Hod 30, Bertemu Aufa

1299 Words
Hari ini, perban di mata Emran akan dilepas. Dan Emran sudah mempersiapkan diri untuk kembali melihat hantu-hantu yang menunjukkan penampakan mereka kepada Emran. Dan ternyata benar, persis seperti dugaannya. Saat perban di matanya dilepaskan, Emran kembali melihat luka bakar di kedua tangannya. Luka melepuh dan dia juga merasakan sakit dan perih. “Bagaimana, Pak? Apakah ada rasa sakit di mata bapak?” tanya dokter sembari menyorot mata kiri Emran dengan senternya. “Tidak ada, dok.” “Mungkin hal lainnya?” ‘Aku masih tetap bisa melihat hantu, dok,’ jawab Emran cepat. Tetapi tentu saja hanya di dalam hati. sebab, kalau dia berterus terang, dokter spesialis mata di hadapannya pasti akan menahan senyum lalu menyarankan agar dia bertemu dengan terapis kejiwaan. “Pak?” “Tidak ada, Pak. Semuanya normal.” “Baguslah. Suster akan membersihkan sekitar mata Bapak. Setelah itu, saya akan menuliskan resep obat untuk mata Bapak.” “Terima kasih banyak, dok.” “Sama-sama.” Setelah melihat dokternya pergi, Emran mengalihkan perhatiannya kepada suster. "Suster, boleh bertanya sedikit?" ucap Emran mencoba meyakinkan dirinya akan matanya. "Silakan, Pak. Mau bertanya apa?" jawab suster tersebut sambil membersihkan sekitar mata Emran dari bekas-bekas obat dan plester yang menempel. "Apakah suster pernah ... melihat hantu?" Alis mata wanita berpakaian serba putih itu, naik sebelah. "Maksudnya, apa ya Pak?" "Yah, kalo di film-film, rumah sakit biasanya selalu dihuni banyak hantu." "Wah, saya gak tau soal itu, Pak. Karena saya juga tidak dapat melihat hantu." Emran mengangguk. "Ohya, Sus. Tangan saya sakit karena kena luka bakar. Bisa dilihat sebentar?" Perawat wanita itu mengangguk dan segera memeriksa tangan Emran. Setelah membolak-balik dan memperhatikan dengan kening mengerut, dia langsung melihat ke muka Emran. "Tidak ada luka apa pun di sini, Pak. Kalau pun sebelumnya pernah luka, artinya sekarang sudah sembuh total tanpa bekas." Jadi benar. Emran sudah yakin seratus persen kalau penyebab dia bisa melihat hantu dan sejenisnya adalah mata kirinya yang baru. Suster di depannya tidak dapat melihat. Qisya juga. Dion dan teman-temannya di cafe. "Makasih, Sus," ucap Emran kemudian. Saat yang sama, dilihatnya Qisya masuk dengan langkah-langkahnya yang ringan. "Mas, aku datang menjemputmu. Nanti Dion yang akan antar motormu ke rumah. Aku sudah memberinya kunci." "Makasih, Sayang," ucap Emran. "Apa kamu sudah menemukan pesanan ku, Sya?" "Ada di dalam tas, Mas." "Alhamdulillah. Aku akan memakainya nanti saja setelah di luar. Biar gak terlalu mengundang perhatian." "Jika ingin melihat dengan normal, Mas sudah harus memakainya sejak awal." "Iya, Sya. Tapi kulihat dulu gimana wajahku kalau memakainya." "Tetap ganteng, dong." Emran menyeringai mendengar pujian istrinya. “Tetapi aku masih melihat luka bakar ini di tanganku, Sya. Kenapa ya? Apa sentuhan hantu juga berpengaruh kepadaku? Kalau hantunya mati karena terbakar dan dia menyentuhku, maka aku juga ikut terbakar?” Qisya memandang suaminya dengan seksama. “Kalo mas saja bingung, apa lagi aku, Mas. Tapi bisa saja hal itu terjadi karena pengaruh arwah itu sangat kuat terhadap mas. Jadi dia bisa melukai Mas.” “Wah, gawat kalo begitu.” “Padahal masih anak-anak, loh.” "Aku jadi ingat dengan almarhumah Nek Rima yang berkali-kali memperlihatkan dirinya ke Mas. Jangan-jangan arwah anak itu juga sedang membutuhkan bantuan Mas." Emran menggeleng. "Aku tidak ingin mengetahuinya, Sya. Yang kuinginkan adalah kembali hidup dengan normal." "Baiklah, Mas. Kamu tahu aku selalu mendukungmu." "Bantu aku mencari donor mata, Sayang." Qisya mengangguk. "Iya, mas. Aku akan menelepon Bank Mata untuk membuat janji.” “Baguslah. Aku sudah tak sabar lagi. Hari-hari pasca kecelakaan, aku merasa sangat tak nyaman. Aku bisa gila kalau begini terus.” “Ya ampun, jangan sampai gila mas. Kasihan Zidan.” Emran terkekeh. “Jangan terlalu serius, sayang. Itu hanya perandaian saja. aslinya mas sangat kuat menahan gangguan apa pun, kok.” “Alhamdulillah.” Sambut Qisya tersenyum manis. Usai bertemu dokter di ruangannya dan mendapatkan resep obat, Emran dan Qisya mengundurkan diri untuk pulang. Koridor rumah sakit yang ramai dengan orang-orang yang lalu lalang, terasa sedikit menakutkan bagi Emran. seolah, semua suara-suara kesibukan yang terjadi di rumah sakit, hilang begitu saja tergantikan oleh suara-suara suram dari dunia lain, yang menakutkan. "Sya, kamu dengar suara orang berteriak?" tanya Emran pada Qisya yang sedang berjalan didepannya. "Berteriak? Aku tak mendengar suara apa pun selain kesibukan orang-orang, Mas," ucap Qisya pada Emran. "Jadi hanya aku yang mendengarnya, ya?" Emran mencoba bertanya untuk kedua kalinya. Tetapi Qisya menggelengkan kepala, pertanda dia memang tidak mendengar apapun. Tiba-tiba ada embusan angin di lehernya. Kali ini Emran yakin bahwa memang ada yang mengganggunya. Dengan berhati-hati dia melihat ke kanan kiri, takut tiba-tiba sosok menyeramkan itu akan datang kembali mengusik hidupnya. “Inilah alasan mengapa aku harus segera mendapatkan donor mata yang baru,” gumam Emran semakin membulatkan tekatnya. Qisya mengangguk. “Iya, mas. Aku bisa bayangkan gimana rasanya bertemu dengan arwah-arwah penasaran yang menakutkan. Kalau aku, pasti sudah pingsan berkali-kali,” ucapnya seraya menarik lengan suaminya menuju bagian administrasi untuk membayar seluruh pengobatan Emran selama dirawat. Karena antrian yang cukup ramai, mereka harus menunggu di ruang tunggu. Emran yang tidak tahan karena kebelet, meminta izin pada Qisya untuk permisi ke toilet sebentar saja. "Mau aku temani mas?" tawar Qisya. Dia tahu Suaminya itu sepertinya sedang depresi berat. Emran menolak. Karena jika Qisya menemaninya nanti antrian akan semakin ramai dan mereka akan semakin lama untuk pulang. Emran berjalan dengan pelan mencari toilet di rumah sakit besar itu. Sedikit seram rasanya menelusuri rumah sakit ini sendirian. Dari kejauhan Emran melihat asap putih yang tebal. Semakin aneh, beberapa orang yang ada di sekitarnya tadi tiba-tiba menghilang entah kemana. "Aku tidak sedang bermimpi. Aku hanya sedang … kembali diganggu oleh makhluk halus!” gerutu Emran menghela napas berat. Dia berusaha mengabaikan apa yang kira-kira akan terjadi lagi. Hantu mana lagi sekarang yang mengganggunya? Emran merasa kemampuannya mulai berkembang. Dari hanya bisa melihat dan berkomunikasi, kini dia dapat merasakan dan akhirnya masuk ke dunia orang-orang mati itu. Seperti saat ini, dia merasa terjebak di situasi aneh. Rumah sakit itu seketika berubah menjadi tempat yang benar-benar menyeramkan. Buru-buru Emran keluar dari toilet dan berniat untuk kembali pada Qisya. Tetapi jalan yang dilewatinya sepertinya kembali terus menerus ke tempat yang sama. Sudah hampir beberapa menit dia berjalan memutar terus hingga tak sampai-sampai ke ruang tunggu di kasir depan. Tiba-tiba Emran mendengar suara berlari kecil dari belakangnya. Emran memutar badan dengan ragu dan dia melihat sosok berukuran kecil yang ada dibelakangnya, berjalan mendekat padanya. Semakin lama, Emran semakin mampu melihat ternyata yang melangkah kepayahan di mendekatinya adalah sosok anak kecil. Jujur, Emran takut melihat tubuh anak itu yang terbakar hangus. Ketika semakin dekat, Emrah bisa mengenalinya. Itu adalah anak kecil yang pernah dilihatnya melambaikan tangan kepadanya. Sosok anak kecil yang dikiranya adalah tamu café yang datang bersama orang tuanya. Emran sama sekali tak menduga kalau anak perempuan yang mungkin masih berusia sekitar 6 atau 7 tahun itu adalah arwah gentanyangan. “Kau … yang di café itu, kan?” tanya Emran akhirnya. Dia memang takut. Tetapi juga penasaran. Dan heran, karena anak itu bisa menyentuhnya hingga membuatnya merasa ikut terbakar. Sebelumnya, Emran sudah beberapa kali bertemu atau bertabrakan dengan arwah. Semuanya seperti menembus begitu saja. seperti saat kita melintasi asap. Namun berbeda sekali dengan anak itu. Ketika tangannya menyentuh, Emran merasa tangannya ikut terbakar. Tiba-tiba sosok itu berubah menjadi sosok yang berbeda. Memakai gaun putih yang indah, seperti gaun impian anak kecil saat berulang tahun. Dan Emran mengenali wajah anak itu, sama seperti dengan anak yang pernah dilihatnya keluar dari mobil Irfan. "Om, tolong bantu Aufa …." Emran mendengar sayup-sayup suara anak kecil yang lirih dan sedih. Apakah itu suara anak kecil di hadapannya? Namun Emran tak melihat mulut anak kecil itu bergerak. Namun Emran sangat yakin kalau yang bicara itu adalah hantu anak kecil di depannya. "Om, bantu Aufa. Bantu Aufa ….” Kembali suara kecil itu terdengar, tepat ketika anak perempuan itu mendekat sekali kepadanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD