Chapter six

1003 Words
"Eh, iya." Clarissa terpelongo menatap kepergian Sabrina. Dapat dia tangkap secercah semangat akan binar tatapan Sabrina tadi. Buru-buru Clarissa santap steak daging pesanannya sebelum menyusul ke tempat di mana Sabrina tengah berbicara di depan kamera. "Aku udah pakai cushion glow ini dari sebelum rilis, dan kalian lihat sendiri 'kan sebagus apa di kulit aku?" Sabrina berujar penuh percaya diri. Matanya tak pernah lepas dari dua kamera yang menyorot wajah mulusnya itu. Clarissa hanya mampu menonton aksi sahabatnya dalam bekerja dari kejauhan. Bibirnya mendesah lirih karena merasa payah, tak bisa sepandai Sabrina dalam bekerja. Menjadi teringat akan ucapan Sabrina kemarin, mungkin Tamara akan lebih menghargainya sebagai menantu kalau dirinya cantik, apalagi pintar mencari uang. "Cantik sih, tapi keluarganya kurang berada. Nanti kalau nikah sama kamu, yang ada dia cuma enak-enakan menikmati kerja keras kamu, Dit." Tak terasa sebulir air mata jatuh dari pipi Clarissa saat ucapan Tamara tiga tahun silam kembali menyeruak dalam ingatan. Meskipun Adit membelanya kala itu, tapi tetap saja hati Clarissa tak bisa menerima. "Clar?" seru Sabrina membuat lamunan Clarissa buyar. Janda muda itu melambai-lambai seolah meminta Clarissa untuk mendekat. "Nanti aku kenalin sama manager aku, siapa tahu dia bisa ngajuin kamu buat jadi BA "Kamu nggak harusnya kaya gitu, Sab." Clarissa menatap sang sahabat tak enak. Sabrina tak masalah. "Santai aja kali." Bertambah lagi satu tas skincare dengan merk populer sebagai perawatan untuk Clarissa sebelum mencalonkan diri sebagai BA produk kencantikan. Manager Sabrina akan berjanji membantu Clarissa berjuang dalam bisnis itu setelah lahiran nanti. Dan di sinilah mereka sekarang, di dalam mobil pelataran rumah Sabrina. "Turun gih sana," suruh Sabrina menunjuk mobil Adit yang sejak mereka pulang tadi sudah berada di garasi. Clarissa terlihat ragu-ragu meraih knop pintu mobil. "Sab, aku gemetar." Sabrina tertawa pelan. "Keburu mertuamu marah besar." Dengan gerakan pelan Clarissa akhirnya turun dari mobil juga. Kembali ke rumahnya dengan menenteng barang belanjaan dengan susah. "Darimana aja kamu?" Tamara berdiri di depan pintu dengan kedua tangan yang terselip angkuh di depan d**a. Clarissa menunduk, menatap kaki putih mertuanya dalam-dalam. "Dit," panggil Tamara keras. "Istrimu pulang nih." Yang diserukan berlari tergesa-gesa menghampiri. "Sayang, kamu darimana aja?" Clarissa menatap Adit penuh rasa bersalah. "A-aku habis--" "Suruh masuk!" perintah Tamara berjalan menuju sofa ruang tamu. Adit menatap barang-barang di genggaman Clarissa dengan heran. "Kamu belanja?" "Bicara di dalam, Dit!" Kembali perintah Tamara menyambar. "Kasih tahu tugas-tugas istri itu apa aja. Kayanya Clarissa masih belum juga tahu kewajibannya apa." Tamara yang selalu main sindir, kata-katanya kadang lembut, namun pedas. Adit meraih belanjaan itu, meletakkannya di lantai. "Periksa apa aja yang istrimu beli." Tamara berucap mutlak tanpa menatap pasangan suami istri itu sama sekali. Adit terlihat ragu menatap istrinya tak enak. Namun, Clarissa meraih barang-barangnya lantas menyodorkan pada sang suami. Gemas tak cepat mendapati Adit melaksanakan perintahnya, Tamara sendiri yang akhirnya merebut barang belanjaan itu. Satu persatu Tamara buka, bersama rautnya yang datar tak ramah. Clarissa mengalihkan tatapan ke tembok di depan, bersiap-siap memasang telinga akan ceramah yang akan Tamara ucap, "Adit kerja dari pagi sampai sore, tapi kamu dengan nggak tahu dirinya menghambur-hamburkan uang suami." Dia berdiri, mengambil posisi di depan Clarissa tepat. "Apa kamu nggak mikir berapa banyak ke luaran yang selalu dia bayar setiap bulan?" "Bu, di--" "Diam dulu, Dit!" bentak Tamara memotong ucapan Adit. Matanya tak lepas menatap sang menantu. "Aku dulu udah pernah peringatkan sama kamu, apa udah lupa?" "Bu, Clarissa jarang belanja sekarang. Dan ini untuk pertama kalinya dia belanja lagi." Akhirnya Adit mendapat kesempatan untuk berbicara. Tamara hanya melirik ke arah Adit sekilas, seolah tak begitu mendengarkan apa yang anaknya katakan barusan. Kini tangannya melempar tas branded ke atas sofa. "Istri kok nggak punya simpati blas!" Sudah puas memaki, Tamara beranjak duduk lagi. Bersama nafasnya yang naik turun, dia tatap Adit yang juga tengah menatapnya. "Salahmu, Dit. Cari istri kok nggak ada yang bisa diandalkan sama sekali." Clarissa cukup hafal kalau suaminya tak pernah berani membela dirinya di depan Tamara. Meninggalkan belanjaan yang berserakan, Clarissa ngambek masuk kamar. "Cih, bisanya cuma begitu." Adit mengelus dadanya perlahan, dia rasa-rasa ibunya kini semakin gamblang mengemukakan kalau dia tak suka pada Putri. "Ibu kayanya mulai berani negur Clarissa. Kenapa? Apa selama ini Adit kurang ngasih duit bulanan?" Tamara menatap anaknya tak percaya. "Kamu emang mencukupi semua kebutuhan Ibu, tapi sekarang Ibu udah nggak kuat sama sikap istri kamu!" "Dia nggak pernah merugikan Ibu," jawab Adit. Tamara menutup kedua telinganya tak sudi mendengar anaknya membela Clarissa. "Kamu istirahat aja sana!" Adit memungut beberapa pakaian yang berserakan di lantai, serta tas yang senpat Tamara banting. Biar bagaimanapun itu milik istrinya. Tok tok tok Clarissa mengurung di dalam kamar, dan Adit sama sekali tak menyukai hal itu. "Clar, buka pintunya dong. Aku mau istirahat nih." Tak berselang lama terdengar derap langkah di dalam. Rupanya knop pintu itu dibuka cepat oleh Clarissa. Perempuan itu melirik sekilas ke arah tangan Adit yang membopong barang sebagai setan dalam rumahnya hari ini. "Ngapain masih kamu bawa? Buang aja sana!" Adit berusaha tersenyum. "Nggak boleh gitu, ini 'kan dibeli pakai uang." Clarissa membanting dirinya di atas kasur. Adit sendiri mengunci pintu sebelum menyusul istrinya yang merajuk. "Semalam kamu tidur sama Sabrina aku nggak marah, hari ini kamu belanja tanpa ngomong dulu sama aku, juga nggak marah. Kalau kamu sebal sama ibu, bisa nggak aku nggak ikut kamu ketusi begitu?" Adit berjongkok di depan wajah Putri yang terbenam di atas bantal. Istrinya mulai menampilkan wajah yang mengerucut. "Aku nggak tahu kenapa ibu sekarang berani banget ngomong kaya gitu." Adit tahu istrinya tengah berusaha menahan sesak, dia elus-elus surai hitam istrinya lembut. "Aku minta maaf lagi ya untuk semua perkataan ibu yang menyakiti kamu?" "Nggak papa," jawab Clarissa datar. Adit tak mau memaksa kalau memang istrinya belum bisa legowo memaafkan. Dia biarkan saja istrinya tetap cemberut, asal bibirnya sudah berusaha meminta maaf tadi. Kepalanya dia sandarkan di perut besar Clarissa, sesekali bibirnya terkekeh kala mendapati anaknya menendang-nendang perut sang ibu. Clarissa mulai luluh juga, tangannya terulur untuk membelai rambut suaminya. "Pokoknya kalau aku lahiran nanti, ibu nggak boleh ngatur semuanya. Acara syukuran sama yang lain-lain kita yang atur sendiri."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD