Hod 82, Praduga Tak Bersalah

1055 Words
Ada begitu banyak kemungkinan saat ini yang bisa di duga oleh semua orang. Namun, kebenaran pada akhirnya akan terungkap, meski harus melalui masa dan waktu yang cukup panjang. Melelahkan. Menguras air mata. Bahkan hampir seperti tak ada harapan. Seperti Melia. Dia pernah berharap suatu hari ada yang menemukan dirinya yang disekap begitu lama di ruang bawah tanah, entah berada di mana. Melia sangat yakin, Irfan pasti mencarinya dengan segenap tenaganya. Begitu juga orang tuanya. Polisi juga pasti sudah turun tangan untuk mencarinya. Dia menunggu dan menunggu dengan penuh penderitaan. Apa lagi saat sesulit itu, dia harus mengandung dengan bobot yang cukup besar, yang ternyata berisi anak kembar. Kebahagiaan yang mestinya dialaminya sebagai ibu muda yang melahirkan didampingi oleh suami tercinta dan keluarga yang menunggu dengan penuh rasa haru, semuanya hanya mimpi buruk yang tak sanggup digambarkan oleh kata-kata. Begitu banyak rasa sakit, sedih, air mata dan penderitaan yang telah dilaluinya selama bertahun-tahun disekap tanpa boleh keluar sama sekali. Lalu akhirnya Melia melupakan harapannya. Bahwa suatu hari dia akan terbebas, bahwa ada seseorang yang akan menemukannya, sudah tak lagi menjadi tananman yang subur di hatinya. Melia sudah putus asa akan hidupnya, meski dia tetap menyayangi kedua putrinya dengan sepenuh hati. Melia sudah melupakan keinginan untuk bebas, meski dia tetap menjaga dirinya dan kedua putrinya agar mereka tetap sehat dan tak kekurangan. Meski hidup sama sekali tak memihaknya, namun Melia punya tugas yang diberikan Allah kepadanya. Yaitu menjaga buah hatinya sebaik-baiknya. Melia pernah memohon kepada para penjaga rumah tempat dia disekap. Kepada Pak Rian atau Bu Tia, agar dia dibebaskan. Atau setidaknya, membebaskan kedua anak-anaknya. Atau menghubungi keluarganya agar menjemput kedua anak kembarnya. Atau permohonan-permohonan lainnya. Bahkan sudah lebih sejuta kali, Melia bermohon, namun semuanya sia-sia saja. Kedua suami istri itu seperti tak punya perasaan atau emosi kepadanya dan anak-anaknya. Mereka seperti robot yang hanya datang untuk membawa keperluan hidup Melia dan anak-anaknya. Selama bertahun-tahun, tanpa sekali pun merasa kasihan. Hingga suatu hari, entah apa yang terjadi, tiba-tiba terjadi kebakaran besar di rumah tersebut. Melia panik. Dia berpikir mungkin dia dan anak-anaknya akan mati di sana pada saat itu. Karena mereka benar-benar terkurung. Melia berpikir, kedua suami istri yang selama itu menjaga rumah tersebut pasti sudah melarikan diri untuk menyelamatkan diri mereka sendiri. Tetapi dugaanya salah. Pintu ruang bawah tanah yang biasanya terbuka hanya untuk menyalurkan keperluan mereka, kini terbuka untuk menyelamatkan mereka. Kedua suami istri itu berupaya mengajak Melia dan anak-anaknya untuk keluar dan menyelamatkan diri dari kebakaran tersebut. Melia berhasil keluar bersama Aulia dan Pak Rian. Namun sayang, Bu Tia dan Aufa masih berada di dalam rumah. Pak Rian kembali ke dalam rumah untuk mencari istrinya dan Aufa. Sayangnya, mereka tak selamat. Pak Rian langsung membawa Melia dan Aulia ke rumah dimana Irfan dan Emran menemukan mereka. Itu juga ternyata atas petunjuk Pak Rian. Sementara jasad Aufa dikubur entah di mana, Melia tak pernah diberitahu. Pak Rian juga hampir tidak pernah datang ke rumahnya. Hanya keperluan hidup Melia tetap dikirim melalui jasa online. Dan karena Pak Rian mengatakan bahwa penjahat yang menculik Melia beberapa tahun lalu itu masih berkeliaran, Melia takut menghubungi siapapun. Walau merasa terkucil, namun Melia ingin menjaga dirinya dan putrinya dari para penjahat tersebut. hidupnya saat itu sudah sejuta kali lebih baik dari pada sebelumnya, saat disekap di ruang bawah tanah. Melia sudah merasa sangat bersyukur karena terbebas dari penjara tersebut dan berjanji pada Pak Rian tidak akan menghubungi siapa pun. Namun tak disangka, Pak Rian sendiri yang memberi petunjuk pada Emran dimana keberadaan mereka. Termasuk dimana Pak Rian mengubur jasad Aufa. Mungkin Pak Rian sudah lelah menyimpan rahasia busuk orang yang membayarnya. Atau mungkin juga, Pak Rian sudah mendengar kalau yang menculik Melia sudah ditangkap, itulah mengapa akhirnya Pak Rian mengirim lokasi keberadaan Melia dan Aufa. Bagi Melia, apa pun yang dipikirkan oleh Pak Rian, dia pasti akan sangat berterima kasih jika saja lelaki itu masih hidup. Melia tahu, Pak Rian dan Bu Tia, hanya orang bayaran yang menjaga mereka. Bukan pelaku atau penjahat yang sesungguhnya yang telah merenggut kebebasannya selama bertahun-tahun ini. Terbukti, mereka harus membayar mahal dengan nyawa mereka, juga demi menyelamatkan Melia. Bu Tia harus tewas terbakar di rumah itu demi menyelamatkan Aufa yang saat itu terjatuh. Dan Pak Rian harus bunuh diri karena sudah tak sanggup lagi menahan kehilangan istrinya dan ancaman hukuman yang akan didapatnya jika polisi sampai menangkapnya. Meski hanya seorang bayaran, namun Pak Rian jelas bekerja untuk para penjahat. Tahu kalau ada prang yang diculik dan disekap di ruang bawah tanah, bahkan hingga bertahun-tahun, namun tetap tak melaporkan ke polisi. Jelas itu bisa diartikan sebagai kaki tangan penjahat. Itulah mungkin mengapa Pak Rian memilih lebih baik mengakhiri hidupnya setelah memberitahu keberadaan Melia dan jasad Aufa. Memang sungguh disayangkan mengapa Pak Rian memilih jalan sesat tersbut. Namun, mungkin Pak Rian tidak ingin dipenjara, walau hanya sesaat mengingat dia sudah membantu membebaskan dan menyembunyikan Melia di suatu tempat yang tidak diketahui oleh siapa pun. Namun semua itu sudah menjadi masa lalu. Melia sudah mendapatkan kembali hidupnya. Bersama anaknya Aulia dan bertemu juga dengan kekasih hatinya Irfan Huzair. Meski telah bertahun-tahun berpisah, namun cinta mereka tidak pernah mati. bahkan peristiwa buruk yang telah mereka alami, justru membuat perasaan mereka semakin erat dan lekat, tak akan mungkin terpisahkan oleh apa pun lagi. Irfan berjanji pada Melia dan putrinya Aulia, untuk menjaga mereka dengan segenap kekuatannya. Dengan nyawanya. Kalau dulu, dia mungkin masih lemah tak tak punya kekuatan sama sekali. Namun kini, Irfan telah memiliki segalanya, dan itu bisa membuatnya mendapatkan apa pun dan menjaga apa yang telah menjadi miliknya hingga tak mungkin bisa diambil oleh orang lain lagi. * Setelah menjalani beragam prosedur yang diperlukan pihak kepolisian, Iptu Bagas mempersilakan Irfan membawa Melia kembali ke hotel. Bahkan jika ingin kembali ke Jakarta, sudah diperkenankan. Iptu Bagas berjanji akan memberitahu tiap perkembangan yang terjadi pada kasus itu. Lagi pula, masih ada yang belum tertangkap. Yaitu, dalang dari penculikan tersebut. Meski Irfan mengatakan keyakinannya bahwa dalangnya adalah kedua orang tuanya yang sudah meninggal, namun sebelum semuanya terungkap, Iptu Bagas menganggap dugaan Irfan hanya sebagai praduga tak bersalah saja. Sebelum dia benar-benar mendapatkan bukti-bukti yang jelas dan akurat, siapa pun bisa menjadi dalang penculikan tersebut. Lagi pula, satu kenyataan yang belakangan terungkap, membuat dugaan Irfan menjadi kabur. Bahwa sebenarnya, Marlo tak pernah bertemu dengan orang yang memerintahkannya untuk menculik Melia. Dia hanya menerima telepon saja, yang diperkirakannya adalah orang tua Irfan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD