Bab 2

1368 Words
"Tiara." panggil pria itu pada gadis yang tengah berjongkok dengan bahu yang bergetar. Nampak kekhawatiran yang sangat kentara dari wajah tampannya. Kini tangisan malah terdengar di telinga pria itu, Raka lantas melepaskan jas hitamnya dan menyampirkannya di kedua bahu Tiara. "Ra, kamu udah aman sekarang. Maafin aku yang udah nurunin kamu di sini. Ayo aku antar pulang." ucapnya lembut seraya ikut menekuk lutut agar sejajar dengan gadis itu. "A-aku ta-kut." Tiara terbata sesenggukan. Gadis itu akhirnya mau bersuara lagi. Dia mulai berdiri saat kedua bahunya dituntun oleh Raka. Raka sedikit menunduk untuk merapatkan jasnya pada tubuh Tiara yang tadinya hanya dibalut blouse batik lengan panjang. Sementara gadis itu masih menangis dengan menutup wajah menggunakan kedua telapak tangannya. "Ra ...." Tiara mendongak, mengapus lelehan airmatanya dengan asal. Ia menatap Raka sambil menggigit bibirnya sendiri, menahan tangis. "Makasih udah nolongin aku." "Aku yang salah." tukas Raka. "Kamu mau dibeliin minum dulu?" Tiara lekas menggeleng sambil mengusap pipi tembemnya yang masih basah. "Nggak, aku mau pulang aja." jawabnya dengan bibir yang melengkung ke bawah. Raka mengangguk mengerti. "Ayo, aku antar sampai depan rumah kamu." Akhirnya Tiara menurut, dia mengangguk pelan saat Raka menawarkan diri untuk mengantarnya. Tidak ada hal yang lebih baik selain menerima kebaikan Raka. Tiara takut jika sampai dua orang mabuk tadi kembali dan mengganggunya lagi. "Pelan-pelan." ucap Raka saat Tiara seperti akan jatuh. Pria itu bisa melihat jika gadis disampingnya ini masih gemetaran. Tiara berjalan sambil terus menunduk. Entah mengapa airmatanya seperti banjir yang tak mau surut. Dia sudah berusaha menahan tangis, tapi pipinya selalu kembali basah sebanyak apapun ia mengusapnya. Jujur dalam hati Tiara, ia masih merasa sangat ketakutan. "Tiara!" Raka sontak menarik lengan Tiara saat gadis itu benar-benar akan terjatuh ketika tidak sengaja langkah kakinya terantuk batu. Badan Tiara mendadak limbung, sekian detik, gadis itu sudah jatuh di dekapan Raka. Dua anak manusia itu sama terkejutnya. d**a mereka berdegup kencang. Seperti bersahutan satu sama lain. Kedua mata Tiara terpejam erat. Kepalanya mendadak merasa pening. Tapi anehnya, hatinya terasa lebih tenang hingga perlahan rasa takutnya tadi menguar entah kemana. Gadis itu bahkan bisa mendengar detak jantung Raka saking tenangnya. "Ayo naik." Kedua mata bulat Tiara mengerjab saat Raka sedikit menundukkan badannya, memberikan punggung lebarnya untuk dirinya. "Naik, aku gendong kamu sampai depan rumah." ucap Raka memperjelas niatnya sebab Tiara tak kunjung naik ke punggungnya. "A-aku bisa jalan sendiri kok." jawab Tiara tergagap di awal kalimat. Raka memejamkan mata, jengah. Dia lalu kembali berdiri dan menatap tajam tepat ke kedua bola mata Tiara. Sementara gadis itu memilih menunduk karena tatapan Raka yang cukup bisa mengintimidasinya. "Ya udah, ayo." ujar Raka seraya menarik, menautkan tangan kanannya dengan tangan kiri Tiara. Pria itu mulai kembali melangkahkan kaki. Tidak ada gunanya berdebat dengan perempuan keras kepala ini, begitu batinnya. × Tiara sampai di rumah kosnya dengan selamat. Sebelum menghidupkan lampu, gadis itu menyibak tirai bunga-bunga yang menutupi jendela kecilnya. Dia masih melihat tubuh tinggi itu ada di sana, menatap lurus pada pintu kosnya. "Aku pergi kalau kamu udah masuk." Tiara ingat ucapan Raka setelah ia berterimakasih tadi. Rupanya pria itu sungguh-sungguh dengan ucapannya. Klik. Seketika ruangan kecil itu berubah menjadi terang benderang saat cahaya lampu putih menerangi. Memperlihatkan isi kamar kos Tiara yang sederhana. Hanya ada kasur busa yang lebarnya 120 cm, lemari kecil dan meja berukuran sedang. Tiara kembali menuju jendela, ia intip lagi keadaan di luar sana. Memastikan bahwa Raka sudah pergi. × Goblok, runtuk Raka dalam hati, menyalahkan dirinya sendiri. Tiara hampir celaka karena ulah konyolnya. Hatinya merasa nyeri saat melihat Tiara menangis tadi. Sungguh diluar dugaan jika Tiara tinggal di tempat yang cukup tidak aman seperti ini. Raka janji, dia akan mencarikan tempat yang aman untuk gadis itu nanti. ××××× Dering nada ponsel yang cukup rendah itu mengusik tidur nyenyak Tiara. Masih dengan mata terpejam, gadis itu merogoh tas kecilnya yang tergeletak di lantai. Setelah mendapat benda elektronik yang terus mengeluarkan bunyi itu, ia menggeser simbol hijau tanpa melihat nama pemanggil. "Nggih, Bu. (Iya, Bu.)" sapa Tiara dengan suara serak. Biasanya sang ibu memang menelponnya pagi-pagi sekali. "Bangun, iler kamu tuh sampai kemana-mana." Kening Tiara mengernyit saat mendengar bukan suara ibunya. Dia lalu mengangkat benda itu, melihat layar gawainya dengan kedua mata menyipit. Keningnya tambah berkerut, sejak kapan ponsel ibunya bisa digunakan untuk melakukan sambungan video. Lalu siapa pria itu? Tiara langsung membuang gawainya ke sembarang arah setelah menyadari siapa pria itu. Dia menutup seluruh wajahnya saat mengingat keadaannya sendiri. ××× Raka meneguk ludahnya dengan susah payah. Ada sekitar satu menit saat Tiara mengerjap-ngerjapkan mata tadi. Cukup membuat matanya yang sipit bisa terbuka lebar, sangat lebar. Paginya yang dingin mendadak panas. "Di rumah kamu mati lampu?" tanyanya pura-pura bodoh kala layar di ponselnya hitam pekat. Perlahan layar 6 inci itu menampakkan seberkas cahaya sebelum wajah bantal gadis itu menghias. "Apa?" sembur Tiara dengan nada keras. Raka berdehem sebentar setelah menyadari penutup d**a Tiara yang putih tadi. "Jas aku anget, ya." Pip. Tiara memutuskan sambungan videonya secara sepihak. Gila, batinnya sambil mengusap wajahnya sendiri. Hanya melihat belahan d**a Tiara saja, dia sudah membayangkan hal yang tidak-tidak. Benar-benar pria normal yang kelewat m***m. ××× Tiara melihat pantulan wajahnya di cermin kecilnya. Mengamati apakah memang benar ada bekas air liur seperti yang dikatakan Raka tadi. Gadis itu lalu memukul kepalanya sendiri, meruntuki kebodohannya yang tidak teliti ketika akan menerima panggilan. Mau ditaruh dimana mukanya nanti saat bertemu dengan pria itu lagi. Eh, memangnya mereka mau bertemu lagi? × Tiara menguncir rambut panjangnya setelah selesai mencuci muka dan gosok gigi. Kedua telinganya sudah mendengar teriakan penjual sayur yang memanggil para ibu-ibu di sekitar kontrakannya. Dia bukan ingin belanja bahan masakan, dia hanya ingin membeli makanan kecil untuk mengganjal perut pagi ini. Ceklek. "Astagfirullah!" Tiara spontan mengelus dadanya, kaget saat mendapati seseorang tengah berdiri di depan pintu kontrakannya. Seorang pria yang sudah rapi dengan kemeja bercorak kotak-kotak. "Biasa aja." ucap orang itu agak sewot. "Kagetnya udah kayak ngelihat setan." "Iya, emang kamu setan." Tiara balas berucap sewot. Tadi aja baru video call, sekarang udah ada disini aja. Bener setan, kan. Lanjutnya membatin. "Makacih udah mau nolongin aku." ucap orang itu menirukan nada suara Tiara tadi malam sampai bibirnya miring-miring. Tiara menunduk, benar, orang ini yang sudah menolongnya tadi malam. Mungkin jika Raka tidak datang, hari ini dia hanya tinggal nama. "Iya kakak, ada perlu apa datang kemari pagi-pagi." ucap gadis itu sok manis sambil berusaha tersenyum cantik. Pria itu, Raka, balas tertawa, tawa yang dibuat-buat. "Nah gitu dong, kan manis." pujinya sambil mengusak puncak kepala Tiara. Blush. Seketika d**a Tiara berdesir hingga memunculkan semburat kemerahan di kedua pipi tembemnya. Dan gadis itu kembali menunduk, lebih dalam. "Temenin sarapan." kata Raka sambil berlalu masuk ke dalam kontrakan walau tanpa ijin si pemilik. Membuat gadis yang tengah tersipu itu kembali menunjukkan sikap kesalnya. "Bikinin teh anget, ya, Sayang." Tiara mendelik, apa-apaan? "Siapa yang bilang kamu boleh makan di sini?" omel Tiara saat Raka yang sudah duduk bersila di lantai itu mulai membuka kotak sterofoam tempat bubur ayam yang masih mengepul panas. Wangi kaldu menusuk hidungnya dan seketika perutnya yang kosong bergejolak hingga menimbulkan suara yang cukup nyaring. Ada satu kotak lagi, itu pasti untuknya, pikirnya percaya diri. Raka mendongak, memasang tampang yang cukup polos. Ia tatap muka Tiara dan beralih ke perutnya. "Perut kamu." ucapnya enteng lalu menyuap sesendok bubur ayam. "Nih, aku ganti sate usus kamu yang dulu itu." lanjutnya sambil mengeluarkan bungkusan sate dari kantong plastik. "Buruan dong, Sayang. Teh aku mana?" "Aku nggak punya teh." Tiara beralasan. Raka tak menyahut, tangan kanannya kembali merogoh kantong plastik dan mengeluarkan satu kotak teh celup dari sana. Benar-benar persiapan yang sangat matang. Tiara tak punya pilihan, gadis itu akhirnya melangkah ke belakang untuk membuatkan teh seperti perintah Raka tadi, setelah meraih kotak biru berisi puluhan teh celup. × Ujung mata sipit Raka melirik Tiara yang sudah menghilang di balik tembok. Ia edarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Hatinya mendadak nyeri meihat tempat tinggal gadis itu, lebih sempit daripada kamar mandi di rumahnya. "Nih." Pria itu lekas kembali menyantap bubur saat Tiara datang dengan segelas teh. "Makasih, Sayang ...." ucapnya mendayu-dayu, yang seketika membuat Tiara ingin muntah. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD