Rindi menatap ke arah keluarga kecilnya, setidaknya tidak ada lagi pertengkaran yang kadang membuatnya harus menutup telinga rapat-rapat atau hanya bisa menangis dalam diam. Kedua adik kembarnya sedang makan dengan soto, sedangkan ayah dan ibunya sama-sama hanya makan nasi dengan sayur. Walaupun hidup di keluarga yang pas-pasan, setidaknya tidak ada perselisihan diantara mereka. Karena jujur saja, Rindi lelah harus melihat orangtuanya hanya membicarakan tentang berpisah meski dia mendukung karena melihat keduanya yang memang tidak bisa terselamatkan lagi.
Rindi tahu jika keduanya tidak benar-benar saling mencintai karena sama-sama terpaku pada masa lalu. Namun, dia masih bisa bersyukur jika orangtuanya masih mau bertahan untuk adik-adiknya yang butuh dengan kasih sayang lengkap dari keduanya. Sedangkan untuk hatinya sebagai anak pertama sudah tidak penting lagi. Rindi sudah bisa memahami jika perasaan cinta memang tidak bisa dipaksakan. Begitupula dengan dua orang yang sudah menikah sekalipun.
Makanannya hampir habis dan wajah cerianya masih saja tidak terlihat karena pagi ini memang ujian tengah semester yang kini harus dia jalani mulai hari Senin pagi. Harusnya Sabtu begitu dia bisa melakukan hibernasi untuk jangka waktu yang lama. Tetapi ujian ini memang menodai masa liburannya. Karena biasanya jika Senin dia memang libur. Tidak apa-apa, akan ada waktu panjang untuk sedikit menikmati suasana kasur yang empuk dipadukan dengan kipas angin yang berputar, sejuk.
"Dihabiskan makanannya Rin, nanti kamu ujian kan?" tanya bu Meta—ibunya. Sedangkan Rindi menatap ibunya sekilas lalu mengangguk dengan lesu.
Hafid dan Danil—adik kembar Rindi, hanya menatap sang kakak yang mengalami gejala-gejala 5L—lemah, lesu, lunglai, letih, dan lebay karena overdosis soal. Pagi-pagi sudah ditemani dengan buku-buku tebal yang memang hasil tulisan tangannya sendiri yang sudah tidak bisa dibaca pada halaman-halaman akhir karena sudah mirip sandi rumput.
Rindi menghela napas panjang dengan menggenggam gelasnya yang berisi s**u coklat itu, "hm iya nih bu, tapi aku kaya belum siap menjalani hari. Habisnya materinya banyak," curhatnya yang membuat kembali melamun membayangkan betapa susahnya mengerjakan soal kaldif—kalkulus diferensial. Ah, kalkulus rata-rata memang menjadi momok yang sering ditakuti anak matematika. Apalagi kelasnya pasti sesak karena dipenuhi kating—kakak tingkat yang mengulang pada semester ini.
Bu Meta hanya menyunggingkan senyumnya, "yang penting kamu kerjain dulu. Masa tiap hari bahasannya itu tapi enggak bisa," ucap bu Meta dengan mudahnya tanpa melihat dulu apa itu soal kaldif yang susahnya banget. Apalagi untuknya yang memang tidak pernah bersahabat dengan limit dan turunan sejak SMA.
Walaupun katanya, kalkulus kalau tidak dilimitkan, berarti diturunkan, kalau tidak kedua hal tersebut berarti yang diintegralkan. Kalkulus memang indah dengan segala keruwetan di dalamnya yang membuat pikiran semakin dipenuhi angka tak kasat mata.
Rindi menarik tali tasnya dan beranjak dengan cepat. Sebelum itu dia sudah berpamitan pada kedua orangtuanya terlebih dulu. Jalanan menuju kampusnya bisa dia lewati dengan menggunakan trans. Paling tidak dia bisa duduk di halte selama lima belas menit untuk menunggu bus biru itu datang dan membawanya ke kampus untuk melaksanakan ujian.
Rindi naik ke halte lalu dengan senyuman tipis ala kadarnya dia berikan kepada petugas yang berjaga di halte. Tangan kanan sibuk dengan kartu trans dan buru-buru men-tab pada alat di depannya. Halte cukup ramai dan sesak karena dipenuhi dengan manusia yang mungkin saja tujuannya sama dengannya. Maklum juga karena hari ini adalah hari Senin. Jadi pagi yang padat karena semua kendaraan turun ke jalanan.
Ponselnya sedari tadi berdering dan memperlihatkan sebuah nama yang sangatlah Rindi hapal. Tapi perempuan dengan garis wajah serius yang terlihat sombong untuk orang yang baru melihatnya sedang mengabaikan dering ponselnya yang nampak ramai karena Arjun sudah mulai meneror dirinya. Laki-laki itu memang selalu membuatnya bingung, di satu sisi, Arjun hanya seperti teman yang selalu berada disampingnya. Disisi yang lain, Arjun mirip laki-laki yang jatuh cinta padanya dengan perasaan.
Buku tebal dengan deretan teorema, definisi, serta gambar-gambar abstrak seakan sudah memenuhi buku yang Rindi bawa sebagai panduan belajar. Matanya masih mengantuk dan mood-nya belum membaik karena Arjun semalaman marah-marah tak jelas padanya karena dia kesal dengan salah satu teman perempuannya. Dan Rindi masih ingat siapa nama orang yang Arjun sebut itu, namanya Lusia—anak psikologi yang merupakan teman satu kelas dari Arjun sekaligus teman satu organisasi.
Rindi menutup bukunya sebal dan masuk ke dalam trans yang kebetulan lewat di depannya. Dia ikut mengantri untuk masuk ke dalam karena penumpang cukup banyak masuk ke jalur bus trans 2A. Rindi memilih tempat duduk yang paling belakang yang sudah menjadi kegemarannya sejak dia naik trans ke kampus. Karena di bagian belakang adalah tempat duduk paling nyaman yang bisa dia gunakan untuk tenggelam dalam tidurnya selama perjalanannya sampai kampus.
Perempuan itu kembali sibuk dengan ponselnya dan sekarang malah memasang headset untuk mendengarkan lagu-lagu yang dia sukai. Meski kata Arjun, lagu yang dia suka memang sedikit tergolong jaman dulu. Tapi bagi Rindi, lagu jaman dulu lebih menyentuh daripada lagu-lagu baru jaman sekarang. Padahal dia bukan orang yang paham dan mengerti soal musik. Tapi, dia adalah penggemar musik meski hanya instrumennya saja. Dia tidak menyukai idol-idol di televisi, dia hanya mencintai karya mereka.
Beberapa orang yang berada di dalam hanya memandang Rindi dengan tatapan tidak suka. Gadis itu memang selalu memasang wajah tidak bersahabat kepada siapapun, tetapi aslinya jika sudah dekat, Rindi bukan orang yang sulit bergaul. Dia hanya membatasi dirinya dari dunia luar yang memang kejam serta penuh dengan terjalnya jalan pengkhianatan.
Trans kembali berhenti di salah satu halte yang berada di dekat kampusnya. Rindi turun dengan masih mendengarkan lagu yang di nyanyikan oleh nineball yang berjudul hingga akhir waktu. Nadanya yang lembut serta syarat akan makna yang mendalam.
Seorang laki-laki dengan jaket parasut warna hitam berdiri di dekat hall MIPA sambil menatap gerak-gerik Rindi yang memang tidak menatap ke arah depannya. Rindi hanya fokus dengan ponsel dan sibuk mendengarkan lagu. Tangan laki-laki yang diketahui adalah Arjun itu langsung saja menarik kabel headset milik Rindi itu dengan cepat. Membuat Rindi hanya bisa melongo dengan sosok manusia di depan matanya.
"Pantes pada jutek sama kamu, orang kamu malesin gitu kalau nggak disapa enggak pernah nyapa duluan. Emang ngeselin ya," gerutu Arjun dengan wajah kesalnya. Apalagi saat tahu jika pesannya sejak tadi hanya gadis itu abaikan padahal sedang tidak sibuk.
Rindi mendengus lalu menatap Arjun dari atas sampai bawah yang sudah rapi dengan pakaian kuliahnya namun tertutupi jaket. Ah, mau bagaimanapun gayanya, Arjun memang selalu terbukti tampan. Tatanan rambutnya kali ini dibuat jambul dan kesannya membuat dahi laki-laki itu begitu menawan. Rindi memang sudah jatuh pada pesona Arjun sejak lama. Hanya saja dia tidak mau mengakui semuanya.
"Masalah gitu buat kamu? Aku sama kamu itu beda, kalau aku cuma bisa kaya orang dungu aja kalau tiba-tiba gabung sama anak-anak. Adanya mereka mikir kalau aku salah minum obat. Ar, berhenti ikut campur masalah satu itu," tegas Rindi yang hanya ditatap oleh Arjun.
"Ada masalah apa lagi sih? Kok mood-mu gampang banget deh berubah-ubah? Aku hari ini nggak ada tes, nanti setelah kamu selesai gimana kalau jalan-jalan ke Malioboro bentar. Siapa tahu kamu bisa terhibur," Rindi mendongak ke arah Arjun lalu mengangguk. Tidak ada alasan untuk menolak ajakan Arjun karena Rindi sendiri juga sangat menyukai ajakan itu.
Walaupun hanya sekedar untuk berjalan-jalan, tapi dia cukup senang karena Arjun lah yang mengajaknya duluan. Arjun mengelus kepala Rindi lalu duduk di salah satu kursi yang ada di hall MIPA dengan tenang lalu mempersilahkan Rindi untuk segera masuk ke ruangan ujian.
###
Jalanan Malioboro nampak tanpa cela. Dipenuhi oleh orang-orang yang ingin menikmati suasana Jogja di malam hari. Sama halnya dengan Arjun dan Rindi yang sibuk duduk berdua di salah satu kursi panjang yang berada di monumen satu Maret sambil membawa minuman yang mereka beli tadi. Rindi sering datang kesini, namun jika bersama Arjun itu baru hari ini dan semuanya memang sebuah hal yang baru.
Keduanya hanya melihat lalu lalang manusia yang sedang rekreasi atau sekedar nongkrong dengan teman-teman mereka. Sebagian lagi ada yang pacaran dan juga piknik keluarga kecil. Ah, mereka hanya segelintir orang yang menyukai suasana Malioboro di malam hari. Mungkin untuk main ke benteng Vredeburg juga sudah tutup dan akhirnya mereka hanya duduk sambil memikirkan sesuatu di dalam otak masing-masing.
Arjun sedari tadi hanya menutup mulutnya saja. Rasanya susah saat dia ingin mengatakan jika dia mendaftar polisi lagi. Meski itu hanya pada seorang Rindi yang jelas-jelas tidak akan pernah menertawakan dirinya jikalau dia gagal. Sedangkan Rindi disampingnya malah asik mendengarkan musik tradisional yang biasa berjajar di jalanan.
Sesekali dia tersenyum karena takjub dengan musik yang dibawakan beberapa pemuda di sana.
"Mau makan atau langsung pulang?" tanya Arjun yang kini sudah berdiri dari duduknya dan menatap Rindi yang masih asik tersenyum karena saking bahagianya.
"Makan boleh," jawabnya yang hanya diangguki oleh Arjun. Keduanya berjalan di sekeliling Malioboro untuk mencari makanan di sekitar sana. Kadang, bola mata Arjun melirik ke arah perempuan itu.
Perasaan takut juga menjalar di dalam hatinya. Ketika dirinya sudah menyerahkan segalanya hanya untuk mencintai Rindi dan Rindi tiba-tiba menjauhinya tanpa alasan seperti beberapa perempuan yang pernah singgah dalam hidupnya.
Langkah Rindi tiba-tiba terhenti karena ada beberapa laki-laki berseragam warna coklat serta lengkap dengan brevet yang menghiasi seragamnya. Dan mungkin malam ini juga malam yang digunakan para taruna-taruna itu untuk pesiar. Apalagi jika dilihat, laki-laki seperti itu adalah idaman bagi seorang Rindi yang menjadi fans tentara sejak lama. Entahlah apa yang membuat dirinya menyukai seorang tentara. Namun, Rindi juga bermimpi bisa bersanding dengan seorang abdi negara.
Arjun tahu betul jika Rindi suka dengan kaum laki-laki yang biasa memakai pakaian doreng itu. Dia juga tahu jika Rindi memang gemar melihat mereka meski hanya lewat di depan matanya. Karena bagi Rindi, pemandangan semacam itu adalah sebuah hal yang langka dan perlu dia lihat setiap saat.
Bahkan, mood-nya yang buruk, bisa-bisa membaik hanya karena dia melihat dua orang polisi muda sedang bertugas di jalan. Baginya, menyukai abdi negara adalah salah satu alasan untuk mencintai penjaga negaranya. Rindi tidak peduli dengan banyak sebutan untuk seseorang yang menyukai tentara khusunya.
Dia memang suka dengan para tentara, tapi bukan berarti dia adalah gitar—gila taruna. Rindi tidak mempermasalahkan pangkat karena dia hanya suka dengan kinerja mereka serta soal keberanian mereka untuk datang ke tempat yang bermasalah tanpa mengeluh sama sekali.
Rindi menyunggingkan senyum manisnya, apalagi saat melihat dua taruna itu sedang berdiri di dekat pemain musik angklung sambil mendengarkan instrumen yang ditimbulkan. Sedangkan Arjun hanya bisa melirik Rindi dengan wajah bingungnya. Dia berpikir untuk segera memberi tahu gadis itu, namun lagi-lagi dia mengurungkan niatnya.
"Mau makan apa mau ngelihatin cowok-cowok pakai baju ketat? Kamu m***m ah, masa lihatin perut mereka," gerutu Arjun yang hanya mendapat tatapan sebal dari Rindi karena baginya jarang-jarang bisa melihat taruna dengan jelas di sekitarnya.
"Kamu tahu nggak, kalau postur tubuh mereka itu pelukable gitu. Ditambah ada lesung pipinya, kan bikin gemes. Tuh lihat deh Ar, tinggi mereka juga tinggi banget. Berasa lagi nonton Drakor deh," ucap Rindi yang menangkup pipinya dengan keduanya tangannya.
Arjun memutar bola matanya malas, "alah, badan kerempeng gitu bagus dari mana coba? Ah, ayo pulang besok masih tes," Arjun menarik pelan pergelangan tangan Rindi. Sedangkan Rindi hanya memanyunkan bibirnya karena kesenangannya untuk melihat laki-laki gagah di sana selesai begitu saja gara-gara Arjun.
Dan akhirnya, keduanya sudah terdampar di warung tenda pinggir jalan di bawah fly over. Tadinya Arjun ingin mengajak Rindi makan di dekat Malioboro saja, namun setelah melihat ada banyak taruna di sana, membuat Arjun mengurungkan niatnya. Bukannya makan nanti, Rindi pasti lebih memilih melihat laki-laki dengan seragam itu daripada melihat dirinya. Ah, Arjun jadi cemburu jika melihat betapa sukanya Rindi pada TNI.
Rindi melahap makanannya dan sesekali melirik Arjun yang tidak terlihat bersemangat, "kenapa? Nggak enak?" tanya Rindi yang langsung dijawab gelengan oleh Arjun. Makanannya enak sih, hanya saja mood-nya yang tidak enak.
"Mm, kamu kan suka tentara tuh, kalau polisi suka nggak?" tanya Arjun yang membuat kedua bola mata Rindi mendelik ke arahnya dengan bibir yang terbuka. Lalu pandangannya diarahkan ke atas langit, bingung akan menjawab apa.
"Mm, aku suka. Asalkan," ucapnya menggantung yang membuat Arjun menaikkan sebelah alisnya.
"Asalkan apa?"
"Asalkan polisinya kamu," ucapnya yang membuat detak jantung Arjun berdetak dengan cepat. Ada rasa bahagia yang menjalar di tubuhnya. Rasa yang tidak bisa dia jelaskan hanya karena Rindi bilang seperti itu padanya.