1 [Crazy Seniority]

620 Words
Koridor lantai dua gedung selatan. Dari situlah sebagian siswa menyaksikan pertandingan basket tidak resmi yang berlangsung di lapangan nan terhampar luas di bawah mereka. Pertandingan untuk mengisi kekosongan jam pelajaran akibat seluruh dewan guru yang terlibat rapat paripurna di ruang kepala sekolah. Pertandingan tak seimbang yang penuh dengan k*******n serta penindasan. Pertandingan antara siswa kelas XII melawan kelas X yang terus dibantai habis-habisan. Namun perhatian yang tadinya tertuju ke lapangan sontak beralih serentak begitu tubuh tinggi dengan penampilan yang jauh dari kata rapi itu berjalan menyusuri koridor dengan menyeret paksa seorang cewek. Cewek dengan wajah polos dan sorot mata penuh kepanikan. Cewek yang terus menerus berteriak nggak jelas disepanjang perjalanan. Sebenarnya bukan cewek itulah yang mengundang perhatian banyak orang, melainkan dia yang bertampang sangar dengan anting hitam melingkar di telinga kanan. Dia yang paling dikenal, ditakuti sekaligus dibenci oleh berbagai kalangan. Dia yang bertampang lebih dari sekedar tampan walau dengan gaya rambut yang selalu acak-acakan. "Lepasin gue! Tangan gue sakit nih, nggak usah pake tarik-tarik kali," omel Sabrina,cewek yang tampaknya siang ini menjadi korban p**********n sang senior yang paling berkuasa di antara senior-senior lainnya itu. Dengan rahang terkatup rapat serta pandangan lurus ke depan, diabaikannya rontaan cewek di belakangnya. Dengan terus menarik paksa Sabrina, diabaikannya seluruh pasang mata yang diam-diam menguntit setiap langkahnya. "Toloooong..." teriak Sabrina, dengan sengaja menampakkan wajah yang amat sangat tersiksa. Berharap satu dari sekian banyak siswa yang tengah menyaksikannya dapat menjadi dewa penolongnya. "Woy! Lo kok pada diem aja? Tolongin gue dong, ini gue mau diperkosa!" lanjutnya, asal sekaligus kesal karena tak ada satu pun siswa yang berani menghentikan tindakan preman sekolah yang satu itu. "Temen-temen,sumpah deh tolongin gue! Gue nggak mau masa depan cemerlang gue hilang sampe disini doang... Gue nggak bis-" Kalimat cewek itu tak terselasaikan karena telapak tangan nan lebar itu kembali membekap mulutnya. Menghapus jarak yang merentang antara mereka berdua, karena kepala Sabrina kini benar-benar menempel di d**a cowok yang saat ini benar-benar dibenci sekaligus ditakutinya. "Lo emang nggak bisa diem lo ya? Dikasih makan apaan sih lo, hah? Mulut udah kayak petasan sunatan!" komentarnya, tanpa mengurangi sedikit pun perlakuan kasarnya terhadap Sabrina. Bahkan hingga aksinya itu menjadi tontonan puluhan pasang mata, cowok itu sama sekali tidak peduli apalagi merasa tergangggu. Karena sang penyelamat itu nampaknya hanya ada dalam angan-angan, mau tidak mau Sabrina sendirilah yang harus menyelamatkan dirinya. Dalam dekapan paksa sang preman sekolah, ia mulai berpikir dan mengatur strategi hingga secara tiba-tiba cowok itu menjerit kesakitan. Jeritan yang menandai awal dari pengeksekusian strategi Sabrina. Jeritan akibat tangan yang tadi membekap mulutnya, lantas digigitnya dengan sekuat tenaga. Menyadari peluang untuk kabur kini terbuka lebar, Sabrina tentu tak perlu berpikir dua kali untuk melakukannya. Namun sebelum itu, diinjaknya keras-keras satu kaki cowok itu, lalu pada akhir eksekusi strateginya, dipukulnya s**********n cowok itu menggunakan lutut mungilnya. Hal itu kontan membuat Gara-si preman sekolah, meringis menahan sakit. Ia seketika terduduk dengan lutut sebagai tumpuannya. Berbagai makian, hujatan serta kata-k********r kontan terlontar begitu saja dari mulutnya. Menyaksikan itu, Sabrina yang merasa menang hanya tertawa geli diiringi senyuman para siswa yang menyaksikan satu kejadian langka yang baru saja terjadi. "Mampus lo! Makanya, jangan pernah remehin Sabrina..." Dan ketika dilihatnya Gara mulai berusaha untuk kembali berdiri, cewek itu langsung berbalik badan dan menyiapkan tenaga untuk berlari sekencang-kencangnya. Namun tenaga yang telah disiapkan itu, ternyata tak berguna. Karena belum juga selangkah ia berpindah dari posisinya, sesosok cowok ditabraknya. Jika saja cowok itu tidak buru-buru mendekapnya, mungkin Sabrina telah jatuh terjerembab ke lantai bersama Gara yang tadi ditertawakannya. Penasaran dengan wajah cowok yang tadi ditabraknya, Sabrina pun mendongakkan wajahnya. Ekspresi semangat untuk kabur seketika memudar dari wajahnya begitu diketahuinya siapa cowok yang baru saja ditabraknya. "Mampus gue!" pekik Sabrina, masih dalam dekapan Rama, sohib sehidup semati Gara. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD