Qisya sudah tidak sabar lagi ingin bertemu dengan Irfan, kakak sepupunya. Bukan untuk melepas rindu, tapi untuk melabraknya. Ia merasa Irfan telah semena-mena kepada suaminya. Sudah berhari-hari ia memikirkan berbagai cara, berbagai kalimat, bahkan berbagai gaya marah yang bisa ia gunakan agar hatinya terasa puas. Namun tentu saja, Emran melarang keras. “Gak usah marah-marah, Sayang. Aku yakin Mas Irfan pasti punya alasan kuat waktu itu,” ucap Emran dengan tenang. Qisya menggeleng. “Mas tuh memang tipe pemaaf, sih. Finansial kita juga alhamdulillah udah lebih dari cukup, jadi Mas bisa santai. Tapi coba bayangin kalau ini terjadi ke orang yang hidupnya pas-pasan, yang tiap bulan ngandelin gaji buat ngasih makan anak-istrinya? Coba bayangin, Mas!” Dan memang, Qisya masih ingat jelas baga

