Luka

1057 Words
Seorang pria memandang langit malam yang dipenuhi percikan api. Pemandangan tersebut sudah biasa ia lihat sejak ia masih kecil. Wajahnya terlihat datar, akan tetapi mata hazelnya menyiratkan kesedihan sebagai seorang hamba Allah, anak, kakak, serta rakyat Palestina. Sebagaimana seorang manusia pada umumnya, ia mengharapkan tanah airnya bersih dari tumpahan darah dan air mata penduduknya. Ia pun mengharapkan kedamaian tercipta di atas tanah yang pernah ditinggali para nabi Allah dalam membimbing umat mereka. Bahkan ia sampai membayangkan seperti apa suasana Palestina di masa lalu, di mana beragam umat beragama hidup berdampingan tanpa harus merasakan dentuman bom yang memekakkan pendengaran mereka. "Kak Faqih!" Pria itu menoleh ke belakang, memandang wajah adik perempuan satu-satunya yang kini berlari ke arahnya. "Anak gadis ini kenapa belum tidur?" tanya Faqih dengan nada lembut. "Banyak nyamuk, Kak," jawab gadis berusia sebelas tahun itu. Faqih pun tersenyum, kemudian beranjak dari batu besar yang ia duduki tadi. "Kita pasang kelambunya, setelah itu kamu harus tidur. Biar nanti tidak ketinggalan salat Subuh di masjid," tutur Faqih. Pria itu meminta adiknya berjalan lebih dulu masuk ke dalam rumah. Sekali lagi ia menoleh, menatap langit malam diiringi helaan napas panjang. Dalam hati ia kembali berdoa dengan permohonan yang sama setiap harinya. "Ya Allah, berikanlah pertolongan-Mu kepada kami serta tempatkanlah mereka yang pergi lebih dulu ke dalam surga-Mu." *** Lantunan ayat-ayat suci mengalun indah dari bibir Faqih sembari memejamkan mata. Sudah dua jam berlalu sejak Raihana, sang adik perempuan, terlelap, akan tetapi pria berusia 28 tahun itu belum bisa tidur. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menghafal ayat-ayat Ilahi yang menjadi mukjizat terbesar Rasulullah Muhammad saw. Kemampuannya tak perlu diragukan lagi. Gelar hafiz ia dapatkan saat ia berusia tiga belas tahun. Saat itu pula ia harus menerima kenyataan bahwa sang ibu kembali ke pangkuan Ilahi dengan kondisi mengenaskan. Sebagian tubuhnya hancur karena bom yang dijatuhkan melalui pesawat militer tentara zionis. Napas Faqih tersengal-sengal seraya membuka mata. Bayangan kematian sang ibu kembali mengorek luka lamanya. Terlebih lagi jarak kematian antara ayah dan ibunya hanya seminggu. "Ummi, Baba," gumam Faqih dengan linangan air mata. Wajah Faqih kembali basah. Lantunan ayat Al-Quran telah berganti dengan zikir. Sebisa mungkin ia memeluk dirinya dalam balutan selimut demi menjaga tubuhnya tetap hangat. Suara dentuman bom kembali terdengar. Entah apa yang dipikirkan oleh komplotan tentara zionis itu. Apakah mereka tak bisa beristirahat saja daripada terus mengusik ketenangan warga Palestina sepanjang siang dan malam? *** "Gue yang dilamar, tapi bukan gue yang dinikahi." Emira mengambil kotak beludru merah berisi cincin berlian yang sempat ia terima sebulan yang lalu. Tepat di hari ulang tahunnya, Alvaro melamarnya. Pria yang dekat dengannya selama beberapa bulan itu datang di hadapan keluarga besarnya bersama orang tuanya untuk meminangnya. Bahagia? Ah, tentu saja! Sang ibu bahkan sampai menangis haru karena putri bungsunya akan segera mengakhiri masa lajangnya. Tanggal pernikahan sudah ditentukan. Alvaro bahkan sudah siap dengan segala hantaran yang akan ia berikan pada Emira. Sayang sekali, Alvaro tergoda dengan Julie sampai wanita itu hamil. Tanpa Emira tahu, Julie sudah lama menyukai Alvaro. Namun, Alvaro justru menyukai Emira. Hal itu membuat Julie meradang. Wanita itu selalu saja dengki terhadap apa yang dimiliki oleh Emira. Emira yang cantik, cerdas, mandiri, dan kaya raya. Julie tak rela jika semua orang menyukai Emira. Padahal Emira sudah menganggapnya seperti saudara. Emira menutup kotak cincin itu, lalu mengambil ponselnya. "Emira, apa kamu memaafkanku?" Emira tersenyum sinis begitu sambungan teleponnya terjawab. "Datanglah kemari! Sekarang juga!" katanya sebelum memutuskan sambungan telepon secara sepihak. *** Alvaro tampak senang sekali ketika Emira menghubunginya lagi setelah kejadian di kampus Emira tiga hari yang lalu. Pria itu mengenakan jaketnya, kemudian merapikan rambutnya. Kegiatannya sampai diperhatikan oleh Julie dengan wajah tertekuk. "Mau ke mana sih? Kita ini baru nikah, Mas!" Julie tak bisa lagi menahan rasa kesalnya. "Aku ingin ke rumah Emira," jawab Alvaro. "Tidak! Kau tidak boleh ke sana!" "Siapa dirimu yang berani melarangku!" sentak Alvaro. "Ingat, Julie, kau hanya istri siriku!" "Tapi aku yang mengandung anakmu!" "Kau yang menggodaku!" "Padahal kau juga menikmati tubuhku, Al! Bahkan sampai minta tiga ronde!" "Cukup, Julie! Aku harus segera pergi sebelum Emira berubah pikiran!" Alvaro menyambar kunci motornya di atas nakas, kemudian berlalu begitu saja tanpa menghiraukan teriakan Julie. "Aku tak bisa membiarkanmu pergi, Al!" Julie menyambar jaket kulitnya dan merapikan rambutnya. Wanita itu pun bergegas menyusul kepergian sang suami sebelum hal yang tidak ia inginkan terjadi. Tiga puluh menit adalah waktu yang ditempuh Alvaro untuk sampai di rumah Emira. Begitu selesai memarkirkan motornya, Alvaro berlari kecil dan mengetuk pintu. "Kenapa lagi kau ke sini?" Alvaro menelan ludah begitu melihat tatapan Hazig. Ia membuka mulut hendak menjawab, akan tetapi suara lembut Emira mencegahnya. "Aku yang minta dia ke sini, Ayah." Hazig mengusap kepala Emira, kemudian beralih menatap tajam Alvaro. "Kalian bicara di luar saja. Ayah gak sudi dia masuk." Emira mengangguk patuh. Begitu juga dengan Alvaro yang tak berani membantah ucapan Hazig. Mereka pun duduk di teras. Beberapa menit mereka saling diam. Hanya helaan napas panjang dari Alvaro yang terdengar. "Emi, aku minta maaf," lirih Alvaro. "Aku sudah maafkan," sahut Emira. "Apakah--" "Jangan pernah berharap aku masih melanjutkan rencana pernikahan kita!" potong Emira, seraya menaruh kotak cincin di atas meja, tepat di depan Alvaro. "Em, i-ini ... kenapa?" "Aku tak pantas memakainya, Mas. Julie yang seharusnya memakainya karena dia istrimu." "Em, aku menikahinya karena terpaksa. Setelah dia melahirkan, aku akan menceraikannya." "Jangan pernah menjadi lelaki pengecut, Mas!" Emira berdiri. "Bertanggung jawablah sampai akhir! Jangan pernah sekali pun kamu berpikir untuk mempermainkan pernikahan!" "Perempuan sialan!" Emira terkejut melihat Julie tiba-tiba muncul dengan penampilan yang sangat berantakan. "Kau pelakor! Kau berani sekali menggoda suamiku dengan menyuruhnya ke sini!" hardik Julie. Emira berteriak histeris ketika jilbabnya ditarik paksa oleh Julie. "Dasar perempuan murahan!" teriak Julie. "Kau yang murahan, Julie! Kau yang merebut calon suamiku!" balas Emira. Alvaro segera menarik mundur istrinya agar tak melukai Emira. "Apa-apaan ini!" Hazig kembali keluar karena mendengar keributan di teras rumah. "Julie! Bisa-bisanya kau ke sini untuk menyakiti putriku!" "Dia yang terlalu gatal, Om! Dia ... aaww!" Satu tamparan mengenai wajah Julie. Nayyara yang memberikannya karena sudah lepas kendali. "Kau yang seharusnya berkaca, Julie!" kata Nayyara. Nayyara menarik tangan Emira. "Nak, urusanmu dengan Alvaro sudah selesai, kan?" Emira menjawab dengan anggukan kepala. "Mulai sekarang, kalian jangan pernah mengusik putriku lagi!" kata Hazig, seraya menutup pintu dengan sangat keras. Tubuh Emira bergetar. Nayyara semakin mengeratkan pelukannya. "Tak apa, Nak. Tak masalah kamu menangis malam ini," bisik Nayyara.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD