3 [Crazy Seniority]

1494 Words
Jam pelajaran ke-5 dan ke-6 terpaksa dikosongkan karena adanya rapat dadakan yang mengharuskan seluruh dewan guru untuk menghadirinya. Namun tak hanya itu saja yang kosong, ruang kelas X-2 juga ikut-ikutan kosong akibat ditinggal penghuninya. Seluruh siswa kelas X-2 menyebar ke berbagai tempat. Sebagian besar masih ada di kantin, dan sebagian yang lainnya berkumpul di tepi lapangan.             "Bil, lo ngerti kamera ginian nggak?" Suara Sabrina mulai terdengar. Kini cewek itu tengah duduk di tepi lapangan dengan sebuah kamera DSLR di tangannya.             "Baru beli?" tanya Billy, teman sekelas Sabrina yang kini tengah duduk di sebelahnya. Ia terlihat tidak sabar untuk menunggu pertandingan basket antara kelas X melawan kakak kelas mereka dari kelas XII yang katanya akan berlangsung beberapa saat lagi.             "Nggaaaak," Sabrina menggeleng sekali. "Bukan punya gue," lanjutnya.             Billy tampak mengangguk menanggapinya. "Terus? Lo mau minta tolong gue buat fotoin lo, gitu?" tebaknya.             "Nggak juga," Sabrina menggeleng lagi. "Gue mau minta tolong lo buat nyariin foto gue yang ada di sini, terus lo hapusin semua deh tuh foto-foto gue!" Sembari menjelaskan, cewek itu juga menyerahkan kamera yang dibawanya kepada Billy. "Atau nggak, lo keluarin memory cardnya aja deh. Entar biar gue hapus sendiri. Ini kamera pasti pake memory card kan?"             Billy memerhatikan kamera yang kini ada di tangannya itu dengan seksama lalu menekan-nekan tombolnya, hingga foto-foto Sabrina muncul di layar LEDnya. "Ih, ini foto lo ya? Kok beda banget sih?" komentar Billy kemudian.             "Beda gimana? Gue jadi keliatan makin cantik ya? Ya kan... ya kan... ya kan?"             Namun sebelum Billy sempat menjawabnya, seorang cewek hadir di tengah-tengah mereka. "Sabrina, dipanggil Bu Mira tuh! Katanya ada tugas buat kelas lo!" kata cewek tidak dikenal itu. Sabrina sendiri bingung dari mana cewek itu tahu namanya.             "Lho kok gue? Kan biasanya kalo ngasih tugas ke KM..." bantah Sabrina.             "Sebenarnya sih gue juga disuruhnya manggil KM kelas X-2, cuman dari tadi gue keliling nggak ketemu-temu. Udah lo aja deh sana!"             "Bil, lo aja gih! Gue males ah," ujar Sabrina seraya menyikut lengan cowok yang masih fokus dengan kamera yang ada di tangannya itu.             "Ogah ah! Kan gue lagi ngapusin foto-foto lo nih," bantah Billy. Sejujurnya, cowok itu sama malasnya dengan Sabrina.             "Ah, elo mah..." kata Sabrina akhirnya. cewek itu pun berusaha berdiri dengan ogah-ogahan lalu dialihkannya perhatiannya kembali ke cewek tidak dikenal itu."Di mana emang Bu Miranya?"             "Ikut gue!" perintah cewek itu tegas, lalu berjalan cepat menjauhi lapangan dengan Sabrina yang mengekor di belakangnya.             Langkah kedua cewek itu baru terhenti ketika mereka telah sampai di ujung tangga lantai tiga. Dari posisi itu, Sabrina dapat melihat pintu-pintu ruangan kelas XII berjejer rapi di hadapannya. Ya, semua ruangan di lantai tiga itu memanglah dihuni oleh siswa kelas XII, yang pada siang itu entah menghilang ke mana karena tak satu pun siswa yang berkeliaran di sana.             Seketika itu, perasaan tidak nyaman mulai merasuki hati dan pikiran Sabrina. Apalagi begitu didengarnya derap langkah yang menaiki tangga. Derap langkah yang membuat detak jantungnya berpacu dengan cepat. Derap langkah yang terdengar beramai-ramai serta dibumbui dengan suara serak serta tawa khas para cowok. Derap langkah yang membuatnya ingin lari sekuat tenaga, namun ia tak kuasa untuk melakukannya.             "Oh, tamu spesial udah datang?" tanya cowok yang merupakan pemilik salah satu derap langkah yang menaiki tangga tadi dan kini berdiri tepat di belakang Sabrina. Cowok dengan tinggi badan mencapai 175 cm. Cowok kharismatik yang ditemui Sabrina di kantin pada jam istirahat tadi. Cowok itu... Rama!             "Masuk dong! Yang lain udah pada nunggu tuh!" Suara lain ikut menyahut. Suara milik cowok yang juga baru saja datang bersama Rama dan dua cowok lainnya.             "Udah ya, Kak? Aku boleh pergi kan?" tanya cewek yang tadi mengantar Sabrina. Sorot matanya memancarkan binar-binar ketakutan.             "Ya udah, ya udah! Pergi sana! Thanks ya?" kata salah satu cowok, yang kemudian disusul dengan kepergian cewek tidak dikenal itu. Tiba-tiba saja, lengan Sabrina sudah dicekal oleh kedua cowok yang berdiri di sisi kiri dan kanannya. Kemudian mereka berempat sama-sama menggiring cewek itu untuk masuk ke salah satu pintu ruang kelas terdekat dari posisi mereka. Hanya membutuhkan waktu kurang dari satu menit bagi mereka untuk membawa masuk Sabrina lalu mendudukkannya secara paksa di atas kursi kayu yang telah dipersiapkan. Dan di situlah kini Sabrina berada, duduk berdampingan bersama lima siswa junior lainnya, dipagari oleh belasan siswa kelas XII yang memutari posisi mereka dengan pandangan mematikan. Dari keenam siswa yang berada di tengah lingkaran itu, Sabrinalah yang paling cantik di antara mereka. Jelas saja, karena dia memang satu-satunya cewek di antara mereka. "Oke, to the point aja!" ujar Derry, memecah keheningan. Derry adalah salah satu cowok yang ikut berdiri melingkari keenam tahanan di ruangan itu, dan Sabrina telah mengenalnya sejak cowok itu ikut berperan sebagai panitia MOPDB sebulan yang lalu. "Dari yang paling kiri, Roni kelas X-6. Ada yang bisa cerita gimana kasus dia?" "Dia berani bawa mobil ke sekolah!" Seorang cewek bernama Ginna menyahut. Dia dengan rambut pendek serta tomboy stylenya berdiri tepat di hadapan Sabrina. "Gue udah tegur dan kasih tau dia kalo haram hukumnya buat kelas X bawa mobil ke sekolah," katanya tegas. "Tapi gue dicuekin, Derr..." lanjutnya, kali ini dengan suara yang sengaja dibuat semanja mungkin. Ia bertingkah layaknya anak kecil yang tengah mengadu ke ayahnya. "Oke, ada kasus lain?" Kali ini tak ada yang menjawab, hingga Derry yang akhirnya kembali angkat bicara. "Kalo nggak ada, next! Dion, X-1." "Dia berani macarin gebetan gue!" sahut Dimas yang berdiri di sebelah kiri Derry. "Woy, lo jangan sembarangan nuduh lo ya!" protes Dion. "Dari mulai gue masuk sekolah ini sebulan yang lalu, gue belom pernah punya cewek sampe sekarang!"  "Siapa yang kasih izin lo ngomong?" sergah Derry dengan suara lantangnya. Membuat Sabrina yang merasa tak berurusan dengannya pun ikut menciut di tempat duduknya. "Ini belom saatnya lo buat ngomong, jadi lo diam!" "Tapi gue perlu tau,cewek yang lo maksud tuh siapa. Kali aja lo salah nangkep orang..." kata Dion lagi, masih berusaha melakukan pembelaan. "Siapa cewek yang lo maksud?" tanya Derry ke cowok di sebelah kirinya. "Irene, XI IPS5" jawab Dimas singkat. Seketika itu, tawa Dion menggelegar. "Yaelah, Irene doang? Gue nggak macarin dia, sumpah! Yang ada, dia tuh yang ngejar-ngejar gue! Terus, salah gue gitu, kalo dia nak—" PLAK! Satu tamparan keras dari Derry mendarat di pipi kiri Dion. Aksi yang dengan segera membungkam ocehan cowok itu. "Udah gue bilang, NGGAK ADA YANG NYURUH LO NGOMONG!" Sabrina yang menyaksikan setiap adegan yang terjadi, perlahan mulai mengerti. Ia mulai tahu apa alasannya ia dibawa ke ruangan ini. Ia mulai sadar dengan siapa ia berhadapan. Dan ia mulai waspada dengan berbagai hal menakutkan yang pasti akan menimpanya beberapa saat kemudian. "Oke next... Ian, X-1 juga. Ada yang mau bersaksi?" Derry kembali berbicara dengan sedikit lebih tenang. "Dia bikin rencana buat ngaduin kita ke kepala sekolah," jawab Rama santai. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana, sementara pandangan matanya tak pernah luput dari Sabrina. Sabrina baru menyadari hal itu, karena baru kali ini ia mengalihkan pandangan ke arah cowok itu, dan mendapati cowok itu juga sedang memandanginya. "Ooooh mau ngaduin kita?" tanya Derry seraya memasang senyum meremehkan di bibirnya. "Berani juga lo ternyata! Ada kasus lain?" Semua kembali diam, tanda bahwa kasus Ian hanyalah sebatas itu. "Next, ada Gilang dari kelas X-9. Untuk yang satu ini, gue udah tau kasus dia apaan. Masih yang waktu MOS itu kan?" tanya Derry pada kerabat-kerabatnya. Sebagian dari mereka mengangguk, dan salah satu dari enam cewek yang hadir di ruangan itu ikut berkomentar. "Iya nih cowok satu, nyeleneh banget! Nggak mau diatur! Sok ngerasa pinter sendiri, pake acara bikin malu gue segala lagi di antara teman-teman sekelasnya." "Oke, gue tau itu, Rin! Lo udah cerita ke gue ratusan kali, tau nggak?!" sambar Derry, tampak bosan dengan cewek yang satu itu. "Selanjutnya... kita punya korban paling cantik nih di sini!" sambung Derry dengan amat sangat lembut, berbeda 180 derajat dengan perlakuannya ke cowok-cowok sebelumnya. "Sabrina, kelas X-2, tamu istimewa kita semua..." Kini giliran Sabrina, dan dirinya telah siap lahir batin untuk menghadapi apa saja yang akan terjadi padanya. Semua pasang mata milik senior-seniornya kini mengarah kepadanya, dan Sabrina hanya menunduk memandangi ikatan tali sepatunya. Bukan karena ia ketakutan atau apa, tapi lebih ke malas berpandandangan dengan tampang-tampang sengak mereka. "Sabrina, apa kabar, Cantik?" goda Derry, menghampiri Sabrina yang masih tertunduk. "Lo b***k ya? Gue tanya tuh dijawab coba!" kata Derry begitu Sabrina tak merespon pertanyaannya. "Takut gue, ntar gue kena tampar lagi..." Sabrina akhirnya bersuara. "Nggaklaaaah!" kata Derry menyentuh dagu Sabrina, lalu mengangkatnya. Ia berusaha agar Sabrina tak lagi menunduk di hadapannya. "Gue lebih milih nyium pipi lo kali, daripada harus nampar lo," ujarnya, lalu tanpa diduga mendaratkan sebuah kecupan singkat di pipi kiri Sabrina. Sabrina kontan melotot mendapatkan perlakuan semacam itu. Ingin rasanya ia berteriak memarahi cowok kurang ajar itu, menamparnya, memukulnya, atau bahkan menendanganya, namun ia tahu ini bukanlah saat yang tepat untuk melakukan itu semua. Jadi yang bisa Sabrina lakukan saat ini hanyalah menarik napas dalam-dalam, seraya membatin: Sabar Sabrina, sabaaaaar... Awas aja lo, Derry... Tunggu pembalasan gue! "Oke, back to the cases! Ada yang mau bersakasi, buat si cantik ini?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD