2 [Crazy Seniority]

836 Words
Tiga Jam Sebelumnya... Sudah cukup lama Rama duduk di salah satu bangku kantin tanpa menyentuh semangkuk bakso yang tersaji di hadapannya. Sudah cukup lama ia hanya menimang-nimang kamera DSLR yang dikalungkan di lehernya. Dan sudah cukup lama pula ia memandangi gadis berseragam putih abu-abu yang juga duduk di salah satu bangku kantin beberapa meter dari posisinya. Gadis yang Rama sendiri pun tak tahu siapa, namun selalu berhasil menciptakan sensasi berbeda di setiap hasil jepretan kameranya. Gadis biasa, namun selalu menjadi luar biasa begitu gambarnya tersimpan dalam kameranya. Oleh karena alasan itulah, di tempat itu kini Rama berada walau hanya bertemankan satu kata: diam. Diam tanpa kata dalam kesendiriannya, juga diam-diam memotret gadis yang tak pernah sedetik pun hilang dari fokusnya. Baik itu fokus pandangan, maupun fokus lensa kameranya. Satu, dua, tiga, hingga belasan captures telah didapatkannya. Berbagai pose dan gaya berbeda dari gadis itu pun telah diabadikan dalam memori kameranya. Begitu merasa puas dengan hasil jepretan diam-diamnya, barulah Rama berhenti mengamati gadis itu. Sebagai gantinya, foto-foto gadis itulah yang kini menjadi fokus perhatian cowok dengan hobi fotografi itu. Foto pertama menampilkan gadis dengan rambut dikepang asal tengah menyedot segelas penuh es teh yang berada di hadapannya. Entah itu teh manis, teh tawar, atau bahkan lemon tea, Rama tidak dapat memastikannya. Titik-titik embun di gelas es tehnya, tampak selaras dengan titik-titik keringat yang terlihat jelas di pelipisnya. Hal itu seakan ikut mengatakan bahwa dirinya tengah merasa kepanasan, atau bahkan kepedasan. Foto kedua berisi dua gadis yang duduk bersebelahan. Gadis di sebelah kiri nampak membisikkan sesuatu di telinga gadis yang satunya. Dan gadis yang tengah dibisiki sesuatu itu, hanya diam dengan ekspresi datar di wajahnya. Namun dari ekspresi datar itu, tersimpan detail-detail tertentu yang semakin membuat Rama kagum akan hasil jepretannya. Misalnya saja, kerutan di kening gadis itu yang menandakan bahwa dia tengah memikirkan sesuatu, juga mata lebarnya yang semakin terlihat jauh lebih lebar menandakan bahwa ada sedikit kekagetan yang dia rasakan. Foto ketiga masih menampilkan gadis yang sama. Gadis berkulit kuning langsat, dengan warna rambut yang hitamnya sepekat kegelapan. Gadis itu tak lagi menyedot es tehnya atau dibisiki sesuatu oleh temannya. Kali ini, yang tampak di foto itu hanyalah wajah gadis yang tengah tertawa. Kedua bola matanya menyipit, sementara bibirnya melengkung ke atas, serta tulang pipinya yang agak terangkat menampilkan sebentuk tawa yang sangat sempurna. Tawa yang begitu natural, tanpa dibuat-buat. "Cantik ya dia!?" ungkap sebuah suara yang berasal dari balik punggung Rama. Mungkin karena terlalu konsentrasinya dia pada foto-foto itu, sehingga membuatnaya tak menyadari akan kehadiran orang lain di sekitarnya. "Aslinya sih... standar!" Masih dengan fokus pandangan yang tertuju di LED kameranya, Rama ikut berkomentar. "Tapi kalo difoto, dia keliatan cantik. Gue juga nggak tau kenapa." "Emang tuh cewek siapa lo sih? Kok lo kayaknya suka banget ya foto-foto dia?" tanya suara itu lagi. "Bukan siapa-siapa sih, kenal aja nggak!" jawab Rama. "Ooooh..." Ia mengangguk beberapa kali, sebelum mengulurkan tangannya tepat di depan wajah Rama. "Kenalin deh kalo gitu, gue Sabrina, X-2!" Mendengar itu, Rama kontan mendongak. Dan tentu saja cowok itu tersentak kaget, begitu menyadari siapa yang baru saja mengajaknya bicara. Wajahnya sama persis dengan wajah-wajah yang menjadi objek jeprat-jepretnya sejak tadi. Dan begitu Rama mengarahkan pandangannya ke sisi lain kantin -tempat di mana gadis itu tadinya berada- di sana memang sudah tidak ada siapa-siapa. Lalu tanpa diduga, gadis yang mengaku bernama Sabrina itu mengambil dengan paksa kamera milik Rama dari tangannya. Dipencetnya tombol apa saja yang terdapat di situ, berharap hal itu dapat menghapus foto-foto dirinya yang telah tersimpan di kamera s****n itu. "Balikin nggak, kamera gue!" bentak Rama, bangkit berdiri dari bangku panjangnya. Sabrina mundur beberapa langkah. "Lo berani maju selangkah aja, gue lempar ini kamera!" ancamnya, seraya bersiap untuk melempar kamera hitam milik cowok itu. "JANGAN!" teriak Rama, refleks. "Ya udah, kasih tau gue dulu gimana cara ngapus foto-foto gue yang ada di sini, baru gue balikin kamera ini ke lo." Sabrina mengemukakan penawarannya. Karena jujur saja, ini adalah kali pertama Sabrina menyentuh kamera semacam itu. Jadi wajar saja kalau dirinya tidak mengerti sama sekali dengan prosedur penggunaannya. "Kalo udah ke save, nggak bakalan bisa dihapus lagi, Non!" jawab Rama enteng. "Jangan mentang-mentang gue nggak bisa make ini kamera, terus lo bisa seenaknya ngebohongin gue ya! Gue nggak sebodoh itu kali!" bantah Sabrina, sangat yakin bahwa yang dikatakan Rama tadi merupakan suatu kebohongan. "Apa kata lo deh!"sergah Rama, sama sekali tak peduli. "Sini balikin kamera gue!" lanjutnya. Kini cowok itu mulai berani berpindah dari posisinya, melangkah menghampiri Sabrina. "Lo mau kamera ini beneran gue lempar?" tanya Sabrina, dilanjutkan dengan mundur bebera langkah. "Ya nggaklah!" jawab Rama yang seketika itu menghentikan langkahnya. "Ya udah lo diam aja di situ!" pinta Sabrina, tegas. Lalu dia sendiri pun kembali mundur, mundur dan terus mundur. Pada akhirnya cewek itu berhasil kabur dengan membawa serta kamera Rama bersamanya. Sialan tuh cewek! maki Rama dalam hati. Ia terpaksa diam saja demi keselamatan kamera yang merupakan separuh jiwanya. Selanjutnya ia berusaha untuk kembali mengingat identitas cewek yang baru saja membawa kabur kameranya. Sabrina, X-2... Sabrina, X-2... SABRINA, X-2! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD