Chapter 4 – Wrath and Aftermath

1087 Words
Hilary semakin cepat melangkahkan kaki. Aku terseok-seok mengikuti irama larinya yang mustahil untuk kuikuti itu. Tidak lama setelahnya, kami berdua sudah ada di lantai dasar asrama. Hilary langsung menuju ke pintu keluar lalu mendekati kerumunan guru dan polisi yang beberapa saat lalu kami lihat dari atas. Ia menerobos deretan orang dewasa yang sibuk mengitari kantung mayat Josh. Beberapa guru sudah mengingatkan kami agar kami jangan mendekat. Namun, semakin dilarang, aku dan Hilary malah semakin bersemangat menyerobot barisan. Dalam waktu yang singkat, kami sudah berada di depan. Kemudian tampaklah kantung mayat berwarna pucat yang membungkus jasad Josh. Kusaksikan semua itu dan hanya bisa membeku di tempat. Membayangkan hal mengerikan yang pernah kulihat dari jarak sedekat ini secara total membuatku ingin muntah. Lagi-lagi, apa yang kurasakan sama sekali tak sejalan dengan apa yang ada di kepala Hilary. Gadis itu seakan ingin melangkah maju dan menyongsong mayat di hadapan kami. Akan tetapi, suara pekikan nyaring  menghentikan gerakannya. Kami pun menoleh cepat dan menjumpai seorang polisi bernama d**a 'Scott McCarthy' tengah berjalan ke arahku dan Hilary. Dari raut wajahnya, aku tahu bahwa pria itu tak senang dengan kehadiran kami. Aku dan Hilary pun saling berpandangan, tidak yakin harus berbuat apa. “Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya polisi itu, tampak terganggu. Hilary menjawab cepat, “Bisakah aku melihat mayat itu sebentar saja?” Aku tersentak. “Hilary, kau apa-apaan?” Sekalipun aku memprotes, temanku tak gentar dengan perbuatannya. Aku mulai panik, sedangkan polisi tadi hanya sanggup mengerutkan kening sebagai jawaban. Untuk beberapa saat, dia tidak sanggup berkata-kata. “Apa kau bercanda? Kembalilah ke dalam asrama sekarang juga!” hardiknya. Aku mendesah resah. “Hilary, ayo kembali!” Kutarik-tarik lengan Hilary sekuat tenaga. Akan tetapi, ia sama sekali tak memedulikanku. “Aku hanya ingin melihat jasadnya,” sambung Hilary kepada Scott. “Jika kau membiarkanku melakukannya, aku akan memberitahumu sesuatu.” Scott mengangkat alis. “Apa itu?” “Biarkan aku melihat jasadnya terlebih dahulu,” jawab Hilary, teguh pendirian. Tatapan dingin Hilary dan Polisi Scott beradu. Aku berdecak resah. Namun, di luar dugaan, tiba-tiba Scott berbisik pada seorang polisi yang ada di dekatnya. Perkataannya membuatku mutlak terperanjat. “Kosongkan halaman sekarang juga,” perintahnya. “Aku ingin berbicara empat mata dengan anak ini.” Polisi-polisi tadi segera meminta orang yang ada di sekitar halaman asrama untuk kembali ke dalam. Kini tinggallah aku dan Hilary yang hanya saling diam. Aku berulang kali menggigiti bibir bawahku pertanda resah. Namun, agaknya berbeda dengan Hilary. Raut wajahnya datar, cenderung dingin. Ekspresinya tak terbaca. Bagaimana dia bisa setenang itu di keadaan seperti ini? “Sesuatu apa yang hendak kau katakan, Nona?” tanya Scott saat suasana halaman lengang. Hanya ada beberapa polisi yang tampaknya mengikuti pembicaraan kami. “Sudah kubilang, biarkan aku melihat jasad itu dahulu,” kata Hilary, datar. Scott memutar bola mata. “Ikuti aku.” Hilary mengikuti Scott yang berjalan mendekati kantung mayat itu. Aku yang dilanda penasaran hanya sanggup mengekor dari belakang. Scott sudah berjongkok, siap membuka kantung tersebut tepat di hadapanku dan Hilary. Namun, tiba-tiba ia berhenti dan menatap Hilary lekat-lekat. “Aku tak yakin apabila kau sanggup menyaksikan jasad ini,” katanya. “Aku mampu melakukannya,” ujar Hilary penuh penekanan. Aku mulai tak sabar. “Hilary, sebenarnya apa yang kau lakukan?” “Diamlah, Sarah,” sentaknya. Aku seketika diam seribu bahasa. Selama aku mengenalnya, Hilary tak pernah sekali pun menggunakan intonasi suara itu. Apa-apaan yang sedang gadis ini lakukan? Pandangan Hilary tak lepas dari polisi garang itu. “Tuan Scott, jika kau tak membiarkanku melihat jasad lelaki ini, maka aku terpaksa harus….” Sekonyong-konyong Hilary mengulur tangan kanannya dan membuka kantung itu dengan satu gerakan cepat. Bola mataku rasanya ingin meloncat keluar menyaksikan apa yang kini ada di hadapanku. Aku terpaku dengan sekujur tubuh bergetar lembut. Hilary telah dengan sukses mempertontonkan jasad Josh di hadapanku. Buruknya, kondisi mayat lelaki itu betul-betul di luar dugaanku. Dari atas memang hanya terlihat kepalanya bersimba darah. Namun, jika kutatap dari jarak satu meter seperti ini, aku menyadari satu fakta lain: kepala Josh tak lagi utuh. Kepala lelaki itu hancur di bagian pelipis kiri. Bahkan, mata Josh ikut tergores sampai sudut pelupuknya sobek dan hanya menyisakan bola mata kiri yang tampaknya siap menggelinding keluar apabila terkena sentuhan. Hal aneh lain yang kutemukan adalah... sebagian wajah Josh ternodai oleh pasir putih. Bersamaan dengan tersingkapnya kantung mayat itu, samar-samar indra penciumanku menangkap suatu aroma yang mampu membuatku bertanya-tanya. Itu adalah aroma Bunga Lavender. Aku tidak sepenuhnya tahu apa yang sedang terjadi. Hidungku sudah sibuk mengendus-endus udara—berusaha mencari dari mana sumber aroma ini. maksudku, ini tidak masuk akal. Ada mayat yang jelas-jelas menunggu untuk membusuk di depanku. Namun, mengapa bukan wewangian tidak sedap yang memenuhi udara? “Tepat seperti dugaanku,” ujar Hilary sepersekian detik kemudian. “Ini bukanlah pasir biasa.” Scott berdecak geram. “Kau sudah melihat jasad ini, kan? Jadi, apa yang ingin kau katakan padaku?” “Apa kau yang menaburkannya?” tanya Hilary lagi, tak mengindahkan ucapan Scott. “Tentu tidak! Kau ingin aku menghancurkan bukti kriminal?” suara Scott meninggi. “Sekarang, cepat beritahu aku apa tujuanmu sebenarnya. Apa kau memiliki bukti? Apa kau adalah saksi mata?” “Aku bukanlah saksi mata, tetapi aku rasa saat ini aku tahu apa yang akan menjadi bukti kuat di pengadilan nanti,” balas Hilary. “Apa Anda ingat sesuatu tentang pasir ini, Tuan?” Hilary menaikkan satu alisnya. “Memang ada apa dengan pasir ini? Kau mengingat liburan ke pantai dengan keluargamu?” katanya sarkastik. “Aku tidak bercanda, Tuan Scott,” ujarnya dingin selagi menyipitkan mata. “Aku juga tidak sedang bercanda,” Scott pun tak mau kalah. “Beritahu aku apa maksudmu atau akan kumasukkan kau ke daftar tersangka yang akan kuinterogasi.” Hilary tampak tak terganggu. Dengan lagaknya yang selalu terlihat anggun dan terkendali itu, dia melanjutkan, “Apa Tuan tidak ingat kejadian 5 tahun lalu? Di kota ini? Tragedi ‘Lingkaran Api Kematian’?” tanya Hilary lagi. Scott terlihat berpikir untuk sejenak. Kemudian, seolah dia kini mengerti apa yang Hilary maksud, polisi bertubuh kekar itu malah tertawa terbahak-bahak. Aku dan Hilary menatapnya penuh tanda tanya. “Oh, kau pikir ini ada hubungannya dengan komplotan berdarah dingin yang beberapa tahun lalu meneror kota?” ujar Scott saat tawanya reda. “Ya Tuhan, kurasa kau terlalu banyak menonton dokumenter kriminal, Nak.” Hilary menyernyitkan dahinya—terlihat benar-benar murka kali ini. Belum pernah sekali pun aku melihatnya membuat ekspresi itu. Menyadari reaksi gadis di depannya menjadi muram, Scott membuang napas lelah. “Dengar,” katanya. “Aku menghargai pengamatanmu, tetapi jika kau memang betul-betul pecinta hal-hal kriminal, seharusnya kau tahu jika kota kita sudah aman.” “Apa yang membuatmu begitu yakin?” Hilary menatap Scott sinis. “Ketua mereka sudah ada di penjara,” balas Scott. “Lagipula, kita masih tidak memiliki bukti yang kuat untuk mengatakan jika—” Nyaris seperti sebuah reaksi yang spontan, ketua kelasku tertawa. “Oh, jadi kau pikir hanya karena ketua mereka sudah tertangkap, kota ini telah aman secara total?” Polisi itu hendak membuka mulut, tetapi Hilary sudah membalikkan badan dan berjalan menjauh. Aku pun segera berlari-lari kecil menyusulnya. Kuraih pundak Hilary, tetapi raut wajahnya yang dingin membuatku melepaskan tanganku darinya. Aku memang tak tahu apa-apaan yang sedang terjadi, tetapi aku tahu satu hal: sesuatu yang Polisi Scott katakan tadi berhasil membuat Hilary naik pitam. *   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD