Hod 62, Suara Tembakan

1108 Words
Melihat istri dan anak-anak Marlo masuk ke dalam rumah, Irfan menoleh ke Emran. “Em, pastikan mereka tidak berada di balik pintu dan menguping.” “Baik, Mas.” Emran bergerak masuk ke dalam rumah. Ternyata apa yang diperkirakan Irfan, memang benar. Dia mendapati istri Marlo tengah berada di balik pintu bahkan sedang mengintip. “Nyonya! Kurasa suamimu pun tidak ingin kau berada di sini!” tegur Emran membuat wanita itu sedikit malu. “Pak, apakah mereka akan melukai suamiku? Apakah mereka akan menyiksanya? Pak, sebenarnya, apa yang sudah suamiku lakukan? Apa dia … membunuh?” tanya wanita itu cepat. Matanya yang bulat menatap Emran penuh tanda tanya. Emrah tidak tega melihatnya. Bagaimana mungkin pria seperti Marlo bisa mendapatkan istri yang baik dan mencintainya pula? “Nyonya, ayo kita ke ruang tengah saja. Atau ke kamarmu. Kasihan anak-anakmu kelihatannya sangat lelah. Kau harus menidurkan mereka.” “Mereka sudah tidur, Pak,” ucap wanita itu. “Apa mereka sudah makan?” Wanita itu diam sejenak. “Aku baru mau membuat sarapan ketika kalian datang.” Emran mengangguk. “Kalau begitu, ayo bawa anak-anakmu ke kamar. Biarkan mereka bermain di sana sementara kau memasak sarapan untuk mereka.” “Dan kau akan di situ terus untuk menjaga kami?” “Benar sekali,” jawab Emran cepat. Dia sudah memutuskan, lebih baik berada di dalam rumah dari pada harus melihat Irfan dan anak buahnya menghajar Marlo di belakang rumah. Walau bagaimana pun, dia sangat cinta damai. Dari pada dia hanya akan menghambat Irfan dalam mencari tahu di mana kekasihnya berada, lebih baik Emran di dalam saja. “Namaku Meri,” ucap wanita yang sudah mulai mengeluarkan beberapa bahan makanan dari dalam lemari pendingin. “Aku Emran, Nyonya.” Meri memandang Emran dari kepala hingga ke kaki. “Sepertinya kau agak berbeda dari yang ada di luar sana.” Emran mengerutkan keningnya. “Berbeda bagaimana, nyonya?” “Kau pasti bukan salah satu dari mereka, ya?” tebak Meri. “Kau kelihatan seperti orang baik-baik.” Emran ingin tersenyum senang mendengar pujian tersebut. Namun hal itu tak dilakukannya, mengingat saat ini mereka semua bukan dalam kondisi santai dan main-main. Di belakang, entah apa yang sudah dilakukan Irfan untuk mendapat informasi yang dinginkannya. Semantara dia di sini, menjaga seorang wanita dan anak-anak agar tidak mencampuri urusan laki-laki yang membawa mereka sampai ke titik ini. “Terima kasih atas pujiannya, Nyonya. Tapi aku merasa biasa-biasa saja.” Emran menjawab dengan seadanya. Lalu dia melihat ke seluruh ruangan. Hanya ada beberapa perabotan tua, lemari yang mungkin hampir roboh dan dinding-dinding penuh dengan kotoran. “Kalau boleh tahu, sudah berapa lama kalian berada di sini?” “Aku dan anak-anak, baru dua bulan berada di sini, Pak. Sebelumnya kami tinggal di rumah orang tuaku di Bekasi.” Meri menjawab sambil memecah telur yang hendak di dadarnya. “Kalau suamiku … aku tidak tahu. Dia hanya sesekali mengunjungiku dan anak-anak di Bekasi.” “Syukurlah ternyata kalian tidak tinggal di sini. Rumah ini sangat tidak layak untukmu dan anak-anakmu.” “Memang iya, Pak. Siapa juga yang mau tinggal di rumah tua ini. Tidak ada apa pun di sini kecuali barang-barang tua yang tak berguna. Kalau hujan, di mana-mana bocor. Anak-anakku bahkan setiap hari ketakutan mendengar suara-suara burung atau binatang lainnya. Bayangkan saja, biasanya kami berada di kota yang ramai, tahu-tahu dipaksa pindah ke sini.” “Apa suamimu menjanjikan sesuatu sampai kau mau ikut dengannya ke sini?” Meri menghela napas. Lalu mematikan api kompor karena dadar telur yang dimasaknya sudah matang. “Mas Marlo akan mengajak kami pindah ke luar negeri. Katanya, dia mendapat panggilan kerja di Malaysia. Saat ini, dia sedang mengusahakan paspor kami. Tapi setelah dua bulan terdampar di sini, aku jadi mempertanyakan janjinya. Apa benar memang mau membawa kami pergi? Atau hanya alasannya saja agar kami ikut bersamanya bersembunyi di sini sampai kami mati.” “Jadi Marlo sama sekali tidak memberitahu apa pekerjaanya kepada Nyonya?” “Tidak. Dia selalu marah kalau kutanya.” “Berarti kau sama sekali tidak tahu apa yang sudah dilakukannya selama ini ya? Atau di masa lalunya?” Meri diam sejenak, seperti mengingat-ingat sesuatu. “Dulu saat berpacaran, Mas Marlo mengatakan kalau dia adalah pegawai seorang bos besar di Jakarta.” “Dan dia pernah memakai mobil Crossover warna merah?” “Iya, Pak. Demi menyenangkanku, dia membeli mobil itu dengan warna kesukaanku,” jawab Meri. “Bapak tahu banyak tentang suamiku?” Emran menggeleng. “Tidak. Tetapi aku tahu apa yang telah dilakukan Marlo dengan mobilnya itu.” “Apa?” tanya Meri dengan wajah tegang. “Menculik orang!” “A … apa?” suara Meri agak memekik karena terkejut. “Men … menculik orang? Siapa, Pak? Siapa yang diculiknya?” Emran sama sekali tak berniat memberitahu Meri, meski wanita itu sebenarnya berhak tahu apa yang telah dilakukan oleh suaminya. Namun Emran sadar, dia bukan berada di posisi memberitahu semua kejahatan Marlo. Istrinya akan tahu dari polisi saja, jika Irfan memang akan membawa Marlo ke polisi untuk mempertangu jawabkan perbuatannya. Atau dari pengadilan yang akan membacakan satu demi satu kejahatan suaminya semenjak dulu hingga sekarang. “Bapak tidak akan memberitahuku, kan?” Emran mengangguk. Lalu tiba-tiba terdengar suara letusan yang amat keras dan membuat Meri dan Emran sama-sama terkejut. Bahkan anak-anak Meri lari keluar kamar mendapatkan ibu mereka karena ketakutan. “A … apa itu? Suara tembakan? Siapa yang yang ditembak? Ya Tuhan! Jangan-jangan suamiku sudah mati ….” “Tunggu, Nyonya!” tahan Emran seraya mencengkram lengan Meri yang hendak berlali ke belakang rumah. “Kau dan anak-anakmu masuk ke kamar. Ayo!” “Ta … tapi, Pak … suamiku ….” “Kau tak perlu mengkhawatirkan suamimu. Tidak ada yang mati. tenang saja.” “Mereka menembak suamiku. Aku yakin sekali ….” Emran mendorong Meri dan kedua anak-anaknya masuk ke kamar. “Kalian di sini saja dan tak perlu berpikir yang tidak-tidak. Nanti aku akan kembali!” Emran menarik kunci kamar tersebut dari lubangnya dan langsung mengunci kamar itu dari luar. Meri berteriak dari dalam, sementara anak-anaknya menangis kencang. Emran langsung memburu ke belakang. Tetapi dia tidak berani keluar begitu saja, mengingat Marlo adalah bekas preman yang sangat disegani. Takutnya, malah Marlo yang sedang menguasai keadaan. Emran memutuskan mengintip dari celah dinding belakang rumah yang terbuat dari papan. “Keluar saja, Em!” terdengar suara Irfan membuat Emran lega. Dia segera keluar dan melihat Marlo derduduk di tanah dengan sebelah kakinya yang berdarah. Salah seorang anak buah Irfan tampak terluka, dan Irfan sedang memegang sebuah pistol. “Apa yang telah terjadi, Mas?” tanya Emran memandang semua orang dengan bingung. “Dan itu … itu pistol siapa? Punya Mas?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD