Hod 40, Telepon dari Irfan

1631 Words
Kembali ke Jakarta, Qisya ternyata mendapatkan cutinya kembali pula yang telah terpakai selama tiga hari mengikuti seminar di Surabaya. Artinya, dia masih punya waktu satu minggu untuk beristirahat. Emran dan Zidan sedang tidur di kamar karena kelelahan dan kekenyangan juga memakan begitu banyak bekal dari suami istri pemilik warung yang sangat berterima kasih kepada mereka. “Bu, biar saya saja yang mencuci baju kotornya,” terdengar suara Bibik di belakang Qisya yang sedang memasukkan deterjen cair ke dalam mesin cuci. Qisya menggeleng. “Biar aku saja, Bik. Kita kan sama-sama baru pulang. Dan sejak tadi Bibik sudah membersihkan rumah dan halaman. Bibik beristirahat saja.” “Baik, Bu,” wanita tua yang sudah puluhan tahun menjadi pembantu di rumah keluarga Qisya hendak beranjak ke kamarnya ketika langkahnya tiba-tiba berhenti karena sesuatu melintas di benaknya. “Oh, iya, Bu. Aku sudah dapat orang yang mau bekerja di sini. Keponakanku sendiri.” “Wah, bagus. Usia berapa, bik?” “Baru 20 tahun, Bu. Baru tamat SMA tahun lalu.” “Masih muda sekali sudah mau kerja jadi asisten rumah tangga. Kenapa gak kuliah, bik?” “Gak ada biaya, Bu. Adik-adiknya banyak. Ada 4 orang semuanya sekolah. Dia kasihan melihat orang tuanya banting tulang.” “Wah, iya. Kasihan banget, bik.” “Katanya, dia mau kerja, sebagian gajinya untuk membantu orang tuanya dan sebagian lagi untuk ditabung. Dia memang pingin kuliah.” “Sepertinya dia anak yang baik, ya bik?” “Saya berani jamin, dia gadis yang baik, Bu. Rajin, pinter dan sayang sama adik-adiknya. Dia tidak pernah terlibat masalah. Aku sangat mengenalnya semenjak dia lahir hingga sekarang. Itulah mengapa aku lebih memilih dia yang bekerja di sini dari pada mencari orang lain yang sudah pasti aku tidak begitu mengenal sifat dan karakter mereka.” “Wah, bibik sangat menyayangi kami, ya?” Si bibik tampak menyeringai malu. “Iya, Bu. Soalnya Ibu dan Bapak juga sangat menyayangiku. Kalian berdua sudah kuanggap seperti anak-anakku saja. Makanya aku gak mau cepat-cepat pensiun dari rumah ini.” Qisya tergelak. “Iya, bik. Aku dan Mas Emran juga sudah menganggap bibik seperti orang tua sendiri. Bibik boleh tinggal bersama kami selama yang bibik inginkan. Selama-lamanya.” “Terima kasih banyak, Bu,” si bibik menitikkan air mata dan mengelapnya dengan punggung tangannya. “Sudah, bik. Jangan nangis. Kan kita gak sedang sedih-sedihan.” “Iya, bu. Aku terharu saja karena Ibu dan Bapak sangat baik sekali. Kalian seperti malaikat.” “Hus! Jangan terlalu memuji, bik. Kami biasa-biasa aja kok.” Qisya tersenyum manis. “Tentang keponakan Bibik, nanti aku bicarakan dulu dengan Mas Emran, ya Bik.” “Baik, Bu. Saya akan ke kamar untuk beristirahat. Selamat malam, bu.” “Malam, bik.” Qisya melanjutkan aktifitasnya. Sembari menunggu cucian selesai, biasanya dia akan membaca novel sambil mendengarkan musik dari ponselnya. Tak lama, cuciannya kelar dan dia hanya tinggal melipat ketika baju-baju masih hangat. Hingga tak perlu lagi disetrika. Kecuali baju-baju untuk acara penting, tentunya. “Sayang?” Emran terbangun saat mendengar Qisya membuka lemari untuk menyusun baju-baju yang sudah dilipatnya tadi. “Sudah bangun, Mas?” “Kamu dari mana, sayang? Kok dari tadi gak ikutan tidur? Gak capek?” tanya Emran lalu disusul kuapan lebar. “Aku di ruang laundry, Mas. Mencuci.” “Loh, kan bisa dikerjakan sama si bibik besok, sayang.” “Si bibik udah capek bersih-bersih rumah dan halaman, Mas. Kasihan.” Emran mengangguk. “Aku mau ke dapur. Mau kubuatin teh hangat, sayang?” “Pinginnya jus jeruk, Mas.” Emran tersenyum. Dia turun dari tempat tidur, dan menyodorkan pipinya. “Coba cium dikit biar jus jeruknya segera datang.” Qisya langsung mendaratkan ciuman ringan di pipi suaminya. Aroma musk langsung menelusup masuk ke rongga hidungnya, membuat perasaannya nyaman dan tenang. Emran yang telah mendapatkan hadiah kecil tersebut, tertawa senang dan langsung menuju dapur sementara Qisya melanjutkan pekerjaannya menyusun baju-baju ke dalam lemari. Usai semuanya tersusun rapi, Qisya menghampiri putranya yang sedang tertidur pulas. Meraba keningnya untuk mengetahui apakah suhu tubuh anak semata wayangnya itu normal-normal saja. “Kenapa, sayang? Zidan panas lagi?” Emran yang baru masuk melihat Qisya sedang meraba kening Zidan, agak terkejut. Tetapi begitu melihat Qisya menggeleng, perasaannya kembali tenang seraya meletakkan dua gelas minuman di atas meja kecil . “Zidan baik-baik saja, sayang. Aku hanya memeriksa saja. Takut panasnya datang lagi.” “Alhamdulillah kalau baik-baik saja. ayo duduk sini, sayang. Jus jeruknya sudah tersedia. Rasanya pasti manis seperti yang meminumnya.” “Tiba-tiba jadi penuh gombal, Mas.” Emran tergelak. Qisya menyesapi jus jeruk buatan suaminya. Meski tak seenak buatan si Bibik, namun Qisya tetap menikmatinya dengan senang hati. “Mas, tadi Bibik bilang, dia akan membawa keponakannya untuk bekerja di sini.” Emran meletakkan gelas kopinya. “Ohya? Baguslah. Masih muda, kan? Biar bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Si Bibik bisa konsentarasi pada Zidan saja.” “Baru tamat SMA, Mas. Usianya baru 20 tahun.” “Apa itu gak terlalu muda?” “Aku juga sudah bilang sama si bibik soal itu. Tetapi anak itu mau membantu orang tuanya. Adik-adiknya banyak, semuanya butuh uang untuk keperluan sekolah.” “Wah, kasihan sekali. Masih muda sudah harus menanggung beban berat.” Qisya mengangguk. “Kata Bibik, anaknya baik, rajin dan tidak pernah bermasalah. Kalau mas setuju, aku akan bilang sama Bibik agar anak itu datang. Tapi kalau Mas tidak setuju, kita bisa cari orang lain. Masa cutiku masih seminggu lagi kok. Cukup untuk mencari orang.” “Mas yah terserah kamu saja sayang. Kalau menurutmu terima saja, aku juga pasti terima.” “Justru aku bertanya pendapat Mas. Soalnya anak itu masih muda sekali.” “Bagi kita memang masih terlalu muda, Sayang. Tetapi usia 20 tahun sebenarnya sudah termasuk usia pekerja. Di café, banyak yang bekerja sebaik tamat SMA. Tidak menjadi masalah, sih.” “Kalau mas setuju, aku akan bilang sama Bibik besok.” Emran mengangguk. “Iya, bilang aja sayang. Itung-itung kita membantu juga.” Baru saja selesai mengucapkan hal itu, ponsel Emran berdering. Dan dia lumayan terkejut saat melihat siapa yang yang menelepon. “Siapa yang menelepon, mas? Kok kayaknya kaget gitu?” tanya Qisya heran melihat perubahan wajah suaminya. “Mas Irfan!” Qisya hampir saja menjatuhkan gelas jus nya karena terkejut juga. “Dia menelepon pake nomor hapenya, berarti sudah berada di Indonesia. Sini biar aku yang jawab, mas.” “Jangan, sayang. Mas Irfan meneleponku pasti karena ingin bicara denganku. Biar mas saja yang menjawab, oke?” Qisya angkat bahu. Perasaan pingin ngamuk, terpaksa ditahannya dulu. Nanti juga kakak sepupunya itu bakal dapat ‘bagian’ darinya. Setelah memasang speaker agar Qisya bisa mendengar juga, Emran segera menjawab panggilan telepon tersebut dengan mengucap salam. Dari seberang telepon, terdengar suara Irfan yang ringan, seperti tidak terjadi apa pun. “Bagaimana kabarmu, Qisya dan Zidan? Kuharap kalian baik-baik saja, ya?” “Alhamdulillah kami semua baik-baik saja, Mas,” jawab Emran cepat. Dilihatnya mulut Qisya manyun. “Kabar Mas, gimana? Sehat-sehat juga?” “Aku juga sehat-sehat saja, kok. Kalian tak usah menghawatirkanku.” Emran mengucap syukur. “Em, aku menelepon untuk meminta maaf atas sikap dan perlakuanku saat terakhir kita bertemu. Tapi rasanya masih belum fair kalau tidak memohon maaf secara langsung denganmu dan Qisya. Jadi kalau kalian ada waktu, aku mengundang kalian ke café besok siang. Kita makan siang bersama. Bawa juga Zidan, Em.” “Baik, Mas. Kami akan datang.” “Bagus. Sampaikan salamku pada Qisya.” Irfan memutus teleponnya sebelum sempat Qisya bersuara. Namun wanita itu juga tidak bermaksud mempermalukan diri sendiri dengan mengamuk tak tentu arah. Toh, melihat Emran yang baik-baik saja selama tidak bekerja di café, sudah membuatnya merasa fine-fine saja terhadap hidup yang diberikan Allah pada mereka. Lalu ditambah Irfan akhirnya menelepon dan bahkan mengajak makan siang bersama sebagai permohonan maafnya kepada mereka, itu adalah bonus yang sangat menyenangkan. “Alhamdulillah Mas Irfan baik-baik saja selama hampir dua minggu ini,” ucap Emran disambut anggukan kepala Qisya. “Tapi kenapa Mas langsung mau saja bertemu dengannya besok? Mestinya kita agak jual-jual mahal dikit,” gerutu Qisya dengan mulut manyun-manyun. Emran tertawa kecil. “Itu sikap yang kekanak-kanakan, sayang. Kita sudah terlalu tua untuk bersikap pura-pura.” “Kan kita memang masih muda. Mas saja belum sampai 35 tahun.” “Maksudku, kita harus bersikap dewasa, mengingat Mas Irfan bukan jenis orang yang bisa dicanda-candain.” “Iya, ih. Manusia yang satu itu pemarah banget. Heran.” Emran menghela napas, lalu meneguk kopinya yang sudah dingin. Namun tetap saja terasa nikmat karena Emran bukan jenis pemilih dalam hal makanan dan minuman. “Terkadang orang bisa menjadi dingin akibat terlalu banyak didera pengalaman hidup yang tidak menyenangkan. Kamu sendiri mengatakan, sudah sejak lama Mas Irfan tidak sepaham dengan kedua orang tuanya. Kenyataan itu bisa saja menjadi pemicu atau sikap pemarahnya.” Sebenarnya, Emran seperti merasa bicara tentang dirinya sendiri. Sebab bukan hanya kakak sepupu istrinya itu saja, melainkan dia juga sudah lama tak sepaham dengan keluarga besarnya. Sejak kecil, dia sudah kehilangan kedua orang tuanya dan dibesarkan oleh seorang kakek yang otoriter. Emran kecewa dan ingin sekali marah kepada dunia. Mengapa dia berbeda dari teman-temannya? Mengapa anak-anak lain sering dijemput oleh orang tua mereka sementara dia hanya dijemput oleh seorang supir? Mengapa anak-anak lain diijinkan oleh orang tuanya untuk melakukan apa saja sementara dia harus puas dikurung di kamar dan belajar sampai mati? “Mas?” Kesadaran Emran kembali ke dunia nyata saat mendengar panggilan Qisya. “Sayang?” “Dihabisin kopinya. Trus sikat gigi dan tidur, yuk?” ajak Qisya cepat. Dia tahu, suaminya seperti sedang terbawa ke nostalgia lama yang tidak menyenangkan. Karena kisah hidup masa kecil Irfan hampir sama dengan yang dialami Emran. keduanya sama-sama tidak merasakan masa kecil yang bahagia. Jadi dari pada dia melihat Emran bersedih, lebih baik dia segera mengajak tidur. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD