Prologue - The Death of a Mother

617 Words
Saat Ibuku sedang berada dalam keadaan yang tidak stabil, ia selalu berkata padaku jika aku ini adalah anak yang seharusnya tidak pernah ia lahirkan. Ayahku yang gampang naik pitam pun pada akhirnya sering menghajar Ibuku habis-habisan karena telah memperlakukanku dengan buruk. Ayahku berulang kali mengatakan hal-hal seperti: “Ibu macam apa kau ini?”; “Di mana akal sehatmu?”; “Apa kau sudah gila?; “Jangan libatkan anak kita dalam masalah ini!” atau “Kau benar-benar menginginkanku untuk membawamu ke rumah sakit jiwa?” Mungkin mereka pikir aku tidak dapat mendengar itu semua karena mereka selalu adu mulut di dalam ruangan mereka. Akan tetapi, aku selalu mendengarkan. Pada saat seperti itu pun, aku tidak tahu harus memihak siapa. Aku tidak ingin terdengar seperti anak yang durhaka, tetapi jika aku harus memilih, aku tidak akan berpihak pada siapa pun. Kuakui Ibuku memang setengah gila. Dia menghabiskan seluruh waktunya menatap ke luar jendela kamarnya selagi memanggil-manggil sebuah nama seseorang yang tak pernah kudengar sebelumnya. Bahkan, ia kadang tertawa sendiri saat sedang menghadap televisi yang mati—ia mengklaim bahwa aktor yang ada di depannya sedang bertingkah jenaka. Namun, ada kalanya saat suasana hatinya sedang baik dan dia akan mengepang rambutku lalu berkata bahwa aku adalah anugerah paling indah yang pernah ia dapatkan. Aku ingin memberitahunya bahwa ia pernah mencoba membunuhku dengan sebilah pisau lipat lantaran ia melihatku sebagai kesalahan terbesar dalam hidupnya, tetapi aku memilih untuk diam. Ayahku sudah mengupayakan penyembuhan Ibuku. Namun, Ibuku menolak untuk mengakui bahwa ada sesuatu yang salah dengan dirinya. Aku menyetujui gagasan Ayahku bahwa Ibuku memang membutuhkan bantuan, tetapi Ibu malah berpikir jika aku dan Ayah sedang menghakiminya. Aku pun tak bisa menyalahkan Ayahku untuk melakukan apa yang telah dia lakukan. Saat Ibuku berulah, kadang Ayahku akan mulai menamparnya. Saat Ibuku memberontak, Ayah akan menghempaskan tubuhnya ke dinding hingga hidung Ibuku berdarah lantaran benturan keras yang terjadi pada tengkoraknya. Aku tahu seharusnya aku melakukan sesuatu. Seharusnya aku menghentikan Ayahku atau setidaknya meminta pertolongan. Namun, aku hanya berdiri di sudut tangga dan menyaksikan itu semua terjadi tepat di hadapanku. Aku membenci Ibuku. Aku pun membenci Ayahku karena ia telah membiarkan ini semua terjadi. Malam itu mungkin menjadi bukti betapa murkanya aku kepada kedua orang tuaku. Saat itu hanya ada aku dan Ibuku di rumah. Untuk beberapa alasan Ayahku tak bisa pulang. Aku ingat malam sudah larut pada saat kudengar suara debuman nyaring dari kamar Ibuku. Suara itu terdengar jelas karena ruangan Ibu berada tepat di atas kamarku di lantai dasar. Aku pun lari menaiki anak tangga dan segera menuju ke kamar Ibuku. Saat pintu terbuka lebar, sebuah pemandangan mengerikan menyambutku. Kutemukan Ibuku—dengan leher terlilit kain yang menempel pada langit-langit—tengah berusaha membebaskan dirinya sendiri dari lilitan kain yang menjeratnya. Kedua kaki Ibuku menendang-nendang udara. Kedua matanya terbelalak lebar. Lidahnya pun terjulur keluar. Napasnya yang putus-putus membuatku yakin jika waktunya tak lagi lama. Begitu ia melihatku, Ibuku menjulurkan satu tangannya ke arahku. “To… long…,” lirihnya. Perlahan-lahan, kulangkahkan kaki mendekat. Ibuku masih menendang-nendang udara. Ia mulai membuat suara-suara mengerikan. Suara yang rupanya adalah suara terakhir yang akan pernah dia buat di dalam hidupnya. Kutatap Ibuku tepat di matanya. Lambat laun kedua kakinya tak lagi bergerak. Kedua bola matanya berputar hingga aku tak lagi dapat melihat korneanya yang berwarna hijau cerah. Tangannya yang ringkih jatuh ke kedua sisinya. Mulutnya bungkam. Suara-suara itu pun kini lenyap. Malam kembali senyap. Melihat tubuh Ibuku yang sekarang sudah terbujur kaku, sapuan sebuah perasaan yang melegakan relungku segera menerjang. Untuk pertama kalinya, hidupku tak lagi terasa seperti sebuah kesalahan. Tak lama setelahnya, aku menelepon Ayahku selagi menangis histeris. “Ayah… aku takut, Ayah…,” ujarku selagi terisak. “Ibu bunuh diri.” *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD