Hod 36, Rencana Seminar ke Surabaya

2579 Words
Qisya menyambut Emran di depan pintu dengan senyuman lebar dan wajah cerah ceria, khas seorang istri yang senang dan lega melihat suaminya kembali dengan selamat. Sesungguhnya, Qisya selalu was-was dan dirundung kecemasan setiap kali suaminya keluar rumah. Ada perasaan berat melepas karena trauma akan kecelakaan yang pernah dialami Emran, sungguh membekas. Qisya sangat takut jika suatu hari, kembali polisi menelepon dan menjemputnya untuk ke rumah sakit lagi. Namun berulang kali juga Emran menenangkannya. Menjelaskan kalau takdir dan jalan hidup seseorang sudah ada yang mengatur. Yaitu Allah, Sang Pencipta seluruh isi langit dan bumi. Jika Allah berkehendak, semua rasa kuatir manusia tiada artinya. Jika akan mengalami musibah, tidak ada yang bisa menghindarinya. Namun Allah pasti akan menjaga umatnya yang berdoa. Mengabulkan permohonan untuk menjaga umatnya agar selamat sampai kembali ke rumah. Emran tak pernah merasa lelah untuk memberitahu Qisya bahwa mereka hanya tinggal menyerahkan diri kepada Allah saja. Karena kematian adalah mutlak bagi semua yang bernyawa. Tidak perduli apakah saat berusia muda atau setelah tua. Kita hanya perlu mengisi hidup yang telah diberikan ini dengan semua amalan baik. Hingga jika pun harus mati, kita akan menghadapNya dalam keadaan baik pula. Jadi tidak perlu mencemaskannya. Usai mandi, Qisya sudah menyiapkan makan malam buat semuanya. Termasuk Zidan dan si Bibik yang selalu sibuk mengawasi Zidan. Bocah mungil itu terkadang nakalnya bukan main, membuat bibiknya kelimpungan. Namun wanita berusia pertengahan enam puluhan itu sangat menyayangi Zidan. Bahkan ketika keluarganya meminta si bibik berhenti bekerja karena sudah tua, si bibik menolak dengan alasan tidak mau berpisah dari Zidan. Qisya sendiri tidak mempermasalahkan kalau si bibik tetap di rumah mereka, mengingat Zidan juga sudah terbiasa diurus oleh wanita tua itu semenjak lahir. Hanya saja, Qisya memang sedang mencari asisten rumah tangga yang lebih muda untuk mengerjakan semua pekerjaan yang dahulu dipegang si Bibik. “Aku kira Mas tadi akan sampai ke rumah sebelum magrib," ucap Qisya ketika mereka sudah selesai makan. "Memang Mas sudah berencana pulang satu jam sebelum magrib, Sayang," jawab Emran sambil memberikan segepok uang kepada Qisya. Wanita itu memandang uang di tangannya uang terlihat cukup banyak. "Ini penghasilan mas satu hari ini?" Tanyanya tidak percaya. Emran mengangguk. "Iya sayang." "Ya Allah, kok banyak banget ya?" "Alhamdulillah, aku mendapatkan banyak penumpang, Sayang," jawab Emran dengan nada tenang. Dia masih menimbang apakah dia perlu menceritakan pengalamannya tadi, ketika mendapatkan penumpang terakhir. Dia takut Qisya akan mencemaskannya. "Wah, alhamdulillah banget ya mas." "Iya, ditambah dengan uang pemberian penumpang terakhir mas. Dia memberi mas 500 ribu sekali jalan saja." Mata Qisya membulat. "Apa? Masa sih?" Emran mengangguk. "Dia membayar ongkosnya bersama ini," katanya sambil memperlihatkan sekuntum bunga melati yang kini sudah layu. Qisya melihatnya dan langsung terkejut. "Astagfirullah! Jadi ... Pe ... Penumpang mas ...." Sekali lagi Emran mengangguk. "Mas sudah mematikan aplikasi saat dia masuk." "Kenapa mas bisa melihatnya? Mas membuka penutup mata mas?" "Iya. Padahal hanya sebentar saja. Karena mas mau membersihkan muka dengan tissu basah. Tetapi ternyata 'dia' masuk sedetik setelah mas membuka penutup mata mas." "Penumpangnya laki-laki atau perempuan, mas?" "Perempuan." "Masih muda?" Emran diam sejenak sambil memperhatikan wajah istrinya. "Masih muda atau sudah tua, apa bedanya, sayang? Toh mereka semua adalah arwah gentayangan." Mendengar hal itu, Membuat Qisya diam sejenak. "Iya, benar juga. Kenapa aku harus tahu penumpang Mas itu masih muda atau sudah tua ya? Untuk apa, coba?" "Yang terpenting, dia gak ganggu mas saja, udah alhamdulillah, sayang." "Memangnya arwah itu minta dianterin kemana, mas?" "Ke kuburan, sayang." "Astagfirullah! Jadi mas melihat banyak penampakan dong di sana?" "Alhamdulillah, tidak, Sayang. Sebelum sampai kuburan, penumpang mas itu menyuruh mas memakai penutup mata." "Ya ampun, pengertian sekali ya?" Emran manyun. "Jangan cemburu, loh." "Cemburu juga dikit." Emran tertawa. Dirangkulnya pundak istrinya dan mencium kepala wanita itu dengan lembut. "Tapi, jujur saja mas gak sanggup kalau harus bertemu sama hantu terus, sayang." "Iya, mas. Aku juga jadi kepikiran terus sama mas saat mas keluar rumah. Aku bisa membayangkan gimana takutnya mas tiap kali mereka datang." "Gak kebayang, Sya. Jelas banget bedanya dengan saat mas gak bisa lihat apa-apa. Mas sangat terganggu dengan mata ini." "Bagaimana kalau kita komplen aja ke rumah sakit, mas?" "Komplen?" "Iya. Kita sudah membayar mahal untuk pencangkokan mata mas. Dengan harapan mata kiri mas bisa kembali melihat seperti sedia kala. Tetapi bukan berarti kita menerima saja kalau mata itu bermasalah, kan?" Pelan tetapi pasti, Emran mengangguk. "Memang benar. Mungkin kita perlu ke rumah sakit besok. Aku penasaran siapa sebenarnya pemilik asli mataku ini.” "Syukur-syukur besok kita bisa mendapat informasi siapa pendonor mata mas. Sekarang sebaiknya kita tidur saja. Mas juga pasti sudah sangat lelah seharian nyetir. Kan gak biasanya mas lama di belakang kemudi.” Emran mengangguk. “Iya, sayang. Pinggangku pegel nih. Harus dipijetin biar besok seger lagi cari nafkah anak dan istri.” “Gak usah lebay, Mas. Kalo mau minta dipijetin yah tinggal bilang. Gak usah pake berpuisi segala.” Emran tertawa. Qisya memang wanita yang lucu. Yang selalu membuat Emran tertawa bahagia. Sayangnya, malam itu Emran malah bermimpi tidak enak. Mimpi-mimpi lama yang dahulu sering datang. Entah semenjak kapan, namun rasanya, sudah semenjak dia masih kecil, mimpi itu selalu datang. Emran selalu menghindar. Sering dia terpaksa harus tidak tidur demi menghindari mimpi-mimpi yang membuatnya takut. Jika orang-orang mungkin merasa diintimidasi di dunia nyata, namun Emran merasa, di dalam mimpi pun dia dapat merasa tertekan. Dia merasa selalu dikejar-kejar. Dipaksa dan didesak. Dan lucunya, Emran selalu menolak, menghindar atau lari sejauh mungkin. Aneh juga. Bahkan di dalam mimpi, Emran bisa memilih harus bagaimana. Apakah karena dia tahu arti dari mimpinya? “TIDAK!” seru Emran terbangun dari tidurnya dan terduduk kelelahan. Bersamaan dengan itu, Qisya juga tersentak saat mendengar seruan Emran. Dia terbangun dan terduduk juga. Melihat ke sebelah, di mana suaminya sedang mengatur napas yang tersengal-sengal. Keringat membasahi wajah lelaki yang sudah dinikahinya selama lima tahun itu. “Mas? Kamu bermimpi lagi?” tanyanya lembut. Emran mengangguk. Napasnya sudah normal kembali dan dia memandang istrinya. “Maaf aku lagi-lagi membangunkanmu, ya?” Qisya tersenyum, meski masih mengantuk. “Tidak apa-apa, Mas. Mungkin ini alarm untuk salat tahajud, kan?” Emran melirik ke jam dinding yang menunjukkan pukul tiga pagi. Dia langsung tersenyum dan mengajak istrinya untuk mengambil wudlu. Lalu keduanya salat bersama. Usai salat, Qisya ke dapur untuk membuatkan teh manis hangat. “Tadi itu mimpi yang sama, Mas?” tanya Qisya seraya menyodorkan segelas teh hangat kepada suaminya. Emran mengangguk. Lalu menenggak minuman beraroma melati tersebut dengan nikmat. “Aku heran, Mas. Kenapa kamu sering sekali bermimpi? Dan Mas selalu bilang mimpi yang sama.” “Memang kenyataannya seperti itu, Sayang. Untuk apa aku membohongimu?” “Mimpi seolah ada yang mengejar Mas? Mimpi yang sudah mengganggu Mas semenjak kecil?” Sekali lagi Emran mengangguk. “Iya sayang. Dan mas selalu menghindar makanya mas merasa kelelahan saat terbangun.” “Siapa sebenarnya yang mengejar mas?” “Aku juga tidak tahu, sayang. Orang itu tidak terlalu jelas menampakkan dirinya di depan mas. Tetapi di dalam mimpi, rasanya Mas tidak mau berada dekat dengannya. Itulah mengapa Mas selalu menghindar. Mas tidak menyukainya.” “Mungkin dia seseorang yang mas kenal, ya?” “Mungkin saja, sayang.” “Mungkin dia orang jahat. Makanya mas tidak mau dia mendekati mas.” “Bisa jadi. Mas rasa juga begitu.” Qisya menggelengkan kepala, tak habis pikir. “Betah amat tuh orang mengejar mas semenjak mas masih kecil hingga sekarang.” Emran merajuk. “Kamu ngeledekin mas?” Qisya tergelak. “Enggak loh, sayang. Hanya aku heran banget, kok bisa ya mss bermimpi yang sama selama seumur hidup? Mending kalo mimpi indah. Tapi mimpi dikejar orang?” Emran menghela napas berat. “Aku takut Zidan akan mengalami mimpi yang sama pula.” Mendengar perkataan Emran barusan, membuat muka Qisya memucat. “Ya Allah. Jangan sampai hal itu terjadi, Mas.” “Iya, sayang. Aku juga tidak mau Zidan mengalami mimpi buruk seumur hidupnya seperti yang kualami ini.” Qisya diam sejenak. Dia sedang memikirkan sesuatu. Lalu menoleh ke suaminya. “Mas, apa sekali pun mas tidak pernah melihat atau merasa mengetahui siapa orang yang mengejar-ngejar mas itu?” “Iya, sayang. Sekali pun mas tidak pernah melihatnya. Tiap dia mendekat atau berhasil menangkap tangan mas, aku pasti terbangun.” “Apa orangnya masih muda atau sudah tua? Laki-laki atau perempuan?” “Aku tidak pasti apakah sudah tua atau masih muda. Tetapi aku tahu dia seorang laki-laki.” “Mas, bukankah besok kita akan ke bank mata untuk menanyakan siapa pendonor mata mas?” tanya Qisya mendadak. Emran mengangguk. “Iya, sayang.” “Kalau begitu, besok kita bisa sekalian membuat janji dengan psikiater juga, bagaimana?” “Untuk apa?” “Konsultasi mengenai mimpi mas. Mungkin dengan berkonsultasi dengan ahlinya, mas bisa mengetahui apa maksud dari mimpi mas itu. Atau, mas pernah dengar ‘hipnoterapi’?” Emran berpikir sejenak. “Kalo dari namanya, itu adalah perpaduan antara hipnotis dan terapi, kan?” Qisya mengangguk. “Aku pernah baca, Mas. Kalau Hipnoterapi juga bisa menjadi alternatif kesembuhan. Dokter juga terkadang menyarankan pasien tertentu untuk menjumpai Hipnoterapis sebagai pengobatan.” “Mas juga pernah dengar hal itu.” “Sebentar,” Qisya mengambil ponselnya, menyalakan internet dan mencari info mengenai apa yang sedang mereka bicarakan. “Nah, di sini tertulis, kalau hipnoterapi adalah bagian dari psikoterapi juga mas. Seorang hipnoterapis akan mengeskplorasi pikiran, perasaan, atau ingatan menyakitkan yang dialami oleh pasien tetapi tersembunyi di dalam alam bawah sadar.” “Hm, mas juga merasa, apa jangan-jangan mimpi mas berhubungan dengan suatu kenangan yang tersimpan di alam bawah sadar mas. Makanya mas gak ingat.” “Bisa jadi, mas. Makanya, gak salah sih kalau kita menjumpai seorang hipnoterapis. Nanti juga, saat mas menjalani sesi hipnoterapi, mas akan dibuat rileks dan fokus sehingga terdorong untuk menceritakan ketakutan, rasa sakit atau trauma yang mas alami termasuk kapan pertama kali hal itu terjadi. Biar mas tak lagi diganggu oleh mimpi-mimpi itu. Soalnya di sini k****a kalau metode hipnoterapi kerap dipakai untuk mengatasi berbagai kondisi, Mas. Seperti susah tidur, serangan panik, kecanduan merokok, depresi, gangguan tidur atau masalah seksual.” “Yang terakhir itu, kita tidak ada masalah, kan?” ucap Emran sambil mengedipkan matanya. Qisya melihat dengan manyun dan geram. “Mas ini loh!” ucapnya mencubit suaminya. “Kita harus serius.” “Mas juga serius.” “Mas bercanda aja.” “Tidak. Dan lagi pula, yang mas bilang juga benar. Apa selama ini kita ada masalah dengan ….” “Tidak!” Emran tergelak mendengar istrinya menjawab dengan cepat. “Baiklah. Mas akan mengikuti apa yang menurutmu baik, Sayang. Kalau menurutmu bertemu dengan hipnoterapis adalah solusi dari mimpi-mimpi burukku selama ini, aku akan menurut saja, Sayang.” Qisya mengangguk senang. Dan sebenarnya, selama ini juga suaminya tidak pernah keras kepala. Semenjak menikah dengan Emran, tidak pernah sekali pun Qisya melihat kalau suaminya membantah, berkeras hingga akhirnya mereka menjadi salah paham. Emran selalu menanggapi segala hal dengan kepala dingin. Lelaki itu lebih memilih berdiam diri atau mengalah dari pada harus beradu argumentasi yang ujung-ujungnya menjadi sebuah pertengkaran. Emran adalah suami yang lembut, pengertian dan berhati seluas samudera. Jika pun mereka harus beradu pendapat, Emran pasti akan mencari kata-kata yang baik dan tidak akan menyinggung perasaan Qisya atau lawan bicaranya. Makanya saat Irfan memecatnya, Qisya tahu pasti Emran tidak melakukan perlawanan. Pastilah Emran sudah menyampaikan dengan kata-kata yang telah dipilih dengan sebaik mungkin. Memang dasarnya Irfan seorang yang keras dan temperamental saja. Makanya dengan mudah memecat orang padahal yang mereka sedang hadapi adalah persoalan pribadi. Menurut Qisya, kalau Irfan mau marah, yah silakan saja. tidak percaya, juga tidak apa-apa. Namun tak pantas juga kalau langsung melakukan pemecatan. Untunglah Emran, yang meski dipecat berulang kali, tetap tidak akan mengalami kekurangan finansial. Bagaimana kalau yang dipecat adalah seorang yang secara finansial serba kekurangan? Seorang yang harus bekerja karena ada banyak mulut yang harus dikasih makan? Tentunya itu akan sangat menyakiti hati orang yang kehilangan pekerjaan itu. Memang sih, menjadi seorang atasan itu tidaklah mudah. Ada banyak sekali sifat dan karakter bawahan yang mesti dipahami oleh seorang atasan. Karena menjadi seorang atasan, bukan berarti bisa bersikap seenaknya dan sombong karena mentang-mentang memiliki posisi di atas. Irfan harus diberitahu bahwa seorang atasan yang hebat pasti senantiasa bersikap ramah dan rendah hati kepada semua karyawan tanpa membeda-bedakan. Qisya kesal sekali dengan sikap Irfan. Sayang saja, dia tidak tahu di mana keberadaan kakak sepupunya itu sekarang. Bahkan teleponnya juga masih tak menjawab, menandakan kalau pemiliknya pasti belum kembali dari luar negeri! * Pagi saat Emran bersiap hendak sarapan, dilihatnya Qisya sedang berbicara di ponsel. Sementara Zidan sedang sarapan bersama si Bibik. Emran langsung duduk bergabung dan mencium anak semata wayangnya yang terlihat sangat lahap memakan bubur nasinya. “Zidan kelihatan seperti orang kelaparan, ya, Bik?” ucap Emran tergelak. Si Bibik yang sedang menyuapin bocah kecil itu mengangguk. “Iya, Pak. Zidan selalu suka sarapan bubur nasi dengan sup.” “Wah, bagus kalau begitu. Jadi anak papa akan cepat besarnya. Iya kan sayang?” Emran menggelitikin pelan perut anaknya. Zidan tertawa geli sambil menghindar dan memeluk Bibiknya. Saat yang sama, Qisya selesai menerima telepon dan bergabung di meja makan. “Barusan itu telepon dari kantorku, Mas.” “Ohya? Mereka sudah tak sabar menunggu masa cutimu berakhir?” Qisya menghela napas. “Cutiku masih ada satu minggu lagi, Mas. Tapi ….” Emran menuang kopi untuknya dan untuk istrinya juga. “Tapi apa?” “Erni, temanku, Mas ingat?” Emran mengangguk. “Kalau gak salah, dia dan beberapa temanmu dari kantor juga pernah datang ke rumah sakit, kan?” Kali ini Qisya yang mengangguk. “Erni mestinya harus berangkat ke Surabaya hari ini untuk mengikuti seminar selama 3 hari, Mas. Tetapi dia sakit dan harus berobat ke Penang.” “Innalillahi.” “Dan si bos minta aku yang menggantikan Erni.” Emran diam sejenak. Gelas kopinya yang sudah hampir menyentuh mulut, berhenti dan kembali diletakkan di atas meja. “Padahal hari ini kan kita berencana ke Bank Mata, kan?” “Iya.” Emran tersenyum lalu menenggak kopinya. Menuang nasi goreng ke piringnya dan ke piring istrinya juga. “Ayo sarapan dulu.” “Aku tidak bisa sarapan kalau sedang memikirkan sesuatu, Mas.” Emran menghentikan sendokannya. “Baiklah. Gimana keputusanmu?” “Aku belum memutuskan, Mas. Tetapi jika mas mengizinkan aku pergi, maksudku sekalian mas dan Zidan ikut. Selama aku seminar, Mas dan Zidan bisa tinggal di hotel. Selesai seminar, kita bisa wisata kuliner. Gimana?” “Deal.” Jawaban Emran yang begitu cepat, membuat Qisya hampir tak percaya. Dia menatap suaminya dengan dua bola matanya yang membulat besar. “Bener Mas?” “Iya,” jawab Emran ringan. “Mumpung aku sedang menjadi pengangguran, bagus juga kalau mengisi waktu untuk jalan-jalan ke luar kota.” “Alhamdulillah. Makasih, Mas. Usai sarapan, aku akan segera menghubungi bosku.” “Maaf, Bu,” tiba-tiba si Bibik menyela. “Selama Ibu dan Bapak ke Surabaya, saya boleh pulang ke Bekasi? Kebetulan juga ada cucu yang baru melahirkan sebulan yang lalu. Jadi aku bisa melihat ke sana.” “Oh, tentu saja boleh, Bik. Hm … nanti sekalian Bibik carikan orang yang mau bekerja di sini, ya? Karena mulai minggu depan, aku sudah mulai kerja,” jawab Qisya yang langsung disambut anggukan kepala si Bibik. “Terima kasih, Bu. Iya, nanti aku akan tanya anak-anak itu, apakah di antara mereka atau teman-teman mereka ada yang mau bekerja di sini.” Qisya tersenyum girang, karena pagi ini sungguh sangat menyenangkan baginya. Dilihatnya Emran, Zidan, bahkan sampai si Bibik juga sarapan dengan air muka bahagia. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD