Hod 79, Mungkinkah Menemukan Jasad Aufa?

1127 Words
Irfan memandang adik iparnya dengan serius. “Kau yakin?” “Sebenarnya … tidak, sih, Mas,” jawab Emran menggeleng. “Nah, iya. Aku juga meragukan kemungkinan itu. Melia memang sudah kita temukan. Tapi Aufa belum. Jadi mungkin saja kau benar, Em. Bisa saja ini adalah petunjuk untuk menemukan Aufa.” “Itu karena kita sangat ingin menemukan jasadnya Mas. Makanya kita berharap kalau alamat ini adalah tempat kita menemukan Aufa. Tetapi bagaimana kalau jebakan?” Irfan mengangguk. “Nah, tentang itu juga memang harus kita pikirkan. Soalnya kita tidak tahu siapa yang mengirim pesan ini. Bisa saja pesan pertama kita menemukan Melia memang sengaja dibuat sebagai pancingan agar kita lemah, lalu dikirim alamat kedua untuk menjebak kita.” “Itulah yang kupikirkan, Mas.” “Tapi kalau kita mengabaikannya, kita bisa kehilangan petunjuk untuk mendapatkan jasad Aufa.” “Bagaimana kalau aku saja yang mendatangi alamat ini, Mas? Jadi kalau kenapa-kenapa, Mas bisa mengambil tindakan yang diperlukan.” Irfan langsung menggeleng. “Kau pikir aku akan membiarkanmu? Kau ingin mengorbankan dirimu untuk kepentinganku? Seolah kau telah melupakan kalau kau punya Zidan yang menunggumu di rumah.” “Aku bukan melupakan putraku itu, Mas. Tapi hanya ini satu-satunya kesempatan kita untuk mendapatkan jasad Aufa.” Sekali lagi Irfan menggeleng. “Aku tak akan mengizinkanmu pergi sendirian saja.” “Jadi … apa kita abaikan saja petunjuk alamat ini?” “Itu juga tidak. Kita tetap harus mencari tahu yang dikirim itu alamat apa. Tapi kita! Kita berdua yang akan ke sana untuk melihatnya.” “Bagaimana dengan keberangkatan kita ke Jakarta, Mas? Waktu kita tinggal dua jam lagi. Mestinya kita harus ke bandara sekarang.” “Aku akan memundurkan keberangkatan kita. Bersiaplah di mobil. Aku akan memberitahu Melia soal ini.” “Baik, Mas.” Irfan kembali ke restoran, di mana Melia dan Aura masih duduk di meja restoran menunggu Irfan datang, sementara Emran keluar menuju parkir. Sekilas, Emran seperti melihat ada yang melintas tak jauh dari sudut matanya. Tetapi gerakan itu sangat cepat hingga Emran tak dapat melihat siapa atau apa yang baru saja melintas di depannya. Emran hanya berharap kalau itu adalah Aufa. Dia ingin Aufa kembali muncul untuk meyakinkannya kalau alamat yang baru saja di share ke ponselnya adalah tempat gadis kecil itu disemayamkan. Entah oleh siapa, sama persis dengan pesan yang masuk ke ponselnya, dikirim entah oleh siapa. Nomornya langsung tidak aktif setelah pesan sampai. Puas Emran menghubungi nomor tersebut, namun jawabnya selalu sama. Nomor itu sedang tidak aktif. Jelas kalau nomor itu sudah langsung dibuang sesaat setelah pesan terkirim. “Aufa! Ayo muncul di depanku, Nak. Aku memerlukan mu!” bisik Emran sambil melihat ke arah sekeliling pelataran parkir yang sepi tersebut. namun Harapannya tidak terwujud. Aufa tidak muncul dan Emran mengakui, kalau dia memang tidak memiliki kemampuan memanggil arwah. Mata kirinya hanya mampu melihat makhluk halus saja. itu juga hanya dalam kondisi tertentu. Jika arwah itu memang memperlihatkan diri mereka kepadanya. Jika tidak, mata itu sama saja dengan mata kanannya. Yang tidak melihat hal-hal tak kasat mata. “Aufa!” panggil Emran lagi di dalam bisikan nya. Tetap tidak ada yang muncul. Emran mengeraskan suaranya, mencoba memanggil arwah gadis kecil itu, dengan harapan suaranya lebih didengar. “Kau memanggil Aufa, Em? apa kau melihatnya?” tiba-tiba terdengar suara Irfan yang baru saja menjejakkan kakinya di pelataran parkir. “Tidak, Mas. Aku tidak bisa memanggilnya,” jawab Emran lemah. Irfan melangkah mendekat. Tangannya terulur dan menepuk bahu adik iparnya tersebut. “Sudahlah. Tidak apa-apa, Em. Mungkin dia masih marah atau merasa belum saatnya memperlihatkan diri.” “Iya, Mas.” “Ayo kita berangkat!” “Baik, Mas.” Emran membuka pintu mobil dan mereka segera bergerak keluar hotel untuk mencari alamat yang di share ke ponselnya. Dengan mengikuti aplikasi petunjuk arah yang terpasang di ponsel Emran, mereka membelah lalu lintas kota Surabaya yang macet nya sudah hampir menyerupai kota Jakarta. Apa lagi sekarang sudah hampir jam pulang kerja. Semoga saja mereka bisa mencapai alamat tersebut sebelum semua pekerja di Surabaya tumplek ke jalan untuk pulang ke rumah masing-masing. “Tujuan kita berada di depan, Mas, kalau menurut peta ini. Sebentar lagi kita akan sampai.” “Dari yang kulihat, sepertinya kita sedang menuju Kebun Binatang Surabaya.” “Iya, Mas benar.” Mobil mereka meluncur lancar menuju lokasi yang sedang mereka bicarakan. Lalu terdengar suara gumaman Irfan yang perlahan masuk ke telinga Emran. “Kalau saja situasinya normal, aku ingin juga mengajak Aura ke kebun binatang terbesar se-Asia Tenggara itu, Em. apa lagi ditambah aku juga belum pernah masuk ke sana.” “Mas belum pernah masuk?” tanya Emran tertawa kecil. “Jangan tertawa! Kau seperti lupa saja bagaimana masa kecilku.” Emran terdiam. Benar juga. Masa kecil kakak iparnya itu memang bisa dibilang menyedihkan. Irfan terkurung di sangkar emasnya, hingga kemungkinan dia juga tidak pernah kemana-mana sebelum akhirnya dia membebaskan diri dari rongrongan orang tuanya. “Mas, ada yang ingin kutanyakan, jika Mas tak berkeberatan menjawab,” ucap Emran hati-hati. Dia takut Irfan malah terbawa suasana lalu emosinya kembali memuncak. “Usia berapa Mas kabur dari rumah?” Irfan diam sejenak. Lalu dia menoleh untuk melihat ke arah Emran. “Pasti Qisya yang memberitahumu kalau aku kabur dari rumah, ya?” Emran mengangguk. “Iya Mas.” “Tapi dia tidak mengatakan semua hal tentangku?” Sekali lagi Emran mengangguk. “Iya, Mas. Tampaknya Qisya tidak ingin terlalu lancang menceritakan perihal Mas. Bahkan kepadaku, dia hanya mengatakan hal-hal yang penting diketahui saja. Qisya sangat menghargai Mas. Jadi jika Mas berpikir aku banyak tahu tentang Mas, itu salah. Bagiku Mas seperti sebuah misteri.” Irfan mengerutkan keningnya. Lalu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. “Jangan terlalu merendah, Em. Yang paling cocok disebut orang yang penuh misteri adalah kau! Aku bahkan tidak tahu apa-apa tentangmu, kecuali kau adalah suami Qisya, adik sepupuku. Hanya itu saja. Sama seperti yang kau katakana tadi. Qisya tampaknya enggan menceritakan perihal suaminya kepada orang lain. Jadi … sebenarnya, aku tidak banyak tentangmu. Tentang keluargamu dan semua yang bersangkutan denganmu. Ditambah aku juga tidak suka mencampuri urusan orang lain, lengkaplah sudah.” Emran menyeringai. Irfan yang selama ini terlihat seperti orang yang sama sekali tak peduli kepadanya, ternyata diam-diam memperhatikannya juga. Syukurlah. Itu artinya, Irfan tidak mengabaikannya. Meski tak terlihat terang-terangan, namun Emran tahu, kakak iparnya itu sangat peduli pada orang lain. Terlebih kepada keluarga. “Tapi, bagiku, saat melihat Qisya bahagia dengan pilihannya, itu saja sudah cukup. Tak perlu mencari tahu hal-hal yang tanpa diketahui juga, semua baik-baik saja,” tambah Irfan yang langsung disambut dengan anggukan Emran. “Mas benar. Dan aku tidak akan membuat Qisya menderita. Aku mencintainya.” “Baguslah.” Emran melihat ke peta petunjuk di ponselnya, lalu melihat ke arah tujuan mereka. “Sepertinya kita sudah sampai ke lokasi tujuan kita, Mas.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD