Hod 63, Mengungsikan Keluarga Marlo

1184 Words
Irfan mendengkus kesal sambil melihat ke Marlo. “Ini pistol si bedeba4h ini.” “Kok bisa ada pada Mas? Lalu … luka-luka mereka?” Emran benar-benar bingung dan ditambah khawatir. Pistol Marlo ada pada Irfan, sementara yang kelihatan mendapat luka tembak adalah Marlo sendiri. Sementara salah seorang anak buah Irfan juga mengalami luka, yang mungkin di dapat dari berkelahi. “Marlo ingin menembakku! Tetapi aku sangat bersyukur memiliki anak buah yang setia seperti mereka,” ucap Irfan mengangguk pada ketiga anak buahnya. Disambut oleh anggukan kepala dari para pengawal tersebut kepada bos mereka. Irfan menceritakan kronologi kejadian, sementara salah satu anak buahnya membekap luka Marlo, lalu mengikat tangannya dan memasukkannya ke dalam mobil mereka. Tadi saat Irfan bertanya, Marlo ternyata telah menyiapkan pistol di belakang balik jaketnya. Jelas sekali orang itu punya niat yang jahat, karena sifatnya memang sudah jahat sejak dulu. Entah bagaimana almarhum ayahnya bisa bertemu dengan manusia seperti Marlo. Tapi Irfan tak peduli dan mengabaikan pertanyaan yang hinggap di benaknya itu. Kepada Emran, dia mengatakan, Marlo sangat keras kepala dan memperlihatkan sikap menolak serta memberontak. Lalu ketika dipaksa dan di desak, alih-alih menjawab, Marlo malah mengeluarkan pistolnya dan bermaksud hendak menembaknya. Tetapi ketiga anak buahnya langsung menyerbu untuk menghalangi niat jahat tersebut. Lalu terjadi perkelahian untuk merebut pistol Marlo dan tahu-tahu pistol itu meletus, mengenai kaki Marlo sendiri. “Sayangnya hanya luka gores. Mestinya tembus saja ke tulangnya biar diamputasi sekalian!” “Ya Allah. Syukurlah hanya luka gores, Mas. Jadi kita tidak perlu membawanya ke rumah sakit, kan?” “Tembus ke jantungnya juga tetap saja aku tidak akan membawanya ke rumah sakit!” geram Irfan dengan muka dingin. “Aku akan membawanya langsung ke kuburan.” “Dan kita kehilangan informasi penting untuk mencari jejak mbak Melia.” Irfan terdiam. “Tapi syukurlah Mas tidak apa-apa,” Emran menarik napas lega. “Sekarang, bagaimana, Mas?” “Marlo sudah bicara. Kita akan pergi ke tempat yang disebutkannya.” “Tapi bagaimana dengan istri dan anak-anaknya, Mas? Mereka ada di kamar saat ini.” Irfan memaki tanpa mengeluarkan suara. Kesal karena masih ada yang harus mereka selesaikan sebelum mereka menuju tempat yang akan menguak misteri hilangnya Melia. “Tinggalkan saja! Ini kan rumahnya!” ujar Irfan. “Jangan, Mas. Ini bukan rumah mereka. Ini adalah tempat persembunyian Marlo. Marlo membawa paksa istri dan anak-anaknya ke mari dua bulan yang lalu. Rencananya, Marlo akan membawa mereka ke Malaysia. Syukur Alhamdulillah kita datang sebelum Marlo benar-benar minggat. Tetapi, Meri dan anak-anaknya kan tidak bersalah, Mas. Kita tidak bisa meninggalkan mereka di sini bahkan kelihatannya tanpa uang sama sekali.” “Meri?” “Itu nama istri Marlo.” “Jadi bagaimana?” tanya Irfan akhirnya. “Setidaknya kita membawa mereka keluar dari rumah ini. Mencarikan mereka taksi agar mereka bisa kembali ke rumah mereka di Bekasi, Mas.” Irfan mengangguk. “Baiklah. Bawa mereka ke mobil,” ucapnya lalu mengeluarkan ponsel untuk memberi aba-aba kepada para anak buahnya. Sementara itu, Emran masuk dan langsung membuka pintu kamar. Meri dan anak-anaknya tampak ketakutan dan ada jejak-jejak air mata di wajah mereka. “Kalian membunuh Marlo?” tanya Meri cepat. Wajahnya terlihat sangat cemas. Emran menghela napas. Marlo adalah penjahat kelas kakap pada masanya. Bahkan sampai saat ini, dia juga masih jahat hingga menyimpan pistol entah dengan maksud apa. Tetapi anehnya, Marlo bisa memiliki istri yang tampak mencintai dan mengkhawatirkannya. “Tidak ada yang terbunuh, Nyonya,” jawab Emran menenangkan. “Suara tembakan tadi?” “Itu suara pistol Marlo sendiri.” “Ya Allah ….” Meri mengucap kaget. “Kau tahu kalau suamimu punya pistol?” Meri mengangguk. “Aku pernah melihatnya. Tetapi katanya itu cuma korek gas saja. Dan aku percaya begitu saja padahal aku tahu suamiku bekas preman.” “Bekas preman? Jadi menurutmu, suamimu sudah bertobat?” Meri menghela napas. “Entahlah. Aku tidak tahu. Selama dua bulan berada di sini, aku tidak tahu pekerjaannya apa. Dia pergi pada malam hari dan sering pulang pagi. Katanya dia kerja sebagai satpam hotel,” Meri meremas-remas tangannya, “ Jadi … suara pistol tadi?” “Marlo ingin menembak atasanku. Tetapi malah kena dirinya sendiri.” “Ya Allah, ” “Tidak parah. Hanya luka gores saja di kakinya.” “Boleh kami melihatnya?” “Sayangnya, untuk saat ini, tidak bisa. Kami punya kepentingan terhadap suami nyonya. Sekarang, ayo ikut saya, Nyonya. Kami akan membawa kalian ke jalan besar dan mencarikan raksi online untuk kalian kembali ke Bekasi,” ucap Emran. “Atau Nyonya mau kalian di sini saja?” “Tidak! Tentu saja tidak, Pak. Ini bukan rumah. Aku dan anak-anak sudah sangat menderita selama di sini. Kami sangat berterima kasih kalau bisa kembali ke Bekasi, Pak,” jawab Meri penuh semangat. Dia langsung menyuruh anak-anaknya yang masih kecil-kecil mengambil baju-baju mereka dan mengemasinya ke dalam koper. Emran langsung meraih koper tersebut dan menggiring rombongan kecil itu keluar rumah. Irfan sudah menunggu di portal dengan tak sabar. Namun begitu melihat kondisi istri dan anak-anak Marlo yang kelihatan sangat mengenaskan, rasa iba di hatinya langsung menyergap. Dengan sekali gerakan, kedua anak laki-laki Marlo yang mungkin berusia sekitar 3 dan 5 tahun, sudah diangkatnya dan langsung dimasukkan ke dalam mobilnya. Menyusul Meri masuk. “Mah, kita akan pergi kemana?” tanya anak laki-laki Meri yang paling tua. “Pulang ke rumah eyang, Nak,” jawab Meri sambil membelai rambut anaknya. “Asyiik!” sorak anak itu. “Dek, kita akan pulang ke rumah Eyang,” ucapnya kepada adiknya. Anak yang lebih kecil hanya menyeringai, entah dia paham apa yang dimaksud oleh kakaknya atau dia hanya senang melihat kakaknya senang. Emran melihat ke belakang sekilas dan tersenyum. Irfan juga terlihat melihat ke rombongan kecil itu melalui kaca spionnya. “Mah, Papah gak ikut ya?” tiba-tiba anak Meri bertanya lagi dengan suaranya yang halus. Meri diam, melihat ke arah Emran sejenak, lalu kembali ke anak lelakinya. “Papah masih ada urusan, sayang. Mungkin besok-besok akan menyusul.” “Tapi kata Papah kita mau ke Malaysia, Mah? Apa gak jadi ya?” Lagi-lagi Meri terdiam sejenak, mencoba mencari jawaban yang paling tepat untuk memuaskan rasa ingin tahu anaknya. “Kalau urusan Papah sudah selesai, dia pasti akan mendatangi kita dan kita bisa tanya apa jadi pergi ke Malaysia atau tidak, sayang.” “Tapi aku tidak mau, Mah. Aku lebih suka kita tinggal sama eyang. Di rumah eyang selalu rame. Ada paman, bibi, kawan-kawan di sebelah rumah. Aku gak mau kalau Papah datang dan membawa kita lagi ke rumah tadi lagi. Aku gak mau kita tinggal dengan Papah lagi. Papah sering marah-marah kalau aku nanya kapan aku sekolah lagi.” “Ya Allah, sayang …,” Meri membelai kepala anaknya dan memeluknya dengan erat. Diciumnya kening anaknya dengan penuh kasih. Setitik air mata jatuh ke pipinya. “Kalau gitu, nanti kita akan di rumah eyang saja. Gak usah pergi kemana-mana. Mamah juga gak pingin kemana-mana. Cukup di rumah eyang saja. Kalau Papah datang, kita gak perlu mengikutinya. Oke?” “Oke, Mah!” Anak laki-laki itu memeluk ibunya dengan perasaan senang. Sementara Emran dan Irfan hanya mendengarkan perbincangan penuh makna itu tanpa berkata-kata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD