Hod 24, Nek Rima

1348 Words
“Sayang ….” “Mas, maafkan aku. Tetapi rasanya, agak sulit kupercaya kalau Mas sekarang dapat melihat … hantu,” tiba-tiba Qisya mengatakan pendapatnya. “Bukan apa-apa, bisa saja Mas berhalusinasi atau menghayal. Bisa juga orang mengalami mimpi padahal tidak sedang tidur.” Emran mengangguk. “Percayalah, Sayang. Mas juga inginnya ini hanya halusinasi Mas aja. Mas juga sama sekali tak menyukai keadaan ini. Mas merasa terganggu. Gak nyaman lagi. Tetapi, memang ini adalah kenyataan, Sayang. Mas gak sedang menghayal atau mimpi dalam kondisi sadar. Mas memang bisa melihat ‘mereka’. Mas bahkan ….” “Bahkan apa?” Emran menghela napas panjang sebelum akhirnya melanjutkan ucapannya. “Mas melihat Nek Rima, bahkan sampai saat ini.” “Nek Rima?” “Iya, Sayang. Mungkin inilah waktunya Mas membuktikan kepadamu kalau Mas memang bisa melihat arwah gentayangan. Agar kamu tak lagi mencurigai Mas, kalau besok-besok Mas pulang dalam kondisi menggigil ketakutan. Itu karena Mas pasti habis bertemu mereka. Hm … tepatnya, mereka memperlihatkan diri mereka ke Mas dalam kondisi menakutkan.” Qisya menelan ludahnya berkali-kali. Tenggorokannya mengering. Informasi yang disampaikan suaminya bahkan melebihi harapannya. Dia sangat bersyukur ternyata suaminya bukan pemakai narkoba. Dan tentu saja suaminya tidak mungkin memakai barang haram tersebut. Narkoba? Merokok saja, tidak. Tetapi mendapat jawaban dari sikap aneh suaminya beberapa hari belakangan ini karena ternyata mulai dapat melihat hantu, itu sungguh mengejutkannya secara lahir dan bathin. “Bagaimana Mas membuktikannya?” akhirnya Qisya mampu mengeluarkan suaranya kembali. “Mas akan bilang kalau Mas melihat almarhum Nek Rima, tetangga kita.” Kening Qisya mengerut. “Almarhumah Nek Rima?” Emran mengangguk. “Almarhum Nek Rima … tetangga kita? Ibunya Bu Maryanti?” “Iya, sayang.” “Maksudnya, Mas bisa melihat arwah Nek Rima?” “Begitulah, sayang.” “Kapan? Waktu kita berkunjung ke rumahnya?” “Pertama melihatnya, saat Mas baru pulang dari rumah sakit, Sayang. Mas melihatnya dari dalam mobil. Saat itu, kamu sempat bilang kalau Nek Rima sudah meninggal dunia seminggu sebelumnya. Tetapi aku tak begitu menanggapi karena Zidan langsung membuatku sibuk. Serta makan malam kita membuatku lupa.” “Iya, aku ingat pernah mengatakannya kepada Mas.” Emran mengangguk. “Nah, karena saat itu Mas juga masih dalam kondisi bingung dan tak mengerti. Mas menganggap apa yang Mas lihat adalah halusinasi saja. Tetapi, Nek Rima semakin sering muncul dan mulai membuat Mas merasa tak nyaman.” “Maksud Mas … almarhum Nek Rima masih muncul di hadapan Mas?” “Iya, sayang. Mas masih melihatnya mondar-mandir di teras rumahnya.” “Ya Allah …,” Qisya menelan ludah. “Apa benar, Mas? Jadi Nek Rima … bergentayangan?” Emran mengangguk. “Nek Rima akan seperti itu karena dia masih punya urusan duniawi yang belum diselesaikannya.” “Ya Allah, kasihan banget, Mas.” “Iya. Nek Rima memang kelihatan sedih, Sayang. Dia ingin sekali menyampaikan kepada keluarganya. Tetapi karena sudah beda alam ….” “Apa mungkin dia ingin Mas membantunya, makanya dia berkali-kali memperlihatkan diri kepada Mas?” “Kamu benar, Sayang. Nek Rima memang ingin Mas membantunya,” ucap Emran mengangguk. Tetapi wajahnya berubah keruh. “Masalahnya … Mas gak ingin orang lain tahu kalau Mas bisa melihat arwah gentayangan, Sayang. Itulah mengapa Mas sampai saat ini tidak dapat membantunya.” Qisya mengangguk. “Aku paham, Mas. Tapi, gak mungkin juga Mas mengabaikan orang yang sedang membutuhkan bantuan, kan?” “Nah, iya. Makanya Mas bingung. Bagaimana cara Mas memberitahu keluarga Nek Rima? Apa Mas kirim surat saja ya? Atau kirim pesan singkat ke ponsel Pak Ratno?” Qisya diam sejenak. Dia sedang memikirkan cara terbaik menyampaikan keinginan terakhir Almarhum Nek Rima tanpa harus mengungkapkan kalau suaminya kini dapat melihat orang-orang yang sudah mati. “Sayang?” “Bagaimana kalau … kita bilang Nek Rima menyampaikan pesannya lewat mimpi, Mas?” Wajah Emran mendadak cerah. “Itu bagus sekali, Sayang. Iya, seperti cara itu lebih masuk akal. Nanti juga akan terbukti setelah mereka tahu kebenarannya.” Emran merasa sedikit lega setelah bisa menceritakan semuanya. Misteri yang membuat sikapnya berubah aneh. Dan kini mereka sedang melangkah menuju rumah Bu Maryanti, demi menuntaskan urusan almarhum Nek Rima. Qisya sangat mendukung Emran untuk membantu wanita tua itu, mengingat betapa banyak jasa-jasa Nek Rima kepada para tetangga semasa hidup. “A … apa?” Bu Mar tampak tak mengerti. Pak Ratno, suaminya juga tampak tak percaya dengan apa yang barusan mereka dengar. Sulit pastinya mereka menerima penjelasan Emran tentang Ibunya, yang jelas-jelas sudah mereka kebumikan hampir sebulan yang lalu. “Kami mohon maaf jika kedatangan kami membuat Bapak dan Ibu bingung. Tetapi sungguh, kami hanya ingin menyampaikan pesan Nek Rima. Pesan terakhir yang belum sempat beliau katakan sebelum meninggal dunia,” ujar Emran dengan lembut dan sopan. “Aku gak percaya, kenapa Ibu gak datang ke dalam mimpiku saja? Kok malah ke mimpinya Pak Emran?” gumam Bu Mar tertawa miris. “Datang ke dalam mimpi siapa pun, itu bukan masalah yang paling penting, Bu. Yang terutama sekarang adalah isi pesan itu,” timpal Pak Ratno menghibur istrinya. “Iya, Bu. Saya rasa juga yang terpenting saat ini adalah menunaikan pesan terakhir almarhumah,” ucap Qisya. “Jadi … ibu punya utang kepada temannya?” “Hm … sebenarnya bukan utang, Bu. Melainkan teman almarhumah menitipkan uangnya untuk diberikan ke ketua pengajian, karena saat itu temannya Nek Rima sedang sakit. Tetapi sayang, Nek Rima tidak sempat memberikan uang itu.” Bu Maryanti tampak sedih. Dia pasti membayangkan betapa tersiksanya Ibunya meninggal dalam kondisi berhutang janji dan uang. “Kasihan ibuku.” “Jangan bersedih begitu, Bu. Pak Emran dan Bu Qisya datang justru ingin membuat Ibu terbebas dari utang piutangnya,” terdengar suara Pak Ratno menghibur istrinya. “Sekarang, coba Ibu hubungi temannya Ibu, tanyakan apa benar Ibu punya utang janji.” Bu Mar mengangguk. “Baiklah. Aku akan menelepon Nek Marwah. Semoga saja beliau sudah sembuh.” Emran dan Qisya melihat Bu Mar melangkah ke kamar. Mungkin wanita itu merasa segan atau malu jika harus menanyakan perihal utang piutang keluarganya di depan Emran dan Qisya. Mereka memakluminya dan memberi waktu untuk Bu Mar. Sementara itu, Pak Ratno mencairkan suasana dengan mengajak Emran dan Qisya bercerita. “Dek Emran kelihatannya sudah cukup sehat,” ucap Pak Ratno disusul anggukan Emran. “Iya, Pak. Rasanya sudah cukuplah istirahat selama sebulan penuh di rumah sakit.” “Semoga tidak ada lagi kejadian buruk yang menimpa kita, Ya? Aamiin.” “Aamiin,” Emran dan Qisya menjawab bersama. Menit berikutnya, Bu Mar keluar dari kamarnya dengan muka cerah namun ada linangan air mata di kedua bola bening matanya. “Dek Emran, terima kasih banyak karena sudah mau datang ke sini menyampaikan hal yang sangat penting yang bersangkutan dengan ibuku. Tadi Nek Marwah membenarkan kalau dia memang menitipkan uang iuran pengajian dengan Ibu. Dan saat Ibu meninggal, kebetulan Nek Marwah terkena serangan jantung hingga tidak bisa datang ke mari. Nek Marwah berencana akan datang ke sini kalau sudah sembuh benar, untuk mengatakan perihal uang yang dititipkannya ke Ibu. Tetapi karena aku sudah meneleponnya, tampaknya dia sangat lega dan senang sekali.” “Mungkin Nek Marwah juga kepikiran soal uang itu, ya, Bu. Beliau pasti merasa sangat bersalah saat mengetahui Nek Rima meninggal sebelum sempat memberikan uang iuran itu ke grup pengajian,” ujar Qisya. Bu Mar mengangguk. “Benar sekali. Ibu dan Nek Marwah tampaknya sama-sama merasa tidak tenang. Tetapi tadi, aku sudah berjanji pada Nek Marwah untuk meneruskan uang iuran beliau ke grup pengajian. Dengan begitu, Ibu juga sudah bisa tenang sekarang.” “Alhamdulillah,” semua orang yang berada di ruang tamu tersebut mengucap syukur. “Sekali lagi, aku mewakili Ibu mengucapkan terima kasih banyak, ya Dek Emran. kalau saja Ibu tidak datang ke mimpi dek Emran, mungkin entah sampai kapan Ibu berada di sini, gelisah memikirkan utang janji yang belum dapat beliau lunasi.” Ucap Bu Mar dengan perasaan lega. “Sama-sama, Bu,” ucap Emran. “Saya juga merasa bersyukur karena semuanya kini sudah berakhir. Semoga Allah menerima segala amal ibadah Nek Rima. Memberi almarhumah tempat yang indah, di sisi Allah.” “Aamiin.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD