Hod 41, Menjadi Tamu VIP

1290 Words
Qisya sudah tak sabar lagi ingin segera bertemu dengan Irfan, kakak sepupunya, demi untuk melabraknya karena telah semena-mena dengan suaminya. Dia sudah memikirkan beberapa cara dan beragam kalimat marah dan protes, agar hatinya terasa puas. Namun tentu saja Emran melarang istrinya melakukan semua itu. Emran percaya, Irfan jelas punya alasan besar mengapa bersikap seperti itu. “Mas memang seorang pemaaf, sih. Dan lagi, finansial kita sudah lebih dari cukup. Makanya santai-santai saja. Tapi coba Mas pikirkan jika kondisi yang sama terjadi pada orang lain yang jelas-jelas menggantungkan harapan pada pekerjaannya? Menjadi tulang punggung untuk sekian banyak mulut yang harus dikasih makan. Pasti beda ceritanya.” Emran mengangguk. “Tentu saja saat itu aku tidak akan segera pulang. Aku pasti berakhir di penjara karena mengamuk dan menghajar kakak sepupumu, sayang.” “Hus!” Emrah tertawa. “Yang terpenting sekarang adalah Mas Irfan sudah kembali dan sudah berbesar hati ingin meminta maaf secara langsung dengan kita. Ini adalah yang terpenting dari semuanya. Sisanya, sebentar lagi akan kita dengarkan saat kita sudah sampai di sana.” Qisya mengangguk. “Aku dan Zidan sudah siap, Mas. Si Bibik juga kuminta ikut dan sudah menunggu di ruang tengah.” “Oke. Ayo kita berangkat,” Emran memasang penutup mata kirinya dan memakai kaca mata hitam untuk menyamarkannya. Segera setelah itu, mereka semua bergerak menuju mobil. Tidak sampai setengah jam, mereka sudah sampai di café Millenial dan melihat Irfan sendiri yang menyambut keluarga kecil Emran. “Kamu ke Turki dan gak bilang-bilang?” teriak Qisya begitu mendengar Negara yang dituju Irfan untuk menenangkan pikirannya. “Kalau aku bilang-bilang, kau pasti minta ikut, kan?” jawab Irfan asal. Membuat Qisya langsung melayangkan tinjunya ke perut kakak sepupunya. Tapi sayang, tangannya terlalu pendek hingga tinju itu tak pernah sampai. Membuat semuanya tertawa melihat hal itu. “Kau sungguh seorang kakak yang tak bisa menjadi panutan!” gerutu Qisya geram. Namun Irfan sama sekali tak menanggapi komentar itu. Dia tahu, Qisya hanya emosi sesaat. Nanti juga perasaan adik sepupunya itu akan membaik setelah mendengar alasan-alasannya. Saat ini tujuan utamanya sudah jelas. Dan itu sangat tergantung pada Emran, yang sebenarnya telah menjadi korban utama dalam masalah ini. Irfan benar-benar harus meminta maaf karena telah semena-mena. Tetapi pertama-tama, dia ingin melepas rasa rindunya kepada keponakannya, Zidan. Tangan-tangan panjang Irfan kemudian terulur untuk mengambil Zidan dari kereta dorongnya. “Sini jagoan, Om! Sesama orang ganteng, kita harus saling mendukung!” Zidan langsung tertawa lebar saat Irfan mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi. Bocah itu kesenangan tiada tara. “Ayo kita langsung ke atas. Aku sudah menyiapkan hidangan untuk kita semua.” Semuanya masuk ke dalam lift dan langsung naik menuju lantai 4. Di sana adalah kamar-kamar VIP, yang dikhususkan untuk tamu-tamu berdompet tebal, karena fasilitas di dalam satu ruangan sangat lengkap dan bahkan memiliki 4 orang pelayan khusus yang akan melayani tamu yang mengorder kamar-kamar special itu. Tamu yang paling sering mengambil kamar VIP adalah artis-artis dalam dan luar negeri. Para pejabat tinggi dan orang-orang kaya lainnya. Saat para pelayan menghidangkan makanan, Irfan memanfaatkan kesempatan itu untuk mengucap permintaan maafnya kepada Emran. Dia bahkan tidak merasa malu meski ada si bibik dan para pelayan di ruangan mereka. Hal itu membuat Qisya dan Emran salut. “Memang seharusnya aku tidak bersikap sekasar itu kepadamu, Em. Namun saat itu … pikiranku buntu. Dan aku terlalu terkejut saat kau menyebut nama Aufa,” ucap Irfa berterus terang. “Jadi sekali lagi, aku mohon maaf, Em. Rasanya tak pantas banget aku memperlakukanmu seburuk itu.” “Aku sudah melupakannya, Mas.” “Kau memang orang yang sangat baik, Em. Dan karena kau telah memaafkanku, kuharap, kau mau kembali bekerja di sini.” Emran mengangguk pasti. “Tentu, Mas. Dengan senang hati aku akan kembali ke sini. Café ini seperti sudah menjadi rumah kedua untukku.” “Terima kasih, Bro!” Irfan sangat senang karena dia sudah mendapatkan maaf atas perbuatannya. Selanjutnya, karena semua hidangan sudah tertata rapi, mereka mulai menyantap makan siang istimewa itu sambil membincangkan hal-hal ringan. Irfan memang sengaja tidak membicarakan hal yang menjadi utama dari undangannya tersebut. Karena masalah itu hanya akan dibicarakannya berdua saja dengan Emran. Selama hampir dua jam, acara makan siang bersama yang dilanjutkan dengan minum kopi dan teh, usai juga. Qisya langsung mengundurkan diri karena tahu Irfan ingin bicara berdua saja dengan suaminya. “Kalian lanjut mengobrolnya. Kami pulang duluan,” ucap Qisya membereskan perlengkapannya. “Lagi pula, Zidan sudah mengantuk berat.” “Terima kasih, Sya. Supirku akan mengantarkan kalian,” ucap Irfan yang langsung menelepon supirnya untuk bersiap. “Oke, Mas.” Qisya menggendong Zidan dan bergerak keluar ruangan, sementara si Bibik mengikuti dari belakang. * “Masuk, Em!” Irfan memutuskan untuk melanjutkan obrolan di ruang kerjanya di lantai 3. Dia merasa lebih nyaman di ruangannya dari pada di tempat lain meski semua ruangan adalah miliknya. Namun Irfan beranggapan, dinding-dinding di semua ruangan memiliki telinga yang akan menguping rahasianya, kecuali dinding ruangannya. “Duduk, Em.” Emran duduk di sofa sementara Irfan melangkah ke lemari pendingin dan mengeluarkan dua botol air mineral dan memberikannya sebotol kepada Emran. “Terima kasih, Mas.” Irfan mengangguk, “Ada apa dengan mata kirimu, Em? Sejak tadi aku ingin bertanya, tetapi kutahan.” Emran langsung meraba penutup matanya. Sejak datang tadi, dia sama sekali tidak melepaskan penutup matanya. Memang rasanya kurang nyaman dan seperti tidak sopan saja. Namun dia lebih memilih tetap memakainya karena tak ingin acara makan siang tersebut terganggu oleh penampakan-penampakan yang mungkin mendatangi Emran. dia tak ingin terlihat terkejut atau ketakutan atau apa saja terlebih di depan anaknya. Tingkahnya akan terlihat seperti orang gila kalau tiba-tiba ada yang memperlihatkan diri di depan matanya. Dan dia tahu, sejak awal tampaknya Irfan sudah sangat penasaran dengan penutup matanya tersebut. Itu terbukti dari pertanyaan pertama Irfan kepadanya. “Aku harus menutupnya, Mas. Karena ….” “Karena … bukan karena sedang sakit, kan?” tanya Irfan saat melihat Emran ragu untuk menjawab. Dia tahu, mungkin Emran sedang bingung memilih antara berterus terang kepadanya atau diam saja. “Oh, tidak, Mas. Mataku baik-baik saja,” jawab Emran cepat. "Hanya saja ... Seperti yang Mas duga ketika terakhir kita bertemu, aku kini bisa melihat orang-orang tak bisa Mas lihat. Aku ... Bisa melihat arwah gentayangan." Meski Irfan mencoba mempercayai nya, bahkan ketika adik iparnya itu mengatakan melihat arwah anak perempuannya - yang dia sendiri tak pernah melihatnya lahir. Bahkan tidak tahu kalau anak itu lahir ke dunia - tetap saja Irfan sulit menerima nya. "Biar kuduga. Itu mata yang mendapat pencangkokan kornea, bukan?" Emran mengangguk. "Iya mas. Ini memang mata yang mengalami kebutaan saat kecelakaan Waktu itu dan harus mendapatkan donor kornea mata yang baru." "Jadi ... Kemampuan melihat arwah itu berasal dari donor matamu?" Sekali lagi Emran mengangguk. "Tampaknya memang seperti itulah yang terjadi, Mas. Meski aku mencoba mengabaikannya atau tak mempercayainya, tetapi sudah beberapa kali aku mengalaminya, mas. Melihat orang-orang tak kasat mata itu." Irfan menghela napas berat nya. "Apa kau sudah bertanya pada dokter mengapa bisa terjadi seperti itu?" "Sudah mas. Aku dan Qisya sudah pernah bertanya pada dokter mengenai hal ini. Dan tentu saja jawaban dokter hal itu tidak mungkin terjadi jika dilihat dari kaca mata medis." "Iya, tentu saja. Orang awam sepertiku aja sulit mempercayai nya. Apa lagi dokter." "Aku belum sempat bertanya ke Bank Mata, Mas. Tapi kurasa, mereka tidak akan pernah memberitahu siapa pendonorku." "Tapi pasti pendonormu itu semasa dia hidup, kemungkinan besar bisa melihat arwah juga, ya?" "Aku yakin, iya mas." "Dan kau tidak merasa takut, Em?" "Aku sangat takut, mas. Mereka semua ... Membuatku merasa tak nyaman." "Tentu saja. Hidupmu yang selama ini tenang, nyaman, tahu-tahu sekarang ada begitu banyak arwah yang mengikuti." "Itulah mengapa aku memakai penutup mata ini mas. Mata kananku masih normal." "Oke. Aku sudah paham. Sekarang ceritakan tentang Aufa." *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD