bc

ONLY YOU

book_age18+
759
FOLLOW
3.7K
READ
goodgirl
sensitive
student
drama
campus
friendship
photographer
like
intro-logo
Blurb

Kisah cinta sepasang manusia yang begitu mencintai dengan tulus namun terjebak karena masa lalu yang kelam. Namun karena cinta yang begitu kuat hingga taki ingin terpisahkan membuat keduanya akhirnya bersatu

chap-preview
Free preview
BAB 1
Saat kau tak ada atau kau tak di sini Terpenjara sepi kunikmati sendiri Tak mempercepat waktu tuk melupakanmu Aku tak pernah bisa aku tak pernah bisa * Ajeng — Saat Kau Tak Di sini *   … 2015… Dingin. Ruangan berselimutkan nuansa putih itu, seakan menjadi penambah deretan panjang atas penantian yang tak kunjung akhir. Suara pendeteksi detakan jantung, juga tak ingin kalah menunjukkan bahwa ia masih aktif di tubuh seorang wanita yang kini diam membisu dengan rambut bergelombang. Alat bantu pernapasan menutup hidung dan mulutnya. Seakan tak ingin mengizinkannya untuk bebas menikmati udara yang semestinya harus ia nikmati. Kedua matanya tertutup rapat tidak ada pergerakan. Selang infus terlihat masuk menembus setiap urat nadi di tangan kanannya. Memilukan. Sangat memilukan saat suara tarikan cairan di hidung yang terus saja terdengar di sisi kanannya. Duduk menatap pilu, sesekali mencium tangan kanan sang pasien lembut, menciumnya penuh kasih sayang, lalu kembali menangis pilu. Rambutnya ia gulung tinggi seakan tak ingin membiarkan satu helaiannya mengganggu air matanya untuk meloloskan diri dari wajah yang tampak kian keriput. Alis matanya tebal dengan bulu mata yang lentik. Bola mata yang kecokelatan dan kini dibanjiri genangan air mata. Dari jendela, terlihat sinar mentari yang kian meredup di ufuk barat. Hampir tiga bulan wanita bertubuh langsing dengan rambut panjang tergerai ke atas kepalanya terbaring tak sadarkan diri. Memilukan. Pemandangan yang tak henti-hentinya memilukan hati. Tawa canda serta senyumannya yang meneduhkan bagi pihak yang mencintainya, kini lenyap termakan waktu. Bahkan, seluruh dunia seakan menatapnya pilu saat kembali teringat kisah yang ia alami dalam hidupnya. Sementara itu, di luar ruangan. Tampak seorang lelaki bertubuh tinggi dan berisi, berlari-lari menyusuri lorong  rumah sakit. Kedua matanya menyimpan kesedihan yang teramat dalam. Khawatir bercampur ketidakpercayaan tampak jelas di garis-garis wajahnya. Langkahnya semakin cepat dengan kedua mata yang terus mencari-cari di mana seseorang yang pernah ia raih namun dengan gampangnya ia lepas kembali. Seseorang yang sempat menguatkannya walau tak ia pedulikan. Beberapa kali tubuh menabrak orang yang tidak bertanggung jawab. Meminta maaf lalu kembali melangkah setengah berlari. Ruang VIP bernomorkan 126-lah yang ia cari. Namun kebingungan yang melandanya, malah membuatnya kesulitan menemukan tiga angka itu. Sampai akhirnya, detakan jantungnya seakan memberikan isyarat. Langkahnya terhenti tiba-tiba. Dia menyentuh dadanya yang tiba-tiba mendesirkan sesuatu hal. Sesuatu hal yang selalu ia rasakan setiap kali langkah penuai kenyamanan itu hadir dan berada di dekatnya. Dia melangkah mundur, menatap ke satu pintu yang terhiasi dengan kaca tembus pandang. Memberanikan diri menatap ke dalam tanpa membukanya. Wajah itu ... wajah yang ia cari. Pucat, dengan alat pernapasan yang menutupi hampir setengah wajah manisnya. Air matanya melesat tak tertahan. Tak pernah ia membayangkan akan melihatnya dalam kondisi seperti ini. Penyesalan hadir. Andai saja ia tidak mengalami hal itu, mungkin sudah dari semenjak wanita itu masuk dan menguasai satu kamar itu, ia sudah dapat menemaninya tanpa pergi sedikit pun.             Perlahan, ia membuka pintu. Masuk ke dalam dengan kembali menutupnya pelan. Bunyi decitan pintu menarik tatapan wanita yang masih duduk di samping tempat tidur. Menatapnya nanar seakan tak ada harapan di kedua matanya. Membisu dan hanya bibirnya yang bergetar mencoba menahan tangis. Langkahnya terhenti saat berada di samping tubuh wanita yang terbaring tak ingin bangkit. Suasana yang tak mendukung untuk menanyakan berbagai hal, membuat wanita setengah baya itu berdiri dan memilih ke luar dari kamar, meninggalkan sang lelaki menumpahkan segalanya.             “Nay … aku datang,” bisiknya dengan nada suara bergetar hebat. Menyentuh lembut tangan kanan sang pasien yang dulu pernah ia genggam erat dan menatap pilu seakan menyesali semua yang pernah terjadi.             “Bangun, Nay. Aku ingin dengar kamu mengatakan hal-hal jujur lagi. ” Air mata melesat membasahi pipinya, membiarkannya semakin terjun bebas. Namun sesekali ia tepis dengan tangan sang wanita yang masih ia genggam.             "Bahkan …." Lirih masih terdengar suaranya. Membiarkan basah daerah di punggung tangan Naya. Menangis pilu menumpahkan segalanya. Membiarkan suara alat pendeteksi jantung menguasai ruangan tanpa bisa ia diamkan sewaktu-waktu.              “Tante menemukan ini di atas pakaian di lemarinya. Mungkin ini untuk kamu, Nak,” ucap wanita itu saat keduanya memilihduduk di kursi panjang di luar kamar Naya.Asty memberikan sebuah kotak berbungkus kertas kado biru ke tangan lelaki yang kini duduk di sampingnya. Lorong rumah sakit tampak sepi. Kedua mata Asty kembali tertuju ke pintu kamar yang masih memberikan kesedihan.             Lelaki itu membaca kalimat yang tertempel dengan kertas putih di atasnya. Air matanya berlinang tak tertahankan. Sebuah nama yang kini tak lagi mampu ia tatap senyumannya, ditambah sebuah kalimat selamat ulang tahun Tak pernah ia bayangkan akan menerima hal ini. Satu hal yang ia pikir terlupakan dari memori Naya yang dulu selalu ingat setiap tahun. Namun tahun ini, ia mengecewakan wanita itu. Menangis pilu hingga membuat Asty menatapnya sendu. Asty mengusap-ngusap punggungnya, mencoba menenangkan walau sebenarnya tak mempan sama sekali.             “Maafkan aku, Tan. Andai saja aku bisa memutar waktu, aku tidak akan melakukan hal itu hingga membuat Naya seperti ini. ”             “Bukan, tante juga yang salah,” ucap Asty cukup menenangkan. “Tante terlalu memaksakan diri untuk berhubungan dengan hal-hal dari masa lalu kelam itu. Tante sampai lupa perasaan Naya yang selalu tersakiti sejak kejadian itu terjadi. ”             Lelaki itu mengarahkan tatapannya ke Asty yang kini menundukkan kepala di samping kirinya. Berulang kali Asty menghela napas, mencoba menahan air matanya walau lagi-lagi gagal. Butiran udara ke luar dari matanya tanpa mampu ia tahan. Melemahkannya bahkan semakin menariknya ke dalam keterpurukan.             Suasana masih tetap sama. Sepi bahkan beberapa orang yang lewat pun seakan tak ingin mengusik ketenangan yang terjalin di sekeliling lorong rumah sakit. Seorang suster yang melangkah tenang, dengan senyuman lebar mendekat dan memanggil Asty dengan sebutan 'ibu'. Asty berdiri menyambutnya.             “Ini biaya selanjutnya untuk Naya, Bu. Sudah harus dibayar kembali. ” Suster itu memberikan sebuah kertas berisi daftar biaya yang harus dibayar Asty sesegera mungkin. Asty tampak bingung, menerimanya dan mencoba membaca beberapa angka dan penjelasan di dalamnya. Tersenyum ke arahnya yang masih berdiri di sampingnya lalu meminta izin untuk membacanya dulu. Suster itu mengerti dan memutuskan untuk pergi meninggalkan Asty yang masih terdiam sembari menatap pilu ke dalam kertas putih berisikan biaya perawatan Naya selama di rumah sakit.             “Harus dengan apa lagi aku bisa membayar semua ini, Ya Allah,” keluhnya sembari menyibakkan sisa-sisa rambut yang terlepas dari ikatan yang mencoba menutupi sebelah matanya. “Apa lagi yang harus aku jual sekarang.”             Lelaki di sampingnya berdiri, meraih kertas di tangan Asty dan memperhatikan setiap perhitungan di dalamnya yang bisa dikatakan tak sedikit. Sudah beratus-ratus juta dihabiskan Asty hanya untuk mewujudkan harapan akan kesembuhan anak satu-satunya. Demi Naya, ia sampai dipecat dari tempat kerja hanya karena terlalu fokus menjaga Naya. Pembiayaan Naya yang bisa dikatakan tidak sedikit, catatan menguras tabungannya yang cukup banyak hingga ludes tanpa sisa. Bahkan warisan dari orang kedua orang tuanya pun sudah habis tanpa sisa. Asty sendiri sampai rela menjual rumah adat bak istana dan memilih tinggal di rumah kecil peninggalan kedua orang tuanya. Semua itu demi Naya. Berharap kedua mata sang gadis kecilnya terbuka dan kembali tersenyum melegakan dadanya. Pembalasan atas usahanya yang cukup sederhana, ia inginkan.             “Tante … boleh saya membantu biaya rumah sakit Naya?” Pertanyaannya menarik tatapan kaget Asty yang menatap lurus ke lantai tempat kedua kakinya memijak. Menatap lelaki sebaya sang anak yang begitu tenang menatapnya seakan menyiratkan keyakinan di kedua mata akan bantuan yang ia ingin usahakan untuk Naya.             “Aku hanya ingin membantu sebisaku, Tan. Walau aku tau, bantuanku belum bisa menutupi semua biaya Naya,” lanjutnya yang membuat Asty menggelengkan kepala. Menarik cairan di dalam hidungnya yang hampir melesat keluar, lalu menyibakkan rambutnya yang kembali menutupi kedua mata             “Naya tidak akan suka jika tau kalau tante menyusahkan kamu, Nak.”             “Aku gak merasa disusahin kok, Tan,” bantahnya. Setidaknya hanya dengan ini aku bisa mengatakan secara gak langsung pada Naya, bahwa aku di sini. Bersamanya, dan sama sekali tidak meninggalkannya seperti dulu. ”             Asty bungkam. Menatap lurus ke pintu kamar tempat Naya tertidur yang kini tertutup rapat. Mencoba mencari alan terbaik agar tidak sampai menyusahkan orang lain. Walau sebenarnya tak ada lagi jalan penyelesaian mengumpulkan biaya perawatan yang sama sekali tidak bisa dilama-lamakan.             Nyawa Naya terancam jika ia tak segera melunasi biaya selanjutnya. Tak akan ada lagi penanganan ekstra dari tim medis untuk anak semata wayangnya. Dan jika ia tidak segera mengumpulkan uang dan melunasi segala biaya pengobatan Naya, bisa jadi hal yang sejak tiga bulan lalu ia takutkan terjadi. Kehilangan Naya yang merupakan hal terberat setelah patahan kebahagiaan itu lenyap beberapa tahun silam. Dan ia tak ingin itu kembali terjadi dan menimpanya lagi dan lagi.             “Tante, please ….”             Asty mengarahkan tatapan ke lelaki di sampingnya. tampak kesungguhan di matanya yang membuat air mata kembali berlinang membasahi pipi Asty. Mengangguk pelan yang berhasil menghadirkan kelegaan di hati terdalam. Tersenyum lebar ke arah Asty walau dibalas dengan mata air yang terus mengalir tanpa henti.             Asty menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Menangis pilu membayangkan situasi sulit yang kini ia alami akan terus berlanjut. Entah sampai kapan Naya akan terus menutup kedua matanya dan membiarkannya sendirian dalam kondisi yang semakin lama semakin mencekik leher. Membiarkan dinding-dinding kesedihan yang semakin lama semakin menghimpitnya tanpa sewaktu-waktu melegakan. Walau kini ia tak lagi sendirian. Ada lelaki yang begitu sang anak cintai hadir menemaninya dan mulai membantunya keluar dari masa-masa sulit yang semula ia hadapi seorang diri. 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

MANTAN TERINDAH

read
7.0K
bc

Everything

read
278.4K
bc

Long Road

read
121.1K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.3K
bc

Fake Marriage

read
8.6K
bc

Marrying Mr. TSUNDERE

read
380.6K
bc

The crazy handsome

read
465.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook