Hod 35, Penumpang Terakhir

2128 Words
Qisya kembali ke rumah dengan perasaan bingung. Tadi di tengah perjalanan pulang, dia sudah berusaha menghubungi ponsel Irfan, siapa tahu kakak sepupunya itu masih berada di rumah atau di bandara hingga dia masih sempat bicara dan mengajak bertemu. Namun panggilannya tak tersambung. Kemungkinan besar, Irfan mematikan ponselnya dan meninggalkannya di rumah, sementara saat ini laki-laki berdarah dingin itu sedang bersembunyi di luar negeri. Bersembunyi dari masalah yang mestinya dihadapinya! “Sayang?” sapa Emran melihat Qisya masuk rumah dengan wajah ditekukkan. “Mas Irfan memang Kakak yang sangat mengesalkan!” geram Qisya membuat Emran terkekeh. “Kamu kenapa sayang? Dimarahin sama Mas Irfan? Atau diusir juga dari ruangannya? Berarti kita memang jodoh, ya?” Kening Qisya mengerut. “Kita memang udah jodoh, dengan atau tanpa diusir sama Mas Irfan, Mas!” Lagi-lagi Emran terkekeh. “Duh, segitu sewotnya. Pasti misinya mendamprat owner café Millenial itu gagal, deh.” “Bukan gagal, Mas. Tapi gak kesampaian.” “Kenapa?” “Mas Irfan tidak ada di café. Dia pergi ke luar negeri, usai pertemuan kalian tadi.” “Hah? Yang benar?” Qisya mengangguk. “Dion sendiri yang mengatakan kalau Mas Irfan langsung ke bandara sesaat setelah mas keluar dari café.” Emran mangut-mangut. “Sepertinya persoalan Aufa ini memang bukan perkara ringan. Tidak biasanya mas Irfan bersikap seaneh ini. Kenapa dia harus pergi ke luar negeri kalau dia bisa menemukan semua jawabannya dari Aufa?” “Mungkin Mas Irfan juga belum percaya kalau kamu bisa melihat arwah, Mas. Aku juga sebenarnya belum begitu yakin dengan apa yang kamu lihat, Mas. Aku belum bisa percaya kalau Mas Irfan sudah punya anak, bahkan usianya sudah lebih tua dari Zidan. Sebab kita semua juga sudah kehilangan Melia sejak lama banget. Rasanya aneh aja kalau tiba-tiba ada arwah mengaku sebagai anak Mas Irfan.” Emran mengangguk. “Kamu benar, Sayang. Mas saja kalau tak mengalami sendiri, mungkin tidak akan percaya kalau manusia bisa melihat arwah orang mati.” Qisya memeluk suaminya dari belakang, dan mencium tengkuk Emran. “Pasti kamu sangat terganggu dengan penampakan hantu-hantu itu ya, Mas?” Emran mengangguk. “Iya, Sayang. Aku jadi semakin yakin untuk mengganti mata ini. Secepatnya kita harus mendapatkan donor yang baru. Tolong hubungin Bank Mata dan buat janji dengan dokter mata, Sayang.” Qisya melepas pelukannya dan memutar, lalu memandang Emran dengan serius. “Bagaimana dengan … Aufa, Mas?” “Aufa?” tiba-tiba Emran kembali ingat dengan wajah sayu gadis kecil itu. Arwah penasaran yang tewas terbakar entah apa penyebabnya dan di mana keberadaan jasadnya. Apakah tega Emran membiarkannya begitu saja? “Iya, Mas. Apa Mas akan melupakan Aufa begitu saja?” Emran tak mampu menjawab. Dia tidak mungkin membiarkan Aufa dengan penderitaannya begitu saja. Aufa terlalu kecil untuk menanggung deritanya sendiri saja, sementara di dunia ini, masih ada Irfan, ayahnya, dan dia sebagai Om-nya serta Qisya sebagai tantenya. Bagaimana mungkin Emran bisa menjalani hari-harinya kelak dengan bayangan-bayangan Aufa yang menangis meratapi keluarganya yang tak satu pun membantu. “Aku tidak mungkin melupakannya begitu saja, Sayang.” “Lantas, gimana?” Emran menghela napas. “Pertama, kita harus bisa meyakinkan Mas Irfan. Karena menurut Aufa, hanya ayahnya yang bisa menemukan jasadnya.” “Semoga saja laki-laki keras kepala itu segera pulang dan menyadari kesalahannya. Jangan hanya bisa berbuat tapi tak bisa bertanggung jawab!” geram Qisya memasang wajah dingin. Membuat Emran tersenyum. “Tapi hanya Aufa. Setelah itu, aku akan segera mengganti mata ini. Jangan sampai ada hantu lain yang mengikutiku lagi. Aku tak sanggup!” * "Mas udah rapi banget pagi ini. Ada acara?" tanya Qisya. Dia baru keluar dari ruang olah raga. Keringat membasahi sekujur tubuhnya setelah berolah raga sejak abis subuh tadi. “Seperti yang Mas bilang tadi malam. Mas harus kerja, kan? Gak enak banget jadi pengangguran.” “Dih, baru juga dua hari gak kerja.” “Itu sudah lama banget buat mas. Capek melamun aja tiap hari.” Qisya manyun. “Kapan juga mas melamun? Yang kulihat, Mas menyibukkan diri main sama Zidan, membersihkan halaman, membetulin genteng, mencuci semua yang ada di rumah ini sampai kinclong.” Emran tersenyum lebar. “Itu semua kan berbeda dengan bekerja mencari nafkah untuk anak dan istri, Sayang.” Qisya tersenyum manis mendengar jawaban suaminya yang sangat menyejukkan hatinya tersebut. “Jadi artinya, Mas sudah dapat pekerjaan yang baru?” “Iya dong.” “Kerja apa? Di mana?” "Aku akan menjadi driver taksi online, Sayang. Kita punya mobil yang bisa dimanfaatkan. Lumayan, gak perlu rental, kan?” “Ya, ampun. Itu kan capek banget, Mas,” keluh Qisya cemas. “Tidak. Kerjanya juga hanya duduk doing.” “Mas serius? Kan masih banyak tempat kerja lain yang pasti akan menerima Mas kerja. Atau aku akan menghubungi teman-temanku ….” Emran langsung memegang tangan istrinya, memberi aba-aba untuk tak melanjutkan perkataannya. “Mas yakin kok, kalau kamu banyak channel dan bisa mencarikan Mas kerjaan. Tetapi biarkan Mas mengusahakan sendiri dulu, ya Sayang. Dan kebetulan Mas ingin kerja dengan kondisi tenang tanpa terikat waktu," ucap Emran pada istrinya itu. Qisya sangat senang melihat perkembangan perasaan suaminya dari sedih dan kesal saat baru dipecat Irfan Emran tentang kerjaannya sendiri. Qisya mencium suaminya sebelum dia berangkat bekerja. “Kalau mau keluar rumah, kabari aku, Sayang. Biar aku yang antar kamu kemana saja. Mumpung sedang jadi supir ganteng,” ucap Emran seraya memakai penutup matanya. “Mas, bukannya penutup mata itu akan membuat sewamu jadi takut?” “Hah? Masa iya?” Qisya mengangguk. “Jujur aja Mas, kalau aku pesan taksi online dan drivernya kebetulan memakai penutup mata seperti itu, aku pasti merasa tidak nyaman. Merasa terancam. Karena semua orang juga tahu kalau penutup mata itu seringnya dipakai sama Bajak Laut. Tahu sendiri apa yang dilakukan oleh para bajak laut? Merompak!” “Itu kan di pilem-pilem, sayang.” “Memang. Tetapi tetap saja menakutkan.” “Mas juga pakai kaca mata hitam, loh. Jadi penutup mata ini gak bakal kelihatan jelas,” Erman mengedipkan matanya. “Sudahlah sayang. Gak usah memikirkan Mas. Mas baik-baik saja, kok.” “Oke deh, Mas. Hati-hati selama bekerja, ya?” Emran mengangguk. “Ohya, Mas sudah nyiapin sarapan. Kamu suka nasi goreng, kan? Itu Mas sudah masakin mie goreng.” “Astaga, Mas! Kan gak nyambung!” Emran terkekeh. Lalu dengan tangkas, dia mengendarai mobilnya menuju kantor pusat tempatnya mendaftar sebagai driver car online. Setelah mendapatkan kartu anggota, Emran langsung menuju pom bensin terdekat dan mengisi bahan bakar mobilnya dengan penuh. Dia sangat semangat hari ini. Hari pertama dia bekerja di jalanan. Menjadi pahlawan bagi orang-orang hidup. Bukan orang mati! * Mungkin sudah rejeki, baru juga hari pertama, Emran selalu mendapat panggilan penumpang. Mobilnya tak sempat kosong. Emran hanya mengabaikan panggilan saat jam salat dan makan saja. Saat dilihatnya di aplikasi, targetnya hari ini sudah terpenuhi. Jadi dia tak perlu lagi harus memorsir tenaga karena masih ada Qisya dan Zidan yang pasti merindukan kepulangannya. Menjelang magrib, Emran berencana untuk menyudahi pekerjaannya hari ini. Hanya tinggal penumpang yang jok belakang, yang harus diantarkannya ke Kebayoran. Setelah itu, dia akan menutup aplikasinya. “Terima kasih, Bang,” penumpang terakhir Emran mengeluarkan uangnya untuk membayar ongkos perjalanannya lalu segera turun. Emran menyimpan uangnya ke dalam dompet. Terlihat olehnya gambar Qisya dan Zidan yang tersenyum lebar. Membuatnya ikut tersenyum lebar. “Tunggu Papa pulang ya sayang,” Emran mencium photo yang selalu dibawanya di dalam dompet. Dia menutup aplikasinya agar tak menerima panggilan penumpang lagi. Lalu melepas kaca mata dan penutup matanya, dan mengambil tissue basah untuk membersihkan muka. Meski hanya tissue, tetapi lumayan juga untuk menyegarkan wajahnya yang kering karena ac mobil. Tetapi belum sempat dia memakai penutup matanya, tahu-tahu Emran merasa udara di dalam mobilnya berubah menjadi lebih dingin. Emran mengecilkan ac mobilnya. Tetapi masih juga terasa dingin. Ketika akhirnya dia mematikan ac nya, udara di mobilnya tetap tak berubah. Tetap dingin hingga membuatnya menggigil. Lalu tiba-tiba ada seorang wanita yang langsung masuk ke kursi penumpang mobilnya. Padahal Emran sudah mematikan aplikasinya. Mestinya dia tidak lagi menerima penumpang dan orang-orang juga tidak bisa main masuk saja ke mobilnya. “Mba, mohon maaf. Saya tidak narik lagi. Saya sudah tutup aplikasi dan mau pulang,” ucap Emran melihat melalui kaca spionnya. Penumpang yang dilihat Emran adalah seorang wanita muda dengan rambut panjang yang dibiarkan tergerai. Wanita itu memakai kacamata hitam, memandang ke luar jendela tanpa memperdulikan ucapannya barusan. “Mba ….” “Tolong jalan saja, Mas. Aku akan membayarmu dua kali lipat!” Emran terkejut. Suara itu hanya seperti bisikan saja keluar entah dari mana karena yang Emran lihat, mulut wanita di kursi belakang mobilnya terkunci rapat. Lalu samar-sama, Emran mulai mencium aroma yang tidak biasa. Campuran antara aroma kapur barus, bunga melati dan bau bangkai yang sangat menusuk. Emran menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang mengering. Dalam hati, dia sangat menyesal kenapa harus membuka penutup matanya. Mestinya, sekali pun dia hanya ingin membersihkan muka dengan tissue, sebaiknya tanpa harus membuka penutup mata kirinya saja tadi. Emran benar-benar mendapat pelajaran bahwa hantu pasti lebih cepat gerakannya dari tangannya. Mau tak mau, Emran menjalankan mobilnya. Sengaja dia tidak memakai penutup mata kirinya agar dia bisa mengantarkan penumpang terakhirnya untuk di hari pertama ini. Sesekali Emran melihat ke belakang melalui kaca spionnya. Dilihatnya, wanita berwajah pucat itu masih tetap duduk tenang, memandang ke luar jendela. Sikapnya yang elegan membuat Emran berpikir, kemungkinan besar wanita muda itu dahulu seorang yang berpembawaan tenang dan anggun. Saat sedang di lampu merah, Emran kembali melihat ke kaca spionnya. Dia menutup mata kanan dan kiri secara bergantian karena iseng ingin membedakan matanya yang sebelah. Tidak sengaja sosok perempuan yang ada di belakangnya tiba-tiba hilang dari spion. Dia melihat pelan ke belakang dan sosok itu masih ada. Dia kembali melakukan hal yang sama untuk membuktikan penglihatannya. Ternyata benar, saat Emran menutup mata sebelah kirinya sosok itu hilang entah kemana tetapi saat dia membuka kembali kedua matanya, sosok itu masih sedang duduk tenang di belakang. “Ada yang salah denganku, Mas?” tiba-tiba Emran mendengar suara bisikan lagi, membuatnya terkejut. Dan lebih terkejut lagi ketika dia menyadari wanita itu ternyata sudah pindah tepat ke sampingnya, dengan kepala menjulur ke arahnya seolah ingin membauinya. “Mba, pe … penumpang harus duduk di … belakang. Tidak boleh di depan!” ucap Emran dengan terbata-bata. Bau amis, busuk bercampur dengan aroma bunga melati, kamboja dan mawar, bercampur aduk membuat perut Emran berputar. “Bukannya tadi Mas penasaran dan berkali-kali melihatku ke belakang?” “A … aku hanya memastikan mataku, Mba. Aku bukan je … jelalatan melihat Mba.” Jawab Emran cepat. Dan begitu dia berkedip, wanita itu sudah kembali duduk tenang di belakang. “Aku tahu kok, Mas bukan jenis laki-laki mata keranjang.” Emran menelan ludah. Dia sangat bersyukur karena memiliki iman hingga hantu juga tahu kalau dia gak pernah ingin macam-macam di dalam hidup ini. “Terima kasih.” “Belok kiri, Mas.” “Siap, Mba,” jawab Emran cepat. Tiba-tiba dia menyadari belokan yang dimaksud arwah wanita di belakangnya adalah menuju makam. Tiba-tiba keringat dingin mengalir membasahi muka Emran. “Pakai saja penutup matanya, Mas. Nanti kamu bisa melihat ribuan hantu datang mendekat!” Tanpa dibilang dua kali, Emran langsung memakai penutup mata kirinya. Sontak udara dingin yang memenuhi mobil menghilang, berganti dengan udara hangat yang bersahabat. Bau-bauan yang menyertai arwah wanita tadi juga langsung menghilang tanpa bekas. Emran sampai ke pemakaman, berhenti sebentar, lalu memutar untuk pulang ke rumah. Emran telah memberi kesempatan wanita tadi turun atau keluar dari mobil, kini dia harus pulang dan membersihkan diri. Jika bisa, dia ingin membersihkan otaknya, agar tak mengingat kejadian mengerikan yang barusan menghampirinya. Meski arwah wanita tadi tidak menyakitinya, namun Emran sudah mengalami spot jantung. Suara Azan magrib berkumandang, dan Emran menghentikan mobilnya di sebuah mesjid. Salat berjamaah adalah kewajiban bagi seorang pria, meski dalam kondisi apa pun. Meski sibuk, meski sedang dalam perjalanan. Lagi pula, salat tidak membutuhkan waktu yang lama. Hanya sepuluh sampai lima belas menit saja. tidak sampai menyita waktu yang cukup lama. Namun pahala amal ibadahnya sungguh besar. Emran tidak akan menyia-nyiakan hidupnya dengan melupakan sang pencipta. Dia bisa hidup sampai detik ini adalah kerena Allah. Dia masih bisa selamat dari kecelakaan kemarin juga karena dijaga oleh Allah. Tak pantas baginya untuk melupakan semua yang telah Allah beri kepadanya. Usai salat, saat ingin melanjutkan perjalanan, Emran melihat ada sebuah amplop di kursi penumpang. Dia mengambilnya dan melihat isinya, ternyata uang sebanyak lima ratus ribu dan … setangkai bunga melati. Emran paham, itu pasti uang dari wanita muda, penumpang terakhirnya tadi. “Terima kasih, Mba,” ucap Emran dengan harapan arwah tadi mendengarnya. Emran bisa saja kembali membuka penutup mata kirinya untuk memastikan wanita tadi masih ada di mobilnya atau tidak. Namun Emran tidak berani. Dia lebih memilih cepat-cepat menyetir mobilnya untuk kembali pulang. Dia sudah sangat merindukan anak dan istrinya. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD