Hod 80, Mayat di Pondok Tua

1222 Words
Mendengar perkataan Emran barusan, sekujur tubuh Irfan menegang. Di dalam hatinya, dia sangat berharap akan menemukan Aufa, anak yang tak pernah dilihatnya itu. meski hanya dalam berbentuk jasad sekali pun, Irfan ikhlas. Dia percaya, semua hal yang telah terjadi selama ini di dalam kehidupannya, adalah memang sudah ditakdirkan oleh sang pencipta untuk dirinya. Bahkan ketika dia ditakdirkan memiliki orang tua yang telah merenggut orang-orang yang sangat disayanginya. “Mas?” Emran melihat kakak iparnya itu malah melamun. Padahal dia sudah hampir satu menit memarkirkan mobilnya di tepi jalan, tepat di depan jalan masuk sempit yang tidak dapat dilalui oleh mobil. Irfan tersentak mendengar panggilan Emran. Dengan segera dia mempersiapkan diri untuk menghadapi apa pun yang akan mereka temukan nanti. “Ayo kita turun,” katanya membuka pintu mobil. Emran melakukan hal yang sama. “Sepertinya, lokasinya ada di dalam sana, Mas,” ujar Emran sambil memperlihatkan peta di ponselnya. “Ayo.” Mereka berjalan memasuki jalan setapak yang sepertinya berada di belakang lokasi Taman Hewan. Kemungkinan besar, jalan setapak itu buntu, mengingat lokasi tersebut sepi dan jalan setapaknya juga dipenuhi semak belukar. Di ujung jalan tersebut, mereka melihat sebuah pondok tua. Kemungkinan besar, pondok itulah tujuan mereka. “Tujuan kita sepertinya ada di pondok itu, Mas,” ucap Emran. Irfan mengangguk membenarkan. Tetapi baru saja mereka meneruskan langkah masuk beberapa meter, tiba-tiba mereka mendengar suara letusan keras yang membuat keduanya terkejut dan langsung melompat bersembunyi. “Suara apa itu? Pistol?” tanya Emran setengah berbisik. Irfan mengangguk. “Sepertinya iya.” “Astagfirullah. Apa kita diserang, Mas?” muka Emran mendadak memucat. Wajah Qisya dan Zidan langsung terbayang di pelupuk matanya jika dia harus menghadapi situasi yang berbahaya. Dia tak sanggup membayangkan kalau dia kenapa-napa dan terpaksa meninggalkan anak dan istrinya menghadapi hidup sendirian saja di dunia ini. “Bukan. Kalau kita diserang, pasti salah satu dari kita sudah kena tembakan.” “Benar juga, Mas. Jarak pondok itu tidak begitu jauh. Siapa pun bisa menembak kita dan …,” Emran tak meneruskan kalimatnya. Ada kabut asap yang mendadak datang dan memenuhi tempat itu sebelum akhirnya matanya membesar ketika dia melihat sosok kecil yang tiba-tiba muncul dari dalam kabut asap itu, yang tak jauh dari hadapannya. “Aufa ….” Irfan langsung menoleh mendengar Emran menyebut nama anaknya. “Em? Kau melihat Aufa?” “Iya, Mas. Aufa muncul, Mas. Kita berada di tempat yang benar. Aufa! Akhirnya kau mau menemui ku lagi.” Aufa tak menjawab. Sosok kecil berwajah putih seputih baju yang dikenakannya itu menggerakkan tangan kanannya dan menunjuk ke arah pondok. “Kau ingin kami ke sana?” Aufa mengangguk. “Apa kau … ada di sana?” Aufa masih tak menjawab. Wajahnya menyiratkan rasa sedih dan duka yang teramat dalam. Matanya tajam memperhatikan sosok ayahnya yang berada di samping Emran. Mata yang bulat dan bening itu, mungkin sangat ingin melihat ayahnya memeluk dirinya. Mendengarkan suaranya. Dan merasakan kasih sayangnya. Namun mata itu hanya bisa menatap dengan perasaan rindu yang membuncah. Lalu lamat-lamat Aufa mengangguk, menjawab pertanyaan Emran. “Apa ayahku menyayangiku, Om?” tiba-tiba Aufa bertanya dengan pandangan yang tak lepas dari sosok Irfan. “Tentu saja, Aufa. Ayahmu sangat menyayangimu. Kau ingin mendengar langsung dari suara ayahmu?” tanya Emran cepat. Aufa tak menjawab. Sementara Emran langsung menyampaikan pertanyaan tersebut pada Irfan. mendengarnya, setitik air keluar dari sudut mata Irfan. “Aufa, maafkan ayah karena tak bisa melihatmu. Maafkan ayah karena tak mampu menjagamu. Maafkan ayah, Nak …,” Irfan tak mampu menahan tangisnya. Laki-laki bertubuh kekar itu menangis sedih kala membayangkan apa yang barusan dikatakannya. “Maafkan ayah karena telah membuatmu menderita sampai detik ini, Nak. Maafkan ayah. Tapi percayalah, ayah sangat mencintaimu, Nak. Ayah sangat menyayangimu dan sangat merindukanmu. Jika saja ayah bisa membalikkan waktu, ayah pasti akan berusaha menjagamu, Nak. Menjaga ibumu dan saudara kembar mu juga. Ayah tidak akan membiarkan seorang pun menyakiti kalian ….” Wajah Aufa yang sebelumnya tampak tegang dan pucat, perlahan terlihat melunak dan di dalam pandangan Emran, di wajah itu seperti mengalir warna yang membuatnya tampak seperti anak yang hidup. “Aufa … kau mendengar semua ucapan ayahmu?” tanya Emran memastikan. Aufa mengangguk. “Katakan pada ayah, kalau Aufa juga sangat menyayangi ayah, ya, Om. Meski Ayah tak dapat melihat Aufa, asalkan ayah mengingat Aufa, itu saja sudah cukup.” “Baik, Aufa. Om pasti akan menyampaikannya. Kau tidak perlu meragukannya, Aufa. Ayahmu, ibu dan saudara kembar mu, Om, semua menyayangimu dan tidak akan melupakanmu.” Aufa mengangguk. Lalu tangannya menunjuk ke arah pondok tua di ujung jalan setapak. Setelah itu, perlahan wujud gadis kecil berwajah cantik itu memudar bersama kabut asap yang perlahan menghilang dari pandangan Emran. Bersamaan dengan terdengarnya suara halus Aufa saat mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal pada Emran. “Terima kasih banyak, Om. Aufa sayang Om. Selamat tinggal ….” “Aufa ….” “Kenapa Aufa, Em? apa dia menghilang lagi? Apa dia marah? Apa dia tidak mendengar semua ucapanku?” tanya Irfan mendadak panik saat melihat Emran seperti kehilangan. “Aufa sudah pergi, Mas. Mungkin kali ini untuk selama-lamanya. Karena tadi dia mengucapkan selamat tinggal,” ujar Emran sedih. “Jadi … sungguh Aufa tidak akan memperlihatkan dirinya lagi?” Emran mengangguk. “Tetapi Aufa tidak marah, Mas. Mungkin memang sudah waktunya Aufa pergi ke tempat yang semestinya. Ke dunianya. Tetapi Mas tak perlu cemas. Aufa mendengar semua yang Mas katakan. Aufa tampak bahagia mendengar ucapan mas.” “Alhamdulillah.” “Aufa ingin kita ke pondok itu, Mas. Besar kemungkinan, jasad Aufa berada di sana.” “Ayo.” “Tapi bagaimana dengan suara letusan tadi, Mas? Apa jangan-jangan sudah ada yang menunggu kita di sana? Yang siap-siap mencelakai kita demi menghapus jejaknya?” “Kalau benar seperti itu situasinya, tidak mungkin Aufa meminta kita datang ke sana, kan?” bantah Irfan. Emran mengangguk. “Iya, Mas. Aufa tidak akan mencelakai kita. Justru dia sangat menyayangi kita. Ayo kita ke sana.” Keduanya melangkah pasti meski dalam situasi berhati-hati. Mereka takut, kalau-kalau ada seorang atau beberapa orang yang menunggu kedatangan mereka di pondok tua itu. Namun saat mereka sampai, tidak tampak ada seorang pun di sekitar pondok. Lalu ketika mereka masuk. Yang pertama mereka lihat adalah rumah tua yang kosong dan jelas sudah lama tidak ditempati oleh manusia. Dan di tengah-tengah lantai, ada sesosok pria yang terbaring diam tak bergerak. Di sekitarnya, banyak terdapat genangan darah. “Innalillahi ….” Emran dan Irfan mengucap disertai perasaan kaget. Darah kental yang mereka lihat ternyata keluar dari lubang di kepalanya. Sebuah pistol masih berada di tangan kanannya. Dari situ Irfan dan Emran menyimpulkan kalau orang tersebut baru saja bunuh diri dengan pistolnya. Dan kemungkinan, suara letusan tadi berasal dari pistol yang dipakainya untuk bunuh diri. “Siapa orang ini, ya Mas? Kenapa Aufa meminta kita ke sini untuk melihatnya?” tanya Emran. “Siapa pun orang ini,” jawab Irfan sambil mengeluarkan ponselnya. “Biar polisi saja yang mencari tahu. Kita jangan menyentuhnya. Aku akan menelepon Iptu Bagas.” “Aku akan keluar, Mas. Sapa tahu aku bisa menemukan makam Aufa di sekitar sini,” ucap Emran segera melangkah ke luar. Berkeliling sebentar, hingga dia mendapatkan sebuah gundukan tanah yang dibuat seperti makam yang sangat sederhana. Emran mendekati dan mengukur panjang gundukan itu dengan pandangannya. Setelah itu dia langsung memanggil kakak Iparnya. “Mas! Kurasa aku sudah menemukan makam Aufa!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD