Hod 28, Mengumpulkan Informasi

2178 Words
Sesampainya di rumah, Emran merasa agak lega. Ia duduk di sofa sembari memijat dahinya yang terasa berat. Saat ini, dia ingin sekali meminum kopi kental buatan Qisya. Tetapi ketika masuk tadi, pintu depan terkunci. Dan di ponselnya ada pesan chat dari istrinya yang mengabarkan kalau wanita itu sedang menemani Zidan ke dokter untuk imunisasi. Emran masuk dengan menggunakan kunci duplikat yang selalu dibawanya. “Nanti saja urusan kopi, setelah Qisya pulang,” gumam Emran dalam hati. Sekarang yang harus dilakukannya adalah memastikan terlebih dahulu penyebab kenapa dia bisa melihat para makhluk gaib ini. Jika apa yang dipikirkannya saat ini adalah benar, maka dia tahu harus bagaimana menghilangkan kemampuan tak masuk akal itu. Merasa bahwa perkataan terakhir Henru memberinya solusi, Emran pun kembali mengulik informasi dari internet. Mencari semua hal tentang orang-orang yang mengalami koma lalu terbangun dalam kondisi berbeda. Berbagai kata kunci diketik Emran, demi memuaskan rasa ingin tahunya. Dan jawaban dari internet ada begitu banyak. Beragam informasi dari penjuru dunia. Dan jelas bukan hanya dia sendiri yang mengalami terbangun dari koma lalu mampu melihat orang mati. Ada banyak artikel dan video yang menjelaskan efek tersebut. Beberapa orang merasa kemampuan baru tersebut adalah anugerah dari sang pencipta, namun tak sedikit yang akhirnya mengalami gangguan jiwa karena tidak mampu bertahan dari rasa takut dan kengerian. Dan itu, tentu saja. Emran sendiri sampai dikira memakai narkoba karena setiap kali melihat arwah gentayangan, perasaannya kacau, jiwanya terguncang, dan tubuhnya menggigil ketakutan. Bahkan Qisya sampai berpikir dia menggunakan narkoba, karena memang ciri-ciri yang terjadi pada dirinya seperti orang yang sedang nagih atau menginginkan kembali barang haram tersebut. Emran menelan ludah. Dia harus berjuang sekuat tenaga agar efek yang menimpanya tak membuatnya gila. Dia punya anak dan istri yang sangat disayanginya. Juga kehidupan yang simpel, sederhana, namun cukup sempurna buatnya, hingga dia tak ingin kehilangan semua itu ketika dia harus dijebloskan ke rumah sakit jiwa. Namun dia tak juga mau menjadi egois seperti Henru. Memanfaatkan kemampuannya dan menjadikannya ladang uang. Ini tak sesimpel itu. Bagaimana dengan rasa takut dan tidak nyaman? Bagaimana jika bukan hanya para arwah yang datang dan mengusik hidupnya yang sebelumnya sangat tenang? Membuat konten dengan cara mendatangi tempat-tempat berhantu atau malah mengundang arwah orang mati lalu mengusiknya agar konten mendapatkan banyak follower dan iklan? No way! Biar saja Henru dengan cara hidupnya sendiri. Emran tidak mau sama seperti temannya yang mungkin sudah gila itu. Tetapi ternyata kejadian aneh usai terbangun dari koma bukan hanya mampu melihat hantu. Ada beberapa orang yang kehilangan kemampuan apa pun sama sekali. Hingga untuk pakai baju atau makan, harus diajarin kembali. Padahal aslinya si pasien sudah dewasa. Selain itu, ada juga yang mendadak bisa berbahasa asing tetapi lupa dengan bahasa sendiri. Atau mendadak bisa ilmu bela diri dan lain sebagainya. Emran kembali fokus pada ragam artikel di laptopnya. Ternyata, selain terbangun dari koma, Emran juga mendapatkan informasi beberapa orang yang mampu melihat dunia astral setelah melakukan pencangkokan mata. Apakah artinya, orang yang mendonorkan matanya sebelumnya mampu melihat hantu? Rekomendasi : Kisah nyata seorang wanita yang bisa melihat hantu setelah operasi mata. Melihat judul video yang muncul di layar monitor laptop, Emran merasa bahwa hal tersebut seakan adalah jawaban yang berasal dari Tuhan. Ia menonton video itu dan bisa menyimpulkan bahwa kejadian nyata yang menimpa wanita tersebut sama persis seperti dirinya. Berarti tidak salah lagi, bola mata barunya lah yang menjadi penyebab di balik kejadian janggal yang dialami Emran. “Hmm, ternyata seperti ini. Aku bisa melihat hantu setelah : aku mengalami koma atau setelah mata kiriku dioperasi. Hanya salah satu dari kedua hal itu yang membuatku jadi memiliki kemampuan seperti ini. Jika otakku yang bermasalah, aku tak mungkin berbuat apa-apa. Atau … katakanlah, mungkin aku harus kembali membenturkan kepalaku sekuat mungkin. Dengan demikian, otakku yang saat kecelakaan dulu itu bergeser, akan kembali ke tempat semula setelah kubenturkan.” Emran tergelak sendiri membayangkan bagaimana dia harus melakukan perbuatan konyol dan tak masuk akal tersebut. Lagi pula, tidak mungkin Qisya akan berdiam diri saja jika dia benar-benar hendak membenturkan kepalanya. “Tetapi, kalau penyebabnya adalah mata baruku, maka aku harus segera mengganti mata ini. Aku harus mencari donor mata yang baru, agar hidupku kembali normal. Henru salah! Tidak mungkin aku bisa hidup dengan normal jika setiap hari diganggu oleh orang-orang tak kasat mata yang sering muncul dengan wujud mengerikan. Aku sama sekali tidak ada hubungan dengan mereka semua. Untuk apa aku harus masuk ke dalam dunia mereka yang sudah tak lagi sama dengan duniaku? Aku bukan pahlawan. Bukan Superman yang mengabdikan diri untuk menolong manusia.” Emran menghela napas. Dan lagi pula, jika pun dia Superman, dia tentunya menolong ‘manusia’ saja. Bukan makhluk halus, arwah gentanyangan, hantu dan sebagainya. Kalau Henru merasa hidupnya menjadi lebih bermanfaat setelah dia dapat melihat apa yang tak kasat mata, prinsip hidup tak bisa dipaksakan harus sama. Apa lagi, sebenarnya Henru tak sebaik itu. Dia lebih cenderung memanfaatkan kemampuanya untuk mencari uang. Prinsip hidup seperti itu sangat bertolak belakang dengan hati dan Jiwanya. Tak lama, Emran mendengar suara bel dari pintu depan. Emran bangkit dari tempat duduknya dan membukakan pintu. "Assalammualaikum, Mas." Qisya tersenyum lalu mencium tangan suaminya. "Waalaikumsalam." "Sudah lama pulang, Mas?” tanya Qisya sembari melangkah masuk dan melihat laptop yang sedang menyala. “Baru sekitar 1 jam, Sayang. Dan Mas sangat kepingin kopi buatanmu," Emran mengedipkan matanya. Membuat Qisya tersenyum manis. "Yang kental dan manis." "Tepat sekali." Qisya langsung beranjak ke dapur setelah meletakkan tas dan kunci mobil di nakas. "Tumben Mas buka laptop." Emran tersenyum. "Aku mencari tahu apa yang telah terjadi denganku, Sayang." "Hm? Maksudnya apa?" "Ada banyak artikel yang membahas tentang efek dari koma dan pencangkokan mata." "Wah, kalau terbangun dari koma lantas mas dapat melihat hantu, itu aku percaya. Tetapi apakah donor mata juga bisa?" Tanya Qisya ragu. "Kenyataannya ada." "Itu artinya si pendonor dulunya dapat melihat hantu, ya?" "Tampaknya begitu." "Wah, repot juga ya, Mas. Gimana kalau si pendonor dulunya ... Hm ... Katakanlah seorang penyanyi. Mas bisa menyanyi siang dan malam, dong." "Itu sama sekali tak ada hubungannya, sayang!" Emran mengacak-acak rambut istrinya dengan gemas. Sementara Qisya tertawa geli dengan leluconnya sendiri. "Ya Allah, aku jadi lupa bikin kopi untuk suamiku," cepat-cepat Qisya beranjak ke dapur. Emran hanya tertawa geli melihat istrinya. Tak lama, Qisya sudah datang membawa nampan berisi dua gelas kopi yang aromanya menguar, memenuhi ruangan dan rongga penciuman Emran. "Harum banget." Qisya tersenyum dan meletakkan kopi mereka di meja. "Bagaimana urusan mas tadi?" "Kamu kenal Henru, Sya?" Qisya berpikir sejenak. Nama itu hampir tak pernah di dengarnya. Apa jangan-jangan dia lupa? "Siapa ya mas?" "Dia teman kuliahku di tahun pertama. Kampus mengeluarkannya di tahun kedua." "Loh, kenapa?" "Dia dituduh membawa pengaruh buruk pada banyak mahasiswa di kampus." "Memangnya apa yang telah dilakukannya, Mas?" "Dia mengatakan ada banyak sekali hantu di kampus kami, sebab dulu pernah terjadi pembantaian di sana." "Ya Allah ...." "Entah apakah itu benar atau hoax, yang pasti banyak mahasiswa yang terpengaruh. Tak sedikit yang ketakutan dan akhirnya pindah ke universitas lain." "Oh, dan tadi itu mas ketemuan sama dia?" Emran mengangguk. "Aku hanya ingin bertanya padanya bagaimana dia menghadapi penampakan-penampakan di depan matanya. Aku berharap dia memberiku solusi." "Lalu?" "Dia malah mengajakku kerja sama membuat konten untuk acara di radionya. Tampaknya dia melihat peluang dan ingin mendapatkan uang dari kemampuan kami." "Mas setuju?" "Tentu saja tidak. Kau tahu aku hanya ingin hidup normal seperti sebelum terjadi kecelakaan." Qisya menghela napas dan memandang suaminya dengan penuh simpati. "Maafkan aku, ya, mas, kalau aku sempat menuduhmu memakai narkoba," ucap Qisya merasa bersalah. Seharusnya dia bisa mempercayai suaminya bukan sembarang menuduhnya. Di sisi lain juga Qisya lega karena dia sudah tahu mengapa akhir-akhir ini suaminya bertingkah aneh. Memang tidak masuk akal dan sulit dipercaya. Tetapi itulah kenyataannya. Emran yang sekarang bisa merasakan hal-hal aneh termasuk melihat arwah yang bergentayangan. Sayangnya sampai detik ini dia masih tidak bisa membedakan mana manusia asli dan mana arwah gentayangan. "Tidak masalah kok Sayang. Aku tahu kamu begitu karena perhatian padaku," balas Emran sambil mengelus kepala Qisya. Yang dibalas oleh senyuman manis istrinya. "Oh iya mas, sejak kapan kamu bisa melihat hal-hal gaib seperti itu?" tanya Qisya. Sejak di rumah tetangganya tadi Qisya sudah penasaran. "Aku sendiri juga tidak tahu, Sya," jawabnya. Emran saja tidak tahu sejak kapan dia bisa merasakan hal ini. Begitu aneh dan tiba-tiba. Bahkan dia bisa mengingat jelas kejadian kecelakaannya waktu itu. Yang dia tahu sejak keluar dari rumah sakit dia sudah mulai merasakan hal-hal aneh. "Bagaimana kalau kita coba tanyakan pada dokter bedah, sewaktu Mas dirawat di rumah sakit? Mungkin saja dia tahu apa penyebab dan bagaimana cara mengatasinya," ucap Qisya memberikan usul pada suaminya itu. Emran yang sedikit ragu akhirnya mengiyakan solusi istrinya itu. “Iya, buatlah janji untuk periksa dan konsultasi,” jawab Emran. “Baik, Mas,” Qisya mengambil ponselnya dari dalam tas dan menelepon ke resepsionis rumah sakit untuk membuat janji temu dengan dokter bedah Emran. Qisya berharap dokter itu bisa membantu mereka. “Kita bisa bertemu dokter besok malam, Mas.” “Baguslah. Kita bisa pergi setelah aku pulang kerja.” Dokter Sucipto, adalah dokter spesialis bedah otak yang mengoperasi Emran sesaat Emran dievakuasi dari tempat kecelakaan. Dokter berusia lima puluh tahunan itu menyambut kedatangan Emran dan Qisya dengan sangat ramah. Wajahnya tampak cerah meski terlihat lelah. Seperti yang sudah disarankan, Emran memang harus memeriksakan diri, terutama kepalanya secara berkala untuk memastikan trauma kepala yang pernah dialami Emran, tidak kembali dan kondisinya baik-baik saja. Usai pemeriksaan, dokter Sucipto menyampaikan kalau Emran dalam kondisi baik-baik saja. “Sering sakit kepala pasca sembuh dari koma, Pak?” Emran mengangguk. “Benar sekali, Dok. Terkadang pusingnya datang tiba-tiba, lalu hilang dengan tiba-tiba juga.” Dokter Sucipto mengangguk-angguk. “Itu efek dari cidera yang pernah anda alami. Apakah obatnya masih terus dimakan?” “Iya, dok.” “Bagus. Saya akan meresepkan vitamin dan suplemen untuk membantu menghilangkan efek sakit kepala tersebut,” dokter tua itu menulis resepnya di kertas dan memberikannya kepada Emran. “Terima kasih, Dok,” ucap Emran memberikan kertas resep tersebut kepada Qisya untuk disimpan. “Sekalian saya ingin bertanya selain sakit kepala, apakah ada pasien anda yang mendapatkan efek lainnya akibat cidera otak seperti yang saya alami, dok?” "Efek yang bagaimana, contohnya?" "Berhalusinasi, misalnya, dok." “Bapak mengalaminya?" "Sepertinya begitu, dok." "Halusinasi dalam hal apa, Pak?” “Sesuatu yang menakutkan. Sepertinya, semenjak terbangun dari koma, saya jadi bisa melihat hal-hal gaib, dok.” “Maksudnya seperti hantu, arwah dan sejenisnya?” “Benar.” “Apa mungkin bapak mengalami stress atau tertekan?” “Tidak, dok. Saya baik-baik saja.” “Baiklah. Bapak melihat hal-hal menakutkan itu apakah lewat mimpi?” “Tidak, dok. Tetapi mereka muncul langsung di depan saya.” “Apakah bapak melihatnya dengan jelas atau semacam bayang-bayang saja?” “Sejelas aku melihat dokter saat ini!” jawab Emran cepat. Dokter Sucipto tersenyum. “Jika bapak menginginkan jawaban dari kaca mata medis, tidak ada hal-hal seperti itu terjadi pasca operasi. Yang ada biasanya pasien mengalami hilang ingatan atau kemunduran dan sejenisnya. Semuanya berlatar medis. Namun jika Bapak mampu melihat hal-hal tak kasat mata, itu sudah di luar ranah medis, Pak. Saya tidak dapat menjelaskan apa penyebabnya dan tentu saja tidak ada obatnya.” Memang dari awal Emran sudah yakin dokter bedah itu tidak mungkin bisa membantu karena ini bukan menyangkut masalah penyakit, melainkan hal mistis. "Tetapi, anda bisa berkonsultasi mengenai masalah itu pada ahlinya. Saya akan merekomendasikan seorang psikiater dan anda dapat menemuinya kapan saja. Sebentar," dokter Sucipto mengambil sebuah kartu nama dari laci mejanya dan memberikannya kepada Emran. Usai memperhatikan kartu nama itu sejenak, Emran dan Qisya menyudahi pertemuan tersebut. "Apa mas akan menemui psikiater itu?" tanya Qisya di tengah perjalanan. Emran yang sedang mengemudikan mobil, menghela napas. "Aku belum memikirkannya." "Tetapi tidak masalah kan, kalau mas menjumpai seorang psikiater. Paling gak, mereka pasti punya jawaban dari persoalan ini." "Satu-satunya jawaban yang paling masuk akal bagiku adalah mencari donor mata yang baru. Jadi aku tak perlu menjumpai siapa pun lagi, termasuk psikiater atau yang lainnya." Qisya diam sejenak. Lalu dia menoleh. "Aku selalu mendukung apa pun keputusan Mas.tetapi ...," Ucapnya menggantung. "Tetapi apa?" "Aku tiba-tiba ingat dengan apa yang baru saja mas lakukan terhadap Bu Maryanti. Jika saja Mas tak dapat melihat almarhumah Nek Rima, mungkin entah sampai kapan beliau mondar-mandir di teras rumahnya menjadi arwah gentayangan hanya karena uang seratus ribu." "Sayang, segala sesuatunya sudah ada yang mengatur. Yaitu Allah," ujar Emran yang mulai mengerti apa maksud istrinya. "Mungkin kebetulan aku yang mengetahui persoalan Nek Rima. Tetapi seandainya aku tak dapat melihatnya, tetap saja akan ada yang memberitahu. Nek Marwah sendiri, misalnya. Atau keluarga Nek Marwah. Atau mungkin juga akan ada orang lain." Qisya mengangguk. "Aku paham, mas hanya ingin hidup tenang sepertu dulu." "Iya, sayang. Hanya itu yang kuinginkan. Aku tidak ingin kehidupan yang ribet dan kusut. Cukup tentang aku, kamu dan Zidan. Sudah, itu saja." Qisya tahu suaminya pasti tak ingin dibantah. Lagi pula, dia sendiri juga gak yakin apakah mampu melihat suaminya selalu dirundung ketakutan. Atau seperti saat mereka hendak makan bakso kemarin. Karena Emran melihat apa yang seharusnya tak terlihat, maka semenjak itu mereka jadi kapok makan di luar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD