejar saya. Saya sempat curiga, karena terlalu dekat. Tapi saya tidak sempat menghindar. Truk itu tiba-tiba menabrak saya dari samping dengan kecepatan tinggi. Saya terpental. Motor saya hancur, dan saya jatuh masuk ke jurang.” Iptu Haris mengerutkan alis. “Jadi... memang benar-benar ditabrak?” “Langsung, Pak. Sengaja. Saya yakin. Tidak ada upaya mengerem, tidak ada bunyi klakson. Dia tidak sedang menghindar—dia sedang mengincar.” “Apakah Anda sempat melihat siapa pengemudinya?” “Saya berusaha. Tapi kejadiannya begitu cepat. Dalam kondisi panik, saya lebih fokus menyelamatkan diri. Tapi saya ingat... Saya sempat melirik ke arah kemudi. Kabinnya gelap. Saya tidak bisa melihat wajahnya.” Iptu Haris mengangguk perlahan. “Saya bisa bayangkan tekanan dan ketegangan yang Anda alami.” “Alhamdulillah... saya masih hidup. Tapi luka fisik ini belum seberapa dibandingkan dengan pertanyaan yang terus menghantui saya. Siapa pelakunya? Kenapa dia mencoba membunuh saya?” “Kami akan mencari tahu. Dan untuk itu, saya datang hari ini—melaporkan perkembangan penyelidikan. Sayangnya, sampai saat ini, truk tersebut belum kami temukan. Ada kemungkinan besar truk itu disembunyikan.” “Ya... saya juga berpikir begitu.” “Namun, mungkin beberapa pertanyaan tambahan dari saya bisa membantu kami menelusuri lebih lanjut.” “Silakan, Pak. Saya akan jawab semuanya.” Tepat saat itu, seorang perawat masuk ke ruangan. “Pak Emran, mohon kembali ke kamar. Dokter akan segera memeriksa kondisi Bapak.” “Baik, Sus. Lima menit lagi saya kembali,” jawab Emran sambil mengangguk pelan. * Beberapa saat setelah perawat pergi, ponsel Iptu Haris berdering. Ia menjawabnya cepat, lalu menutup kembali ponselnya dan menyelipkannya ke saku. “Sayang sekali, saya harus pergi sekarang. Mungkin besok saya akan kembali kemari,” ujarnya seraya mengulurkan tangan. “Baik, Pak. Dengan senang hati,” sahut Emran sambil menjabat tangan Iptu Haris. --- Malam hari... "Tidak! Aku tidak mau! Sekali kukatakan tidak, tetap tidak! Kalian jangan memaksaku!" “Mas?” "Tidak! Jangan mendekat! Pergi! Pergi!" “Mas! Bangun, Mas!” Qisya mengguncang tubuh Emran pelan. Suaminya itu tampak gelisah, wajahnya memerah, keringat membanjiri pelipis. Ia menggeleng keras, seperti sedang menghindar dari sesuatu—atau seseorang—di dalam mimpinya. “Mas...” bisik Qisya lagi, cemas. Ia tahu betul, ini bukan mimpi biasa. “Astagfirullah!” Emran terbangun mendadak, dadanya naik turun, napasnya berat. Mata kanannya tampak merah dan sayu, menatap Qisya dengan pandangan kosong bercampur waspada. “Mimpi buruk yang sama lagi, Mas?” tanya Qisya sambil mengambilkan segelas air. Emran mengangguk lemah. “Minum dulu, Mas.” Tanpa berkata, Emran menenggak habis air yang diberikan Qisya. Lalu bertanya, “Sekarang jam berapa?” “Jam tiga lewat sepuluh,” jawab Qisya pelan. “Sebenarnya... Mas mimpi apa sih?” Emran menatap wajah istrinya beberapa saat. Pandangannya seperti menyimpan rahasia yang tak ingin diungkap. “Mimpi yang menyebalkan,” gumamnya akhirnya. “Tapi kayaknya bukan mimpi biasa, ya?” Lagi-lagi, Emran hanya diam. Tatapannya bergeser, seolah menghindari mata Qisya. “Ini bukan pertama kali, Mas. Bahkan sejak awal pernikahan kita. Dari igauan Mas, aku bisa dengar... Mas kayak dipaksa ngelakuin sesuatu. Tapi Mas selalu nolak.” Emran menarik napas dalam. Senyum tipis menggantung di bibirnya, tetapi tak sampai ke mata. “Cuma mimpi, Sayang. Jangan dipikirin. Nggak penting.” Qisya menggeleng pelan, tapi kali ini tatapannya penuh tekad. "Mas, mimpi biasa nggak akan datang terus-terusan sampai lima tahun gini. Bahkan dalam sebulan, bisa dua-tiga kali. Ini bukan sekadar bunga tidur. Itu ... nggak normal, Mas. Ayolah. Aku istrimu, dan aku punya hak tahu apa yang bikin kamu terus-terusan terganggu. Siapa tahu aku bisa bantu." Emran hanya menunduk. Dalam hati, ia mengumpat dirinya sendiri. Mimpi itu semakin sering datang, dan Qisya makin sulit dibuat percaya kalau semua itu hanya bunga tidur. Apalagi setelah lima tahun, pasti rasa penasarannya makin besar. Memang, orang tidur bisa saja bermimpi. Wajar. Tapi kalau mimpinya sama, muncul terus selama lima tahun, bahkan bisa datang beberapa kali dalam sebulan... wajar kalau Qisya mulai gelisah. Dan sayangnya, Emran belum pernah memberi jawaban. Bahkan ia sendiri tak tahu pasti... apakah itu cuma mimpi, atau potongan dari sesuatu yang lebih nyata. "Kenapa Mas gak mau cerita tentang mimpi itu ke aku sekali saja?" Emran menggeleng lemah, ngeles. "Karena itu bukan hal penting, Sayang. Cuma mimpi buruk biasa." "Ya sudah, Mas. Aku ngerti sih, itu cuma mimpi. Tapi sekarang aku pengen Mas cerita. Aku istrimu, kan? Berhak tahu tentang kamu. Siapa tahu aku bisa bantu." Emran diam sebentar. Tarik napas dalam, terus senyum manis. "Mas juga gak terlalu ingat, Sayang." "Selalu aja jawabannya begitu kalau aku tanya." "Ya udah, kapan-kapan kalau aku ingat, aku bakal cerita." "Itu juga jawaban Mas selama lima tahun kita bareng," Qisya manyun sambil narik bibir. "Mas merahasiakan sesuatu dari aku." "Gak, Sayang." "Buktinya Mas gak pernah mau cerita mimpi itu." "Soalnya gak penting. Buang-buang waktu aja ngomongin hal yang gak nyata. Mimpi kan cuma bunga tidur." "Memang, semua orang tahu mimpi itu bunga tidur. Tapi buat sebagian orang, mimpi itu firasat, petunjuk, atau sesuatu yang lain." "Mimpiku gak ada arti apa-apa, Sayang. Sudahlah. Jangan jadikan ini masalah. Oke, sayangku?" Qisya masih merajuk, tapi Emran langsung memeluk istrinya. "Oh ya, Sayang, kamu pernah dengar tentang 3 anak bernama Morpheus, Phobetor, dan Phantasos?" Qisya mengernyit, penasaran. "Enggak. Mereka siapa, Mas? Kok nama-namanya kayak dari Yunani gitu?" Emran mengangguk. "Iya, mereka emang dari mitologi Yunani, Sayang. Ketiganya anak dewa mimpi. Phobetor itu yang paling nakal, dia pembawa mimpi buruk. Setidaknya itu mitosnya. Yuk, tidur sekarang." *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD