Chapter seven

1813 Words
Syukuran delapan bulanan Clarissa diadakan malam nanti. Rumah yang tak terlalu besar itu ramai tetangga yang saling membantu keperluan syukuran. Ada lima perempuan seumuran Tamara, satu gadis SMA, dan tiga tetangga pria sekaligus temas futsal Adit. Clarissa berjalan tertatih-tatih menuju dapur. Sejak dua hari lalu dia hanya terbaring di ranjang mengaku lemas. Sabrina mencekal pergelangan tangannya ketika hendak menapaki pintu dapur. "Aduh, Clar. maaf, banget. Aku telat ya?" Sabrina baru saja datang sepulang pemotretan untuk sebuah dress terbaru. Clarissa menggeleng perlahan bersama bibir pucatnya tersenyum. "Nggak kok, lagian yang lain juga belum beres masak." Sebenarnya Tamara sempat memprotes kalau Sabrina ikut membantu ibu-ibu lain. Namun, sebagai sahabat Clarissa tak mungkin setega itu. Sabrina sudah seperti sanak saudaranya sendiri. "Eh, ada yang baru datang. Sibuk banget kayanya model satu ini." Tamara berceletuk di depan pintu. Sabrina terlalu peka kalau mertua Clarissa baru saja meledek. "Iya, Bu Tamara. Lagi ada banyak jadwal pemotretan." "Ya kalau sibuk nggak perlu bantu-bantu juga nggak masalah. Iya 'kan, Clar?" Menatap Clarissa sembari memicing. Clarissa tak menjawab, dia malah menarik tangan Sabrina ke dapur. Tamara mencebik di tempatnya. "Dasar nggak tahu sopan santun!" Sabrina dibawa ke tempat di mana para ibu-ibu tengah mengupas bawang. "Ada Bu Sabrina juga ternyata," ucap salah satu warga. Sabrina tersenyum, sudah mulai bisa berbaur dengan tetangga sekitar. "Iya, Bu. Kirain masaknya udah kelar." "Belum atuh, Bu." Perempuan paruh baya tadi kembali berceletuk. "Emang Bu Sabrina bisa masak?" tanya dia meremehkan. Sabrina menggulung lengan blousenya hingga sampai siku. "Sini biar aku aja yang ngulek." Clarissa tersenyum tipis mendapati aksi sahabatnya yang begitu berani. Dia saja bahkan tak bisa meladeni tetangga-tetangga lain yang tak jarang suka nyinyir. Tangan gembulnya menepuk pundak Sabrina yang sibuk mengulek bumbu. "Aku tinggal ke kamar ya?" "Iya nggak papa, Clar." Diam-diam Tamara mengamati Sabrina di belakang. Menilai bagaimana janda yang bekerja sebagai model itu dalam memasak. Pikirnya salah kaprah kalau Sabrina hanyalah perempuan manja yang serba mengandalkan uang. lima macak masakan Sabrina yang menghidangkan, tentunya Tamara sudah menyicipi lebih dulu. "Enak, makasih ya." Lepas mengatakannya Tamara pergi begitu saja dari dapur. Sabrina bisa menangkap bisik-bisik tak suka dari bibir ibu-ibu lain. "Ih, sombong amat ya?" Sabrina terkekeh, dia kira mereka semua tak peka. Tapi, untuk Sabrina yang tak pernah mau pusing pada sikap orang lain terhadapnya memilih acuh saja. memotret beberapa tangkapan layar dari masakan yang dia ciptakan. memposting di akun social medianya dengan caption yang menggemaskan. Sepulang pemotretan langsung masak besar. Ada yang mau dimasakin juga? "Sabrina yang katanya seorang model aja jago masak. Masa yang cuma diem diri di rumah nggak bisa?" Tamara tiba-tiba sudah berada di kamar Clarissa. Menantunya bergelung dalam selimut, hawa udara hari ini begitu dingin, tak heran langit mendung sore ini. Dia berusaha memejamkan mata agar tak bisa mendengar lagi setiap sindiran yang Tamara katakan. Namun, sepertinya alam bawah sadar tak segera kunjung mengunjungi. "Clar, selama ini aku udah toleransi sama kamu loh yang nggak bisa ngurus anak aku dengan baik," lanjut Tamara merasa geram karena menantunya tak meladeni. Sumpek, akhirnya Clarissa menyembulkan diri di balik selimut. "Ibu mau aku gimana?" "Ya gimana harusnya kamu sebagai istri." Nada bicara Tamara mulai tak ramah. "Nanti kalau kamu udah jadi ibu, baru tahu rasanya khawatir kalau anak kamu nggak hidup layak, apalagi kalau udah nikah, hidup sama pasangannya." Clarissa turun dari ranjang, mungkin ini saat yang tepat untuk menjawab semua ocehan sang mertua. "Bu, cuma karena aku nggak bisa masak, atau mungkin jarang ngeberesin rumah, Ibu jadi benci sama aku?" Tamara memicing. "Kamu masih belum sadar juga?" Clarissa terdiam, kembali teringat alasan paling kuat mengapa Tamara kian tak suka padanya. "Sudah ingat sekarang?" tanya Tamara dengan suara lembut, namun syarat akan penghinaan. Clarissa mengelus-elus perutnya yang satu bulan lagi akan mengeluarkan seorang bayi. "Kamu kuat, Clar." Tak berselang lama Adit masuk juga ke kamar. "Kenapa nggak masuk dari tadi aja si?" Begitu datang langsung disambar pertanyaan tak mengenakkan itu, Adit mengernyit heran. "Kamu kenapa lagi, Sayang?" Clarissa menepis pelan tangan Adit yang berusaha membelai pipinya. "Aku hamil gede kaya gini aja, ibu kamu masih ungkit-ungkit kekurangan aku." Adit terdiam, rasa bersalah langsung menghinggapi perasaannya. "Maaf." "Cukup!" Clarissa menggeleng. "Aku nggak mau lagi dengar perwakilan maaf dari kamu! Itu buat aku tambah kesal tahu nggak?" Adit mengangguk maklum. Orang sedang marah, sulit untuk mengontrol ucapannya. "Ya udah, sekarang kita ganti baju. Keburu pak ustadz datang." Kalau pagi tadi Clarissa begitu semangat menyambut acara itu, malam ini rasanya berbeda. Apalagi teringat ada Tamara di rumah itu. "Kalau tahu begini, dulu aku setuju aja kamu ajak pindah ke Bali. Kita hidup berdua di sana," ujar Clarissa menyesal. Adit mengelus rambut Clarissa yang tergerai. Lalu gerakan itu terhenti ketika pintu kamar diketuk. "Masuk aja," seru Adit. Ternyata si pengetuk adalah Sabrina, dia datang dengan tas besar di tangan kanan. "Maaf ganggu ya?" Adit, dan Clarissa menggeleng kompak. "Nggak sama sekali." "Gini loh, Dit. Aku mau make up Clarissa, biar tampil beda aja di acara penuh nikmat ini." Adit mengangguk setuju. "Boleh, silakan. Kalau gitu aku tunggu di luar." Sepeninggal Adit, Clarissa tak berhenti mengamati Sabrina yang asyik mengeluarkan barang make up. "Sab, padahal nggak pakai make up juga nggak papa kok. Aku jadi ngerepotin lagi." Sabrina menggeleng tak suka. "Harus make up dong, Clar. Aku mau tangkap beberapa foto acara kalian." Clarissa menunduk, menatap pahanya dalam-dalam. "Aku senang sih kamu sekarang tinggal dekat sama aku. Tapi--" "Apa?" tanya Sabrina penasaran seraya mengelap wajah Clarissa dengan tissu basah. "Aku udah nggak betah tinggal di sini. Ibu mertua datang ke sini terus." "Maksudnya kamu pengen pindah gitu?" "Hn." Sabrina mengeluarkan foundation merk dalam negeri dengan kualitas covereg yang luar biasa itu ke atas telapak tangannya sebelum memindahkan ke wajah Clarissa yang sebelumnya telah dia baluri primer. "Saran aku sih, soal mertua jangan dipusingkan. Kamu bikin enjoy aja." "Aku bukan kamu, Sab. Yang bisa bodoh amat sama orang lain." Sabrina diam beberapa detik sebelum akhirnya mengatakan, "Pindah itu nggak gampang. Apalagi sekarang Adit udah dapat kerjaan yang lumayan di sini. Belum tentu di tempat baru dia seberuntung sekarang." Ada benarnya Clarissa mempertimbangkan saran Sabrina. "Lagipula aku juga nggak mau jauh-jauh dari kamu." Sekarang janda itu tengah merangkul Clarissa yang sudah selesai di make up. Clarissa tersentuh, untuk kali pertamanya dia merasa di butuhkan. Sabrina membenahi tatanan rambut Clarissa yang terselendang hijab pashmina. "Nah selesai." Bibirnya berkata lega. "Ayo keluar!" Clarissa menggeleng. "Aku lemas banget." Sabrina mengecek dahi Clarissa yang sangat panas. "Kamu demam? Kenapa nggak ngomong dari tadi?" Clarissa menunduk tak melihat Sabrina keluar kamar demi memanggil Adit. Tak lama mereka datang, Adit membawa raut yang penuh kekhawatiran. "Kita periksa ke dokter yuk!" "Nggak!" tolak Clarissa. Sabrina duduk di samping ranjang. "Kalau nggak mau, panggil dokter aja buat ke sini." Adit mengangguk, gegas dia menelfon dokter kandungan yang biasa meladeni Clarissa. Sementara di ruang tamu, undangan, dan ustadz yang siap berceramah sudah berkumpul. Adit mondar-mandir di dalam kamar terlalu lama menunggu sang dokter. Ceklek Bukan dokter yang sedang ditunggu-tunggu yang datang, melainkan Tamara dengan tampang datar. "Kok santai-santai di sini? Di luar udah pada nungguin." "Clarissa demam, Bu." Adit membela. Tamara hanya memicing sekilas sebelum keluar kamar itu lagi. "Ya nggak mau tahu kalau itu." Adit menggenggam tangan sang istri yang mulai mengeluarkan keringat dingin. Sementara Sabrina pun ikut gelisah. "Aku keluar dulu, biar mereka nunggu sampai keadaan Clarissa membaik." "Nggak perlu!" Lagi-lagi Clarissa menolak. "Dimulai dulu aja acaranya, nanti aku nyusul." Adit tak setuju. "Ini acara kamu, Sayang. Masa kamu nggak turun?" Sabrina mengambil alih tangan Clarissa dari genggaman Adit seraya menyarankan, "Lebih baik mulai dulu aja. Biar Clarissa aku yang jaga." "Tap--" "Silakan." Sabrina memotong cepat. Melangkah gontai menuju ruang tamu, di mana orang-orang tengah menatapnya penuh penasaran. "Maaf, Bapak, Ibu semuanya. Istri saya malah nggak enak badan. Kalau gitu, silakan dimulai aja pengajiannya." "Owalah, kasihan sekali, Pak Adit." Disusul ucapan iba lainnya, Adit hanya mengangguk dengan senyum terpaksa. Tamara duduk di samping kiri, menatap Adit yang tengah menunduk. Terlihat jelas kalau dia sangat kesal, bak ingin menonjok anaknya saat itu juga. Acara pengajian berjalan separuh, datanglah dokter berjilbab lavender yang telah lama Adit tunggu. Mereka berjalan beriringan menuju Clarissa berada. Rupanya Sabrina berhasil membuat Clarissa nyaman sampai-sampai dia sekarang terlelap. Adit menyarankan pada sang dokter agar tak perlu membangunkan Clarissa, dan tanpa kesadaran ibu hamil itu, sang dokter telah berhasil memeriksanya. "Sepertinya Mbak Clarissa ini banyak pikiran. Darahnya naik, dan disusul panas." Adit mendengar dengan jelas, istrinya pasti terlalu memikirkan Tamara. "Tapi apa dia baik-baik aja sekarang?" "Saya kasih obat penenang saja, nanti kalau sudah terjaga boleh langsung diminum." Akhirnya acara syukuran itu selesai juga. Meskipun gurat sedih tak bisa Adit tepis dari wajahnya. Sabrina sembari membawa segelas air datang menghampiri. "Selamat ya? Acaranya lancar." Adit menoleh, mendapati Sabrina tengah tersenyum padanya. "Terimakasih banyak udah mau bantuin." "Nggak masalah." Mereka duduk bersisihan ketika yang lain sibuk mondar-mandir membenahi barang yang sudah tak terpakai. Sementara sedang bercengkrama dengan dokter yang ternyata merupakan salah satu anak dari teman arisannya. "Menantu Ibu kayanya kurang tidur, bahaya buat bayinya kalau dibiarin terus menerus." Tamara yang semula terus tersenyum karena membahas hal lain kini menenggelamkan senyum itu. "Emangnya ada apa? Dia bandel banget dibilangin. Cuma karena hal sepele aja jadi pikiran." Adit datang membawa suguhan untuk sang dokter. Membuat Tamara berhenti membicarakan menantunya. Sabrina sendiri sedang membenahi make up di kamar Clarissa. Sementara sang pemilik kamar belum juga bangun. Tanpa menunggu Clarissa, Sabrina berpamitan pulang mengingat hari sudah larut. Meninggalkan Clarissa yang diam-diam dijenguk Tamara. Perempuan paruhbaya itu sejak tadi tak lelah menunggu Clarissa terjaga, ingin menegur banyak hal. Setelah semua tamu pulang, Adit mengajak Tamara duduk di ruang tengah. Perempuan paruh baya itu sempat menolak, dan bersikukuh menunggu kesadaran Clarissa. Namun, kali ini Adit benar-bebar meminta agar Clarissa tidur nyenyak. Kepergian mereka dari kamar itu, Clarissa membuka mata. Setelah beberapa jam pura-pura terlelap rasanya tak karuan. Pengap, dan bosan menjadi satu. Sebuah pemikiran aneh melintasi kepalanya tanpa sengaja. Clarissa pikir dia sudah gila jika sampai mengikuti egonya. Tamara sudah berada di rumah itu sejak kedatangan kala ingin menginap satu minggu, nyatanya kelebihan hampir dua bulan. Selama itu Clarissa tak pernah tenang. Rasa tak nyaman memang terkadang membuat seseorang terganggu. Dia raih sebuah koper di bawah kolom ranjang, Clarissa bahkan tak sadar kalau pada akhirnya dia tergerak untuk kabur. Atau lebih tepatnya gertakan agar Adit membawa Tamara pulang. Ide dari Sabrina sepertinya patut dicoba. Janda itu mengatakannya satu bulan yang lalu. Semula Clarissa masih bisa tahan, tapi tidak untuk saat ini. Tak lupa memakai jaket, dia keluar rumah mengendap-endap bersama koper di tangan kiri. Berjalan menyusuri jalanan komplek ketika yang lain terlelap. Tangan kanannya sibuk menghubungi seseorang lewat telfon. Tak berselang lama panggilannya mendapat jawaban, "Belum tidur?" "Aku mau pesan kamar di hotel yang kamu kasih tahu ke aku waktu itu." "Hah?" "Jangan bilang ke siapapun kalau aku di sana." "Tap--" Klik Sayangnya Clarissa tak sempat mendengar kalimat lanjutan dari orang di seberang sana. Dia menghentikan laju taksi yang untungnya masih ada di pukul dua pagi itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD