Hod 26, Batal Makan Bakso

1319 Words
Emran menyesap cairan hitam pekat sembari mengedarkan pandangannya ke sembarang arah. Tatapannya beralih ke arloji yang melingkar di tangannya. Bibirnya melengkung memperlihatkan senyuman bahagia tatkala melihat bahwa waktu pulang dari tempatnya bekerja tinggal lima menit lagi. Akhirnya, setelah sekian lama memberi janji kepada Qisya untuk mengajak perempuan itu pergi jalan-jalan pun terlaksana. Memang akhir-akhir ini Emran tengah disibukkan oleh pekerjaannya. Jangankan mengajak sang istri pergi keluar, yang ada ia malah langsung tertidur pulas setelah sampai di rumah. Senyuman Emran seketika sirna saat menyadari bahwa kopi yang disesapnya terasa masih pahit. Tidak ada gula dalam kemasan yang berada di dekatnya. Dari pada kopinya terbuang percuma, ia pun berinisiatif untuk meminta gula ke meja bar. “Permisi, boleh minta gula?” pinta Emran sambil tersenyum. “Boleh, Pak Emran,” jawab seorang waiters yang tengah mengocok minuman. Ia melirik ke arah sekitarnya dan tidak mendapati gula sachet di sana. Hanya tersisa krimer. “Pak Emran, sebentar ya. Nanti saya ambilkan,” ujarnya karena stok gula kemasan berada di tumpukan rak bawah. Suasana Cafe yang tengah ramai membuat para pekerja sibuk untuk melayani para pelanggan. Mendapati keadaan yang ada, Emran tak ingin menyusahkan orang-orang di bar. Akan lebih baik jika ia mengambil gula itu sendiri. “Ya sudah, tidak apa-apa, aku akan mengambilnya sendiri,” sahut Emran. Emran masuk ke meja bar dan memposisikan tubuhnya untuk duduk di lantai. Ia menelaah isi rak hingga akhirnya menemukan apa yang sedang dicarinya. “Nah ini dia!” gumam Emran senang. Ia mengambil satu sachet gula karena hanya itu yang ia butuhkan. Saat hendak berdiri, hidung Emran mengendus aroma anyir yang membuatnya mual. “Hmm, bau apa ya ini?” Ia menjepit hidungnya dengan dua jari. Pria itu masih dengan posisi duduk sembari mengedarkan pandangannya ke sekitar. Siapa tahu ada bangkai tikus, atau cicak yang menyebabkan aroma tak sedap ini. Meskipun Emran tahu bahwa aroma ini lebih dominan ke arah amisnya bau darah. Bukannya mendapati bangkai tikus, netra Emran mendapati satu tetes cairan berwarna merah yang mendarat tepat di punggung tangannya. Ia memperhatikan tetesan merah yang terlihat mirip dengan darah. Apa jangan-jangan ada sesuatu yang berada di balik plafon? Pikiran Emran mengarah ke situ. Tes! Satu tetes darah kembali jatuh, tetapi kali ini cairan itu mengotori lantai. Rasa penasaran Emran semakin besar. Jika ada hal yang janggal di balik plafon, maka ia akan segera mengatasinya. Pria itu mendongakkan pandangannya tanpa rasa curiga sedikit pun. DEG! Mata Emran bergetar tatkala menatap sosok wanita dengan wajah hancur yang menempel di plafon. Lidah panjangnya menjulur dengan mata merahnya yang menyala. Dari wajahnya, terus mengalir darah yang menyebabkan bau anyir. “Astagfirullah!” pekik Emran sambil menutup kedua matanya rapat-rapat. Para pekerja di bar menghampiri dan menenangkan kepala securiti itu. “Pak Emran, ada apa?” tanya para pekerja itu. Tubuh Emran menggigil dingin. Dari sekian banyak penampakan yang pernah muncul semenjak dia mampu melihat hantu, sosok yang menempel di atasnya tampak sangat mengerikan dan membuat Emran bergidik takut. Deru napasnya terengah. Ia membuyarkan jari-jari yang menutupi wajahnya dengan perlahan. “Apa ... apa kalian melihat sesuatu di atas? Seperti ... hm, bangkai tikus, misalnya?” tutur Emran sambil mengacungkan jari telunjuknya ke arah atas. Ia sendiri menunduk, tak berani untuk melihatnya kembali. Rupa hantu berwajah hancur itu teramat menjijikkan. Segala bentuk luka yang menghiasi wajahnya masih melekat kuat di ingatan Emran. Mereka semua menatap ke arah atas, dan tidak mendapati apa pun di sana. “Pak Emran, tidak ada apapun di sana. Apa lagi bangkai tikus. Kalau pun ada, pasti sudah jatuh, kan? Mana mungkin menempel di sana. Mungkin Pak Emran terlalu kecapekan hingga sampai berhalusinasi,” sahut seorang waiters. Emran memberanikan diri untuk melihat ke atas guna membuktikan perkataan mereka. Sosok berwajah hancur tersebut memang sudah tidak berada di sana. Ia mengucek matanya agar bisa melihat jernih. Dan tetap saja, sosok itu telah lenyap dari pandangannya. Emran menghembuskan napas berat yang sudah ia tahan sejak tadi. “Kadang mata ini membuatku tak nyaman. Dan anehnya, tidak kali aku hendak mencari donor mata yang baru, selalu saja gagal,” bisik Emran kepada dirinya sendiri. Sebagai pembuktian agar dirinya semakin yakin, Emran mengecek tetesan darah yang berada di punggung tangannya. “Sudah tidak ada,” gumam Emran tatkala mendapati cairan merah itu turut lenyap dari kulitnya. Ia meraup kasar wajahnya. “Iya, sepertinya benar. Tadi ada penampakan di atas sana. Dan hanya aku yang bisa melihatnya dengan mata kiri ini. Saat penampakan itu hilang, lenyap pula darah yang menetes tadi,” ucapnya mengambil kesimpulan atas kejadian yang baru saja dialaminya. Karena jam pulang kerja telah tiba, Emran bergegas pulang ke rumahnya. Ia melupakan kopi yang rencananya akan kembali diminumnya setelah diberi tambahan gula. *** “Mas Emran sudah sampai,” sapa Qisya sambil mengecup punggung tangan sang suami. Emran tersenyum samar. Ia merasa masih murung karena kejadian yang menimpanya tadi. Di sepanjang perjalanan, Emran terus terbayang rupa menyeramkan hantu tersebut. Ia menyimpulkan bahwa dirinya berhalusinasi, tapi peristiwa itu benar-benar terlihat sangat nyata baginya. “Mas kita nanti jadi kan jalan-jalannya?” Suara Qisya membuyarkan lamunan Emran. “Iya, jadi kok,” jawab Emran spontan. “Yeayyy! Makasih, Mas Emran!” Qisya merangkul Emran sembari menghadiahkan kecupan di pipi pria itu. “Aku siap-siap dulu ya, Mas!” Kemudian perempuan itu berlalu meninggalkan Emran yang masih termenung. *** Setelah puas mengelilingi jalanan di kota, perut Qisya terasa keroncongan. “Mas, ayo kita makan sesuatu yuk!” ajaknya. “Kamu mau makan apa, Sya?” respon Emran. Qisya memutar bola matanya sembari berpikir. “Malam-malam seperti ini, enaknya makan yang berkuah-kuah. Bagaimana kalau makan bakso saja? Di bakso langganan kita,” usul Qisya. “Iya, Sya. Aku setuju.” Mereka pun bergegas pergi ke sebuah warung bakso yang menjadi langganan mereka. Tempat itu tak pernah terlihat sepi pembeli. Bahkan sampai mengantri untuk mendapatkan meja. “Huftt, sudah lama sekali kita tidak datang ke sini. Aku sangat merindukan tempat ini,” ujar Qisya sambil menopang dagu dengan tangannya. “Iya, aku berjanji akan lebih sering mengajakmu jalan-jalan,” sahut Emran. Sembari menunggu pesanannya datang, Emran mengedarkan pandangannya ke sembarang arah. Tiba-tiba, matanya terbuka lebar saat melihat ada makhluk berwujud pocong menghampiri meja pelanggan lain. Sosok pocong itu mendekatkan wajahnya ke mangkuk dengan ludah yang sudah mengucur mengaliri kuah bakso si pelanggan. “Astaga!” ucap Emran sambil seketika mengalihkan pandangannya. Berselang beberapa detik, pesanan Emran dan Qisya telah tiba di meja mereka. Qisya bertepuk tangan kecil karena girang. “Mas, ayo kita makan baksonya!” ajak perempuan itu. Emran hanya terdiam. Ia menyadari pergerakan sosok makhluk yang mendekati mejanya. Seusai bakso tersaji di meja, pocong itu berpindah tempat untuk meludahi bakso yang baru. Emran tercengang melihat air liur menjijikkan yang menetes di kuah bakso Qisya. Saat perempuan itu hendak memakan bakso tersebut, Emran menepis tangannya hingga alat makan Qisya jatuh ke lantai. “Mas Em, kamu kenapa?! Kok sendokki ditepis gitu?” pekik Qisya terkejut melihat tingkah aneh suaminya yang tak biasa. “Ayo, ikut aku, sayang! Nanti kujelasin,” Emran mencengkeram erat pergelangan tangan Qisya dan memaksa perempuan itu untuk bangkit dari duduknya. Ia enggan menceritakan hal yang dilihatnya langsung di tempatnya. “Memangnya ada masalah apa, Mas? Bilang aja di sini, kan bisa sambil makan bakso! Aku udah pingin banget, Mas,” protes Qisya. Emran tak menggubris gerutuan Qisya. Ia segera membayar pesanannya bahkan uang kembaliannya tidak ia ambil saking terburu-burunya. “Mas Emran, kamu kenapa, sih?!” pekik Qisya mengkel setengah mati saking kepinginnya makan bakso kesukaannya tapi dihalangi sama suami sendiri. Bukannya didukung, malah ditarik menjauh dari warung bakso entah karena apa. “Nanti aku jelaskan di rumah, sayang! Sudah, pokoknya kita jangan makan di situ lagi!” ucap Emran setelah posisi mereka menjauh dari warung bakso tersebut. Di sepanjang perjalanan, Qisya terdiam seribu bahasa. Ia merasa sebal dengan sikap suaminya yang tiba-tiba berubah aneh. Emran tak ambil pusing mendapati istrinya yang ngambek. Yang terpenting ia telah menyelamatkan sang istri dari melahap bakso berkuahkan air liur pocong tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD